Wisata Sejarah Jakarta dan Betawi Belum Digarap Optimal
Jakarta punya banyak wisata sejarah, tetapi belum disajikan secara maksimal. Selain berbenah soal penyajian yang interaktif, sejarah bisa dikemas dalam periode waktu tertentu untuk menampilkan kekhasan kota.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggarapan wisata sejarah Jakarta dan Betawi masih belum optimal. Museum yang sudah ada belum mengemas atau menampilkan sejarah secara interaktif dan masih terbatasnya informasi seputar museum, galeri, ataupun studio tentang sejarah.
Statistik Kebudayaan 2020 yang dikeluarkan Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, terdapat 254 cagar budaya dan 61 museum di Ibu Kota. Jumlah tersebut mengerucut menjadi sembilan museum (seni rupa, arkeologi, dan sejarah) berdasarkan laporan Provinsi DKI Jakarta dalam Angka 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik DKI Jakarta.
Rektor Institut Kesenian Jakarta Indah Tjahjawulan dalam seminar daring Galleries, Libraries, Archives, and Museums tentang Wisata Sejarah Betawi dan Jakarta yang diselenggarakan oleh Institut Kesenian Jakarta, Senin (27/6/2022), menyebutkan, jumlah museum di Jakarta lebih banyak dan beragam ketimbang daerah lain. Namun, hanya sedikit museum yang menarasikan sejarah Betawi dan potret kekiniannya.
Jakarta punya potensi, konsep yang bisa dinarasikan dengan baik.
Museum itu ialah Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Anjungan DKI Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah, Museum MH Thamrin, Museum Betawi di Setu Babakan, dan Taman Benyamin Suaeb.
”Jakarta punya potensi, konsep yang bisa dinarasikan dengan baik. Penyajian berperan penting supaya orang paham apa yang dimaksud Betawi, tradisional atau sekarang seperti apa,” ucapnya.
Bentuk penyajian koleksi museum, katanya, seharusnya lebih beragam, termasuk dikemas secara virtual. Sebab, kebanyakan museum di Jakarta masih menyajikan koleksi secara konvensional.
Indah menuturkan, museum harus punya narasi besar dan narasi kecil yang hendak disampaikan lewat penyajian koleksi. Sajian itu bisa berupa multimodel teks, gambar, benda peraga, audiovisual multimedia, dan macam-macam.
Contohnya, pengetahuan tentang penduduk masa silam yang mengambil nasi dari bakul. Narasinya harus dilengkapi foto atau bakul untuk mengonfirmasi pengetahuan orang yang melihatnya.
”Contoh lain perkembangan sejarah kebudayaan atau soal masyarakat Betawi atau jajanan kembang goyang. Harus ada panduan supaya orang tahu mau mulai dari mana dan melakukan apa di museum,” katanya.
Sejarawan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Zeffry Alkatiri, dalam seminar yang sama menambahkan, Jakarta memenuhi kriteria kota yang kreatif, mulai dari profil ekonomi yang baik, struktur masyarakat yang profesional, jaringan transportasi, sekolah seni, hingga banyaknya ruang seni.
Namun, belum ada data dan klasifikasi yang mumpuni. Misalnya, masih tercampur penggunaan terminologi museum, galeri, dan tempat pertunjukan.
”Galeri dan studio juga belum terdata. Begitu pun praktisi yang punya galeri atau studio,” ujar Zeffry yang merujuk sulitnya menemukan tempat-tempat itu dalam pencarian di Google.
Atas berbagai hal itu, arkeolog sekaligus Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, Candrian Attahiyat, menyarankan penyajian sejarah secara utuh berdasarkan periode waktu. Hal itu merujuk jejak Jakarta mulai dari masa Kerajaan Tarumanegara hingga tahun 1972.
”Mengapa sampai 1972? Karena itu masuk periode 50 tahun atau satu generasi jika dikurangi waktu saat ini (2022),” katanya.
Dalam periode waktu itu, menurut Candrian, bisa diketahui pola kota, kluster, kampung, toponimi, infrastruktur, dan bangunan. ”Di dalamnya ada masa kerajaan, penjajahan dengan warisan Kota Tua, kemerdekaan, dan pembangunan kampung-kampung menjadi kota,” ujarnya.