Dishub DKI Batalkan Pemisahan Duduk di Angkot, Maksimalkan Pos Aduan dan Nomor Aduan
Dishub DKI Jakarta membatalkan kebijakan pemisahan tempat duduk penumpang laki-laki dan perempuan di angkot guna mencegah pelecehan seksual. Dishub memaksimalkan POS SAPA dan nomor aduan untuk pencegahan dan penanganan.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Perhubungan DKI Jakarta menunda kebijakan pemisahan tempat duduk antara penumpang laki-laki dan perempuan di angkutan umum di DKI Jakarta guna mencegah kejadian pelecehan seksual. Dishub DKI Jakarta akan memaksimalkan pos aduan dan nomor aduan 112.
Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo, Rabu (13/7/2022), menjelaskan, terkait pelecehan seksual di angkot, perlu dilakukan mitigasi serta upaya-upaya atau regulasi yang komprehensif. Upaya itu dilakukan untuk meminimalkan bahkan meniadakan tindak pelecehan seksual yang kerap terjadi di angkot dan transportasi publik.
”Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada di dalam masyarakat, terhadap wacana pemisahan penumpang laki-laki dan perempuan di dalam angkot saat ini belum dapat dilaksanakan,” ucap Syafrin.
Langkah selanjutnya yang diambil Dishub DKI untuk menangani serta mencegah kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak, menurut Syafrin, adalah dengan memaksimalkan pos pengaduan dan nomor aduan.
Pos aduan disiapkan dengan membentuk Pos Sahabat Perempuan dan Anak (POS SAPA) di moda transportasi. Di dalam pos itu juga dilengkapi nomor aduan 112 dan petugas yang sudah terlatih dalam menangani kasus-kasus terkait.
Fasilitas POS SAPA, menurut Syafrin, sudah terdapat di 23 halte Transjakarta, 13 stasiun MRT Jakarta, dan enam stasiun LRT. Direncanakan, POS SAPA akan ditambah, termasuk menjangkau layanan angkot.
Untuk nomor pengaduan 112, Syafrin melanjutkan, Dishub DKI mewajibkan setiap angkot atau transportasi publik memasang stiker informasi nomor darurat pengaduan pelecehan seksual dengan nomor aduan 112 itu di tempat yang terlihat jelas oleh semua penumpang.
”Dishub menginstruksikan semua angkot untuk memasang stiker informasi nomor darurat agar mudah terbaca dan jelas,” kata Syafrin.
Langkah itu ditindaklanjuti dengan sosialisasi bersama komunitas terutama organisasi-organisasi yang berkecimpung dalam pengentasan pelecehan dan peningkatan perlindungan perempuan dan anak.
Dinas Perhubungan DKI juga menyempurnakan SOP yang ada saat ini terkait dengan penanganan keadaan darurat. Penyempurnaan dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pencegahan dan penanganan kejadian pelecehan, yakni dengan mengutamakan perlindungan korban.
Dishub, jelas Syafrin, juga memastikan semua pengemudi atau staff station/petugas transportasi publik memahami SOP masing-masing melalui sosialisasi atau bahkan pendidikan serta pelatihan.
”Untuk pengemudi angkutan umum yang tergabung dalam Program Jaklingko, sudah dilakukan pendidikan dan pelatihan yang di dalamnya memuat kurikulum layanan prima, termasuk penanganan atau cara bertindak dalam menghadapi keadaan darurat melalui program Sertifikasi Pengemudi Angkutan Umum,” kata Syafrin.
Langkah lainnya, Dishub DKI mengkaji lebih lanjut ide terkait angkot atau mikrotrans khusus perempuan. Selain itu, Dishub DKI juga akan mengkaji pemanfaatan teknologi dengan pemasangan CCTV dan sistem pelayanan tiket (ticketing) berbasis pengenalan wajah (face recognition).
Secara terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta Yusa Cahya Permana menegaskan, penundaan penerapan kebijakan itu sebagai hal baik. Ia setuju apabila Dishub DKI Jakarta bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melalui program SAPA.
”DKI harus ingat, DKI itu provinsi sehingga harus bekerja sama dengan (pemerintah) pusat,” kata Yusa.
Dalam kerja sama itu, DKI Jakarta dan Kementrian PPPA memberikan edukasi bersama Dinas PPPA. Edukasi diberikan kepada masyarakat, juga kepada operator. DKI Jakarta, menurut Yusa, juga perlu berdiskusi dengan kepolisian supaya holistik.
”Kalau tidak, kejadian pelecehan seksual akan berulang terus, tidak bakal hilang, hanya bisa ditekan,” kata Yusa.
Sementara itu, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari, menyatakan, pemisahan tempat duduk penumpang antara perempuan dan laki-laki di angkot sebagai upaya pencegahan terjadinya pelecehan dinilai tidak efektif dan hanya berefek jangka pendek.
”Kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan. Belum lagi dishub tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi hal tersebut, berbeda dengan TransJakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas,” ujarnya.
Eneng yang adalah anggota Komisi C DPRD DKI ini menerangkan, problem yang terjadi bukan hanya soal implementasi dari kebijakan tersebut, melainkan juga bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan tersebut.
”Pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot. Dengan duduk bersama, diharapkan melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi,” ujarnya.
Maraknya tingkat kekerasan dan pelecehan seksual tentu menjadi perhatian semua pihak, sambung politikus muda PSI ini. Pemerintah perlu juga merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.
”Menurut Amnesty International bahwa pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Jadi, tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, harus ditangani secara sistematis terorganisasi agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual,” katanya.
Menurut Eneng, kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum. Hal itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022.
”Aparat penegak hukum juga diminta memberi hukuman seberat-beratnya kepada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” ucap Eneng.
Pasal 5 UU TPKS mengatur pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara. Tidak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual. Menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta.