Pembangunan Koridor Timur-Barat MRT Ditargetkan Dimulai 2023
Setelah Jepang menyatakan komitmen mendanai koridor Timur-Barat Moda Raya Terpadu, pembangunan ditargetkan bisa dimulai pada 2023.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT MRT Jakarta memastikan Koridor Timur-Barat atau East-West Line segmen 1 fase DKI Jakarta bisa mulai dibangun pada 2023. Target itu diungkapkan setelah Pemerintah Jepang menyatakan komitmen untuk mendanai segmen 1 fase DKI Jakarta. Saat ini, proses rancangan teknis dasar tengah berlangsung.
Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar menjelaskan, dalam perencanaan Kementerian Perhubungan, Koridor Timur-Barat merupakan fase 3 dalam jaringan angkutan umum berbasis rel yang akan dikembangkan di Jabodetabek. East-West Line ini direncanakan sepanjang 87 kilometer, melewati tiga provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Untuk fase DKI Jakarta direncanakan sepanjang 31,7 km dari Kalideres ke Ujung Menteng. Selebihnya, 55,3 km ada di Banten dan Jawa Barat.
Untuk fase DKI Jakarta, pembangunan terbagi dalam dua segmen. Segmen 1 dari Tomang ke Ujung Menteng sejauh 24,527 km. Pemerintah Jepang tertarik dan berkomitmen mendanai. Ketertarikan dan komitmen itu dinyatakan pada waktu kunjungan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi ke Jepang beberapa waktu lalu.
”Yang stage 1 ini yang waktu kita ke Jepang itu dikomitmenkan oleh Pemerintah Jepang. Jadi, hari ini kita sedang menunggu komitmen formalnya karena kemarin itu baru komitmen verbal bahwa Pemerintah Jepang menyatakan keinginannya atau komitmennya untuk mendanai ini,” kata William.
Pihak Badan Kerja Sama International Jepang (JICA) saat ini tengah menyusun rancangan teknik dasar (basic engineering design/BED) dari segmen 1 tersebut. Setelah BED selesai, direncanakan pembangunan segmen 1 East-West Line fase DKI Jakarta bisa dimulai pada 2023.
”Tahun depan lelang bisa mulai,” ucap William.
Untuk fase 2 MRT Jakarta Koridor Utara-Selatan, lanjut William, juga dipastikan akan didanai seluruhnya oleh JICA. Pendanaan itu meliputi fase 2A dari Bundaran HI ke Kota, serta fase 2B dari Kota ke Ancol Barat.
”Begitu desain berjalan, kita tahu nilai tambahan itulah nanti yang akan keluar. BED sendiri dilakukan tahun ini, mudah-mudahan kita dapat angkanya,” ujar William.
Untuk fase 2, dana pinjaman yang diperoleh MRT Jakarta adalah Rp 22,5 triliun. Pinjaman itu dicairkan sebagian pada 2018 sebesar Rp 9,44 triliun, dipakai untuk mendanai sejumlah paket kontrak yang sudah berjalan, seperti CP 201 dan CP 203.
Untuk pencairan pinjaman berikutnya diperkirakan sebesar Rp 10 triliun. ”Ini yang sedang kita proses dan loan agreement atau kesepakatan pinjaman akan ditandatangani November. Di dalamnya itu ada perencanaan teknis untuk fase 2 B sehingga di akhir 2023 kita akan tahu total berapa biaya yang ditambahkan untuk membiayai fase 2 sampai selesai,” tutur William.
Pendanaan Pemerintah-Swasta
Terkait pembiayaan koridor East-West Line, William melanjutkan, memang JICA sudah berkomitmen mendanai segmen 1 fase DKI Jakarta. Namun, dengan fase yang begitu panjang, dihitung dana yang dibutuhkan Rp 160 triliun sehingga MRT Jakarta juga melihat potensi pendanaan lain selain dari JICA.
”Jadi JICA memang sudah berkomitmen. Namun, karena ini paket panjang, jadi kita juga melihat potensi pendanaan selain JICA yang ikut berkolaborasi dengan pendanaan yang sudah ada. Plus, pendanaan swasta,” kata William.
Sejumlah pihak swasta yang dicoba digandeng oleh MRT Jakarta berasal dari hasil kunjungan pihak MRT Jakarta ke Inggris, Perancis, dan Luksemburg pada Mei silam. Pihak swasta itu menyatakan ketertarikan untuk berpartisipasi pada pembangunan East-West Line, utamanya untuk pembangunan jalur dan regenerasi kota.
Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana beberapa waktu lalu menyatakan, upaya MRT Jakarta menarik minat swasta untuk berinvestasi dalam pembangunan East-West Line itu bisa dipahami. Dengan koridor yang begitu panjang, pendanaan yang diperlukan akan sangat besar. Pembangunan juga ia yakini akan dibangun dengan cara dibagi-bagi per segmen.
William melanjutkan, upaya mengundang swasta adalah upaya menekan ketergantungan pada pembiayaan oleh pemerintah. Ia berpandangan, dalam proyek infrastruktur, pembiayaan pemerintah pasti ada, tetapi porsinya 60 persen dan 40 persen dari swasta.