Utak-atik Jam Masuk Kantor untuk Redakan Kemacetan
Seminggu setelah dilantik menjadi Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Latif Usman mewacanakan pengaturan jam masuk kantor untuk membantu mengurangi kemacetan di DKI Jakarta.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Seminggu setelah dilantik menjadi Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Latif Usman mewacanakan pengaturan jam masuk kantor untuk membantu mengurangi kemacetan di DKI Jakarta. Namun, kebijakan itu dipertanyakan mengingat banyak program yang terkait lalu lintas belum efektif mengatasi kemacetan di Ibu Kota.
Pria yang sebelumnya menjabat di Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Timur itu berangkat dari data bahwa 54 persen kemacetan di Jakarta terpusat pada jam sibuk, yakni pukul 06.00 hingga pukul 09.00. Kemudian berlanjut pada jam pulang kantor di atas pukul 15.00. Sementara itu, lalu lintas lengang di antara pukul 09.00 hingga pukul 15.00.
Menurut catatannya, kepadatan volume lalu lintas pagi hari bersumber, antara lain, dari tiga titik tol, yakni Cikampek, Jagorawi, dan Merak-Tangerang. Lalu, dari jalan arteri di kawasan Kalimalang, Cakung, Lebak Bulus, Jagakarsa, Lenteng Agung, hingga Daan Mogot.
”Semua masuk Jakarta pada waktu bersamaan sehingga kita semua harus bekerja sama, setiap instansi bisa mengatur waktu jam kerja karyawan untuk tidak masuk bersama-sama,” kata Latif saat dihubungi, Jumat (22/7/2022).
Menurut dia, pemberi kerja bisa mengatur jam masuk kerja agar waktu berangkat karyawan bisa menyebar dan tidak hanya terfokus pada jam-jam sibuk lalu lintas. ”Misalnya, kementerian atau lembaga bisa mengatur agar pegawai masuk pukul 8 atau pukul 9. Lalu, usaha bisnis seperti pekerja mal bisa masuk sebelum pukul 11. Jadi, tidak semua masuk pada jam yang sama,” lanjutnya.
Wacana ini, menurut dia, akan segera didiskusikan bersama pemangku kepentingan lain, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Ketenagakerjaan, lembaga perekonomian, pakar transportasi, serta akademisi.
Latif berharap, kebijakan itu nantinya tidak akan berpengaruh pada perputaran ekonomi, tetapi bisa menjadi solusi jangka pendek untuk mengatasi kepadatan lalu lintas dan kemacetan di hilir. Jika wacana ini berjalan, ia menargetkan kemacetan lalu lintas pada jam sibuk bisa berkurang setidaknya 20 persen.
Kebijakan ini juga akan tetap dijalankan bersama dengan program ganjil genap yang diterapkan di 25 kawasan serta program lain untuk mendukung transportasi umum yang terus digarap secara berkelanjutan.
Menanggapi wacana itu, Nurjaman, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, mengapresiasi ide baik Ditlantas Polda Metro Jaya. Ia mengakui, meredanya pandemi Covid-19 telah membuat pelaku usaha di Jakarta percaya diri kembali menerapkan bekerja di kantor. Akibatnya, kemacetan jalan tidak terelakkan.
Produktivitas
Namun, rencana itu harus dilihat dampaknya terhadap pemberi kerja dan pekerja itu sendiri, termasuk aturan yang sudah ada, seperti aturan jam kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Undang-undang itu mengatur, karyawan dalam sehari bekerja selama 7-8 jam.
”Memindahkan kemacetan dengan menggeser jam kerja bisa jadi mengurangi produktivitas. Misalnya, di sektor logistik dan produksi, kalau harus lebih siang nanti sirkulasi terhambat. Lalu, kalau karyawan harus pulang lebih malam, kesehatan mereka harus dipikirkan, lalu kenyamanan kerja dan keamanan saat pulang ke rumah jika lebih malam,” ujarnya.
Pengaturan jam kerja ini, menurut Nurjaman, harus menyesuaikan profil sektor usaha yang ada di Jakarta. Secara proporsional, pekerja sektor formal sebanyak 61,74 persen atau lebih besar daripada sektor informal yang sebesar 38,26 persen. Data itu didapat dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2021.
Pekerja yang bekerja dengan jam kerja penuh, yaitu 35 jam atau lebih, termasuk sementara tidak bekerja, tercatat sebanyak 3,6 juta orang (76,89 persen). Sementara yang lainnya sebanyak 1,09 juta orang (23,11 persen) termasuk ke dalam kategori pekerja tidak penuh atau setengah pengangguran.
Pembuat kebijakan juga perlu memperhatikan keselamatan dan kenyamanan pekerja perempuan. Menurut Nurjaman, orang yang datang bekerja dari wilayah Jakarta dan sekitarnya lebih banyak perempuan daripada laki-laki. ”Kalau perempuan pekerja ini punya keluarga, harus mengurus anak, tetapi harus pulang lebih sore, kasihan,” ujarnya.
Untuk itu, kata Nurjaman, aturan ini harus lebih cermat diperhitungkan dampak ekonominya serta konsekuensinya jika diperlukan insentif untuk mendukung aturan itu. Jika tetap ingin dicoba, ia menganjurkan polisi menggandeng lembaga yang mempekerjakan aparatur sipil negara (ASN) daripada swasta.
”Baiknya, test case dulu untuk ASN karena mereka kerja satu sif, beda dengan swasta yang sebagian kecil ada yang bekerja dalam beberapa sif,” saran Nurjaman.
Transportasi umum
Selain membuat aturan lalu lintas baru, polisi dan pemangku kebijakan disarankan mengoptimalkan program yang sudah ada. Salah satunya sistem ganjil genap. Nurjaman menilai, kebijakan itu belum efektif karena tidak diimbangi disinsentif untuk kepemilikan kendaraan pribadi.
Program yang seharusnya menjadi sorotan adalah memaksimalkan transportasi umum dengan pembangunan dan aturan terkait yang berkelanjutan. Pendapat yang sama juga disampaikan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio.
”Solusi utama adalah angkutan umum. Harusnya bikin aturan seperti membuat mahal biaya parkir. Misal, di daerah yang dilalui LRT, parkir kena Rp 50.000 per kendaraan,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah daerah sekitar, menurut Agus, juga harus secara berkelanjutan mengembangkan transportasi umum untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Penyedia jasa transportasi umum, seperti KAI Commuter, MRT, LRT, dan Transjakarta, harus bisa meningkatkan layanan, salah satunya menyederhanakan proses transit point to point.
”Point to point harus dikejar. Warga kalau naik angkutan umum harus bisa maksimal tiga kali kendaraan dan jalan 500 meter,” kata Agus.
Mengurangi kemacetan Jakarta yang telah tumbuh kronis selama beberapa dekade memang bukan perkara mudah. Mengutak-atik aturan jam kerja juga bukan hal sederhana meski bisa dicoba oleh pembuat kebijakan. Namun, untuk mewujudkannya, perlu koordinasi bersama dan perhitungan yang presisi agar tidak lebih banyak merugikan warga.