Cara Jakarta Memadukan Restorasi Alami dan Rekreasi
Sejak 2019, WRI Indonesia bersama Pemprov DKI Jakarta memetakan ruang terbuka hijau dan pepohonan untuk pembangunan berbasis Nature-based Solutions yang memadukan keberlanjutan kota dengan rekreasi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Jakarta mengevaluasi program pengendalian banjir dan ruang terbuka hijau. Pembangunan ataupun revitalisasi menggunakan pendekatan Nature-based Solutions atau NbS yang memadukan keberlanjutan kota dan rekreasi.
Salah satunya melalui kerja sama Cities4Forests, koalisi yang mendorong pembelajaran untuk meningkatkan hubungan antara kota dan hutannya. Sejak 2019, WRI Indonesia sebagai sekretariat Cities4Forests bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memetakan ruang terbuka hijau dan pepohonan untuk pembangunan berbasis NbS.
Dinas Sumber Daya Air Jakarta kini tengah membangun 9 polder, 4 waduk, dan 2 peningkatan atau penataan kapasitas kali/sungai untuk mitigasi banjir. Waduk itu ialah Brigif, Lebak Bulus, Pondok Ranggon, dan Wirajasa untuk mengurangi debit Kali Krukut dan Kali Sunter saat musim hujan.
Kepala Seksi Perencanaan Bidang Pengendalian Banjir dan Drainase Dinas Sumber Daya Air Jakarta Maman Supratman menuturkan, konsep pembangunan kini berbasis NbS supaya kembali ke alam. Selama ini, pembangunan lebih bersifat struktur supaya air secepatnya mengalir ke saluran, kali, dan laut.
”Waduk Brigif seluas 10 hektar bisa menampung 377.000 meter kubik air atau reduksi 20 persen banjir di sekitar situ. Kami bangun juga lintasan lari di situ supaya jadi area rekreasi untuk NbS,” ucapnya seusai diskusi media di Jakarta Selatan, Rabu (6/7/2022).
Pendekatan NbS adaptif karena implementasinya dapat dilakukan secara penuh melalui pendekatan restorasi alami dan infrastruktur ramah lingkungan atau implementasi hybrid.
Dinas Sumber Daya Air Jakarta juga tengah menormalisasi aliran sungai di Pasar Baru, Muara Angke, dan kali kecil, seperti di Semanan. Pada saat yang sama berlangsung evaluasi pembangunan drainase vertikal yang sudah berlangsung di 25.000 titik.
Maman menuturkan, evaluasi pembangunan drainase vertikal menentukan ada tidaknya kelanjutan program pada Oktober. Namun, sejauh ini drainase vertikal yang ada cukup signifikan mengurangi genangan pascahujan.
”Drainase di Ibu Kota hanya sanggup menampung curah hujan maksimal 100 milimeter. Maka, dengan adanya pembangunan berbasis NbS, kami bangun kolam retensi, dorong drainase vertikal skala rumah,” katanya.
Ruang terbuka hijau
Merujuk informasi ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta di laman Jakarta Satu, luas total ruang terbuka hijau di Ibu Kota sebanyak 33,30 kilometer persegi. Cakupan tersebut sebesar 5,178 persen dari luas total wilayah Ibu Kota yang mencapai 664,01 kilometer persegi (BPS DKI Jakarta: Luas Daerah Menurut Kabupaten/Kota [Km2], 2018-2020).
Luasan 33,30 kilometer persegi terdiri dari 2.351 ruang terbuka hijau, 1.710 jalur hijau, 1.335 taman lingkungan, 133 taman interaktif, 107 hutan kota, 41 taman kota, 18 lapangan olahraga, 17 kebun bibit, 10 taman rekreasi, dan lainnya, seperti pemakaman serta belum diketahui.
Sebarannya, 26,14 persen di Jakarta Timur; 24,92 persen di Jakarta Selatan; 20,88 persen di Jakarta Utara; 12,72 persen di Jakarta Pusat; 8,65 persen di Jakarta Barat; dan 6,62 persen di Kepulauan Seribu (Kompas, 7 Mei 2022).
Jumlahnya masih jauh dari ideal sesuai amanat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berbunyi proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dan proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.
Kepala Seksi Perencanaan Pertamanan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Hendrianto mengatakan, dinasnya mengelola 4 persen lebih dari total seluruh 7 persen lebih ruang terbuka hijau publik yang terverifikasi. Sementara merujuk data Institut Pertanian Bogor (IPB University), tutupan hijau Jakarta ada di angka 15 persen atau butuh 15 persen lagi supaya memenuhi amanat 30 persen sesuai undang-undang.
”Pekerjaan berat yang harus dipenuhi. Untuk 1 persen saja, butuh lahan seluas 650 hektar. Saat ini pembelian lahan hanya cukup 12,3 hektar per tahun, berat dan butuh kolaborasi,” ucapnya.
Salah satu pekerjaan rumah itu ialah menghadirkan taman kota yang lengkap seperti Tebet Eco Park. Taman seluas 7,3 hektar di Jakarta Selatan tersebut cukup memenuhi kebutuhan ruang 20 meter persegi per orang meskipun nyatanya pengunjung membeludak lantaran dahaga ruang terbuka hijau.
Hendrianto mengatakan, Tebet Eco Park dikunjungi sampai 60.000 warga pada hari biasa. Rencananya jumlah pengunjung dibatasi 10.000 orang per hari, terdata secara daring, dan harga tarif parkir per jam.
”Kami perbaiki dengan pendekatan NbS. Selain mengembangkan taman yang sudah ada, mengintegrasikan RPTRA dengan taman maju bersama,” ujarnya.
Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta dan WRI Indonesia juga tengah mendata pepohonan yang ada di Ibu Kota. Selain sebagai basis data, pendataan untuk kebijakan yang lebih ketat.
NbS
NbS merupakan pendekatan untuk melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan memulihkan ekosistem alami atau yang dimodifiiasi untuk mengatasi tantangan masyarakat secara efektif dan adaptif, sekaligus bermanfaat bagi kesejahteraan warga dan keanekaragaman hayati.
WRI Indonesia atau Yayasan Institut Sumber Daya Dunia merupakan lembaga penelitian independen yang bertujuan mewujudkan gagasan besar menjadi aksi nyata menciptakan keseimbangan antara perlindungan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan manusia.
Ahli hidrologi WRI Indonesia, Yudhistira Satya Pribadi, mengatakan, pendekatan NbS melibatkan berbagai fungsi alam, seperti intersepsi air hujan melalui vegetasi, peningkatan infiltrasi air ke dalam tanah untuk meningkatkan kapasitas tampung air hujan, ataupun memperlambat laju aliran air untuk mengurangi laju erosi.
”Pendekatan NbS adaptif karena implementasinya dapat dilakukan secara penuh melalui pendekatan restorasi alami dan infrastruktur ramah lingkungan atau implementasi hybrid,” ucapnya.
Pada skala terkecil, implementasi hybrid dapat berupa pembuatan lubang resapan biopori, vegetasi di atap, dan wadah penampungan air hujan. Sementara skala lebih besar berupa ruang terbuka hijau multifungsi sebagai kolam resapan air, sistem parit bervegetasi dan menyaring polutan dari air hujan sebelum masuk ke dalam drainase.