Kepadatan Jakarta menyulitkan pembuatan biopori, sumur resapan ataupun kolam retensi. Pembuatannya pun tak bisa asal-asalan karena harus memperhatikan lokasi, jenis tanah, dan sebagainya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian banjir di Ibu Kota tidak mudah karena kepadatan Jakarta yang mencapai 15.978 jiwa setiap 1 kilometer persegi. Tantangan bertambah lantaran kondisi geografis dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, tempat bermuaranya 13 sungai dan kanal.
Kepadatan tersebut menyulitkan pembuatan biopori, sumur resapan ataupun kolam retensi untuk konservasi air dan mengurangi potensi genangan hingga banjir. Pembuatannya pun tak bisa asal-asalan karena harus memperhatikan lokasi, jenis tanah, dan sebagainya.
Namun, hambatan yang ada bisa disiasati dengan memaksimalkan ruang kosong yang ada di permukiman dan ruang terbuka hijau, seperti taman lingkungan dan taman kota. Warga juga bisa memanen air hujan untuk kebutuhan di luar konsumsi. Untuk pilihan terakhir, selalu periksa wadah penampungan supaya bebas jentik nyamuk atau sarang nyamuk.
Kalih Suhendi (58), warga Cawang, Jakarta Timur, membuat dua biopori di halaman rumahnya yang terletak di dalam gang. Biopori tersebut masing-masing sedalam 1,5 meter dengan diameter 10 sentimeter yang berfungsi mengalirkan air hujan ke dalam tanah.
”Daerah rumah memang bebas banjir, tetapi biopori itu untuk mengatasi kekeringan air di masa yang akan datang,” ujarnya, Kamis (7/7/2022).
Sayangnya tak semua warga, termasuk pemerintah daerah bisa seperti Kalih. Mereka terkendala kepadatan Ibu Kota yang mencapai 15.978 jiwa setiap 1 kilometer persegi berdasarkan tahun 2021. Kepadatan itu berasal dari 10,6 juta penduduk yang bermukim di seantero Jakarta dengan luas 664,01 kilometer persegi.
Mereka yang tak punya cukup lahan bisa menerapkan metode panen air hujan. Menampung sementara air hujan dalam wadah untuk keperluan di luar konsumsi. Namun, perhatikan penampungan supaya tak jadi sarang nyamuk
Kesulitan bertambah dengan kondisi geografis yang rentan banjir. Merujuk Provinsi DKI Jakarta Dalam Angka Tahun 2022 oleh Badan Pusat Statistik, Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut. Pesisir utaranya membentang sepanjang 35 kilometer, tempat bermuaranya 13 sungai dan kanal, yang berbatasan dengan Laut Jawa.
Kondisi geografis ini berpadu dengan curah hujan tertinggi di Februari (466,8 milimeter dan 604,4 milimeter ) dan terendah di Juli (35,8 milimeter dan 47,0 milimeter) kerap menimbulkan genangan hingga banjir. Tercatat 101 kelurahan terdampak banjir pada 2018, 83 kelurahan di 2020, dan 108 kelurahan pada 2021. Adapun secara keseluruhan ada 267 kelurahan di Ibu Kota.
Ahli hidrologi WRI Indonesia Yudhistira Satya Pribadi menuturkan, warga bisa memanfaatkan lahan sempit yang tak terpakai untuk biopori , sumur resapan skala rumahan atau panen air hujan. Upaya tersebut supaya mengurangi air hujan langsung masuk ke got, saluran air atau drainase.
”Mereka yang tak punya cukup lahan bisa menerapkan metode panen air hujan. Menampung sementara air hujan dalam wadah untuk keperluan di luar konsumsi. Namun, perhatikan penampungan supaya tak jadi sarang nyamuk,” ucapnya ketika dihubungi secara terpisah.
Metode panen air hujan ini, lanjutnya sudah berlangsung di daerah lain. Salah satunya Pontianak, Kalimantan Barat. Banyak warga menampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari di luar konsumsi.
Pengendalian banjir
Dinas Sumber Daya Air Jakarta kini tengah membangun 9 polder, 4 waduk, dan 2 peningkatan atau penataan kapasitas kali/sungai untuk mitigasi banjir. Waduk itu meliputi Brigif, Lebak Bulus, Pondok Ranggon, dan Wirajasa untuk mengurangi debit Kali Krukut dan Kali Sunter saat musim hujan.
Pada saat yang sama, tengah menormalisasi aliran sungai di Pasar Baru, Muara Angke, dan kali kecil, seperti di Semanan. Juga mengevaluasi pembangunan drainase vertikal yang sudah berlangsung di 25.000 titik.
Yudhistira mengatakan, WRI Indonesia sebagai Cities4Forests Jakarta masih mengevaluasi efektivitas sumur resapan dan kolam retensi yang ada. Idealnya sumur resapan harus terletak di area dengan tanah berdaya serap tinggi.
”Konsep drainase vertikal (sumur resapan) itu bagus. Tantangannya menemukan lokasi yang cocok pada area rawan banjir,” ujarnya.
Evaluasi pembangunan drainase vertikal oleh Dinas Sumber Daya Air Jakarta menentukan ada atau tidaknya kelanjutan program tersebut pada Oktober. Namun, Kepala Seksi Perencanaan Bidang Pengendalian Banjir dan Drainase Dinas Sumber Daya Air Jakarta Maman Supratman, Rabu (6/7/2022), mengatakan, sejauh ini drainase vertikal yang ada cukup signifikan mengurangi genangan pascahujan.
”Drainase di Ibu Kota hanya sanggup menampung curah hujan maksimal 100 milimeter. Maka, dengan adanya pembangunan berbasis Nature-based Solutions atau NbS yang memadukan keberlanjutan kota dan rekreasi, kami bangun kolam retensi, dorong drainase vertikal skala rumah,” katanya.