Aksi Nyata Masyarakat Dibutuhkan dalam Penanganan Krisis Iklim
Penanganan krisis iklim membutuhkan keterlibatan nyata dari warga di akar rumput, di antaranya terkait penggunaan transportasi umum, mereduksi penggunaan plastik sekali pakai, dan edukasi luas risiko krisis iklim.
Oleh
Yoesep budianto
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Para aktivis Greenpeace menggelar aksi pengantaran 1.000 kartu pos rakyat kepada presiden di kawasan Tugu Patung Kuda, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Kartu pos tersebut berisi pesan agar pemerintah benar-benar melihat dampak buruk perubahan iklim terhadap tempat tinggal dan ekosistem.
Publik memiliki kesadaran tinggi terhadap kondisi krisis iklim yang tengah terjadi. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan aktivitas yang mendukung penanganan krisis iklim, seperti penggunaan transportasi umum, mengurangi plastik sekali pakai, dan edukasi luas risiko krisis iklim.
Krisis iklim menjadi salah satu ancaman terbesar umat manusia saat ini. Berdasarkan laporan The Global Risk 2022, tiga persoalan yang paling dikhawatirkan oleh manusia hingga 10 tahun mendatang adalah kegagalan penanganan krisis iklim, cuaca ekstrem, dan kerusakan biodiversitas.
Ketiga persoalan tersebut erat hubungannya dengan penurunan kualitas ekologi, terlebih krisis iklim yang mampu mendorong Bumi pada kerusakan lebih masif. Kekhawatiran manusia bukan tanpa alasan, sebab munculnya banyak kejadian ekstrem akan berdampak parah terhadap kehidupan sehari-hari, termasuk mengancam keselamatan.
Seiring dengan kondisi iklim yang makin memburuk, kejadian bencana ekstrem diproyeksikan akan lebih sering muncul dengan intensitas lebih besar. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2021 menyebutkan bahwa pemanasan suhu global akan menambah intensitas hujan ekstrem hingga 30 persen dengan frekuensi hampir 3 kali lebih banyak.
Pemandangan Gletser San Rafael di wilayah Aysen, Chili selatan, Minggu (13/2/2022). Mencairnya gletser adalah fenomena alam yang dipercepat oleh perubahan iklim secara signifikan.
Beberapa minggu terakhir penduduk Indonesia tengah mengalami kemarau basah karena munculnya banyak anomali atmosfer. Sedikitnya ada lima anomali yang terdeteksi, yaitu La Nina, Dipole Mode, Madden-Jullian Oscillation, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby. Akibatnya, banyak daerah mengalami hujan ekstrem hingga banjir di wilayahnya.
Dekatnya fenomena krisis iklim terhadap kehidupan sehari-hari ternyata mendorong terbentuknya kesadaran di tengah masyarakat. Hal tersebut tecermin dari Jajak Pendapat Kompas akhir Juni lalu. Hampir delapan dari sepuluh orang menyatakan percaya bahwa saat ini telah terjadi krisis iklim.
Mendefinisikan krisis iklim memang tidak sederhana. Di benak responden Jajak Pendapat Kompas, krisis iklim adalah kejadian yang diakibatkan oleh ulah manusia (23,7 persen). Dari jawaban tersebut, dapat dilihat bahwa telah tumbuh kesadaran terhadap aktor penyebab krisis iklim.
Selain karena ulah manusia, responden juga mengatakan bahwa krisis iklim bermuara pada musim yang makin tidak menentu (19,7 persen). Selain itu, gambaran krisis iklim makin terlihat lebih jelas karena responden mendefinisikan krisis iklim dengan makin seringnya terjadi bencana alam (17,3 persen). Tiga jawaban tersebut adalah petunjuk tingginya pemahaman publik tentang risiko krisis iklim.
Namun, apakah pemahaman dan konstruksi sosial tersebut telah mendorong perubahan sikap masyarakat?
AP PHOTO/MARK BAKER
Sebuah mobil diparkir melintang di tengah jalan untuk memblokir jalur yang teredam banjir di kawasan Camden, Sydney, Australia, Senin (4/7/2022). Perubahan iklim yang terjadi sekarang mengubah pola hujan, membuat banjir parah mungkin bakal semakin sering terjadi.
Aksi nyata
Meski hampir 80 persen responden percaya telah terjadi krisis iklim, sayangnya rata-rata hanya 10 persen yang turut aktif melakukan aktivitas sehari-hari demi perbaikan kondisi iklim tersebut.Salah satu aksi nyata yang dilakukan responden untuk berperan memperbaiki krisis iklim adalah dengan memilih transportasi umum untuk beraktivitas. Hal ini diakui sudah dilakukan oleh 14,4 persen responden. Sektor transportasi, khususnya kendaraan pribadi, menjadi salah satu penyumbang terbesar karbon ke atmosfer Bumi. Karenanya, penggunaan transportasi umum akan membantu dalam pengurangan emisi.
Aksi kedua yang sedikit peminat adalah mengurangi produk hewani. Tercatat hanya 6,6 persen responden yang mau mengurangi konsumsi produk hewani, seperti daging potong, susu, dan lainnya. Sektor peternakan tidak lepas dari emisi gas rumah kaca, yaitu metana dan nitrogen oksida.
Minimnya peran serta masyarakat dalam pengendalian krisis iklim terlihat pada upaya penghematan pemakaian mesin pendingin ruangan (AC). Hanya sekitar 12,4 persen responden yang mengaku lebih hemat menggunakan AC. Mesin pendingin ruangan juga menyumbang emisi gas rumah kaca jenis klorofluorokarbon (CFC) sehingga turut meningkatkan suhu global.
Masyarakat juga terlihat lebih pasif untuk melakukan edukasi tentang krisis iklim, hanya sekitar 7,6 persen saja. Bentuk ajakan yang bersifat persuasif menjadi salah satu kunci penguatan pola pikir untuk menangani krisis iklim. Seiring perkembangan teknologi, edukasi dapat dilakukan melalui media sosial.
Rusman (49), nelayan kecil di Kendari, membersihkan bodi (perahu kecil) yang digunakan mencari cumi sehari-hari, di Petoaha, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (20/6/2022). Perubahan iklim yang semakin nyata membuat hasil tangkapannya semakin berkurang dari waktu ke waktu. Ayah lima anak ini juga harus melaut lebih jauh meski hanya bisa menghasilkan Rp 100.000 per hari.
Sementera itu, separuh responden Kompas menyatakan telah mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan rutin menanam pohon, sementara lainnya belum melakukan sama sekali. Hal tersebut cukup memprihatinkan, mengingat pengurangan plastik sekali pakai dan menanam pohon dapat dilakukan setiap individu kapan pun.
Minimnya peran serta masyarakat dalam pengendalian krisis iklim terlihat pada upaya penghematan pemakaian mesin pendingin ruangan (AC). Hanya sekitar 12,4 persen responden yang mengaku lebih hemat menggunakan AC. Mesin pendingin ruangan juga menyumbang emisi gas rumah kaca jenis klorofluorokarbon (CFC) sehingga turut meningkatkan suhu global.
Berbagai upaya tersebut memang tidak secara instan mengubah kondisi krisis iklim, tetapi segala bentuk usaha untuk menekan perburukan kondisi saat ini tentu berharga.
Kekhawatiran dan harapan
Di tengah minimnya implementasi usaha pengurangan emisi untuk pengendalian krisis iklim oleh publik, ada harapan tinggi terhadap Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah strategis. Sedikitnya enam dari 10 responden setuju bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi dalam penanganan krisis iklim.
Sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah strategis, salah satunya implementasi Pajak Karbon yang dimulai tahun 2022. Sektor pertama yang menjadi sasaran adalah pembangkit listrik, kemudian diperluas ke sektor-sektor lainnya.
Sesuai target, pada 2030 Indonesia memang harus memenuhi tujuan penurunan emisi karbon hingga 29 persen apabila dilakukan secara mandiri dan 41 persen jika mendapat bantuan dari dunia internasional. Upaya tersebut menjadi komitmen bersama banyak negara di dunia.
Apabila tidak segera diantisipasi, krisis iklim itu akan terus meluas dan semakin berdampak buruk bagi kehidupan.Hal tersebut selaras dengan kekhawatiran lebih dari 60 persen responden.
Apabila Pemerintah Indonesia ingin memaksimalkan peran publik dalam penanganan krisis iklim, sebenarnya ada peluang besar. Tingginya kesadaran bahwa saat ini telah terjadi krisis iklim adalah modal kuat untuk mendorong pada pengambilan keputusan sesuai target penanganan krisis iklim melalui pengendalian emisi karbon.