Keberadaan pelaku tindak kekerasan seksual akhirnya tercium setelah hampir empat bulan bersembunyi dari polisi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kepolisian Resor Bogor menangkap EH (29), pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Tindakan bejat pelaku terbongkar saat orangtua korban melihat isi percakapan telepon seluler anaknya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bogor Ajun Komisaris Siswo DC Tarigan mengatakan, pihaknya menangkap EH, pelaku kekerasan seksual terhadap anak berinisial CK (17), pada Kamis (7/7/2022), di Kota Bogor. Keberadaan pelaku diketahui setelah hampir empat bulan bersembunyi.
”Laporan dari 28 Febuari silam. Langsung kami tindak lanjuti dan terus mencari pelaku. Akhirnya pelaku kami tangkap dan pelaku mengakui perbuatan bejatnya,” kata Siswo saat dikonfirmasi, Minggu (10/7/2022).
Siswo mengatakan, aksi pelaku terbongkar ketika orangtua CK merasa curiga terhadap perilaku anaknya. Kecurigaan itu semakin kuat setalah melihat isi percakapan di telepon seluler sang anak. Orangtua korban yang tak terima langsung melaporkan tindak kejahatan pelaku ke Polres Bogor.
”Saat ditanya dan melalui pendekatan pelan, korban mengaku telah dicabuli sejak Desember 2021 hingga Januari 2022 di sebuah penginapan di Kemang (Kabupaten Bogor). Ada bujukan dari pelaku yang memanfaatkan kepolosan korban,” lanjut Siswo.
Dalam pengungkapan kasus itu, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa pakaian pelaku. Dalam proses hukum, pelaku dijerat Pasal 81 dan atau Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tetang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak. Pelaku terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo menilai ancaman hukuman maksimal belum cukup untuk menghadirkan efek jera. Perlu ada upaya lebih dalam sistem hukum di Indonesia agar memberikan efek jera dan contoh hukum yang berpihak kepada korban.
Upaya hukum itu salah satunya ialah pemenuhan hak restitusi untuk korban atau kepada keluarga korban. Dalam hak restitusi ini, Antonius menilai, penerapannya masih sangat lemah. Padahal, hak restitusi ada dalam mandat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 7 Ayat 1.
”Bukan sekadar hukuman maksimal (15 tahun penjara). Perlu ada restitusi. Ini tidak hanya sebagai bentuk kewajiban yang harus dibayar oleh pelaku kekerasan seksual, tetapi juga menjadi momentum hukum yang berpihak kepada korban dan keluarga. Namun, belum semua menjalankan ini. Bahkan kalaupun ada dimasukkan laporan (polisi) dan pengadilan, tingkat keberhasilan masih rendah,” kata Antonius.
Berdasarkan data LPSK pada 2021, total ada 170 permohonan restitusi dari seluruh korban di Indonesia, yang nilainya mencapai Rp 6,3 miliar. Namun, hanya empat kasus atau putusan pengadilan yang mengabulkan pemenuhan hak restitusi.
Rendahnya pemenuhan hak restitusi ini karena tidak banyak diketahui oleh para penegak hukum, bahkan para kuasa hukum yang menangani perkara.