Berjejaring Setengah Hati
Fenomena urbanisasi terjadi merata diikuti merebaknya isu sampah, polusi, hingga kemacetan. Perlu kerja sama berjejaring antarkawasan didukung pusat guna mengatasinya. Sayang, kerja sama itu masih berjalan setengah hati.
Hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan konsentrasi pertumbuhan area urban terbesar masih di Pulau Jawa. Namun, Bappenas memproyeksikan di tingkat nasional laju urbanisasi pada 2010-2030 sudah 66,6 persen. Isu perkotaan mulai dari pengolahan sampah, polusi, hingga kemacetan mulai merebak di mana-mana. Untuk mengatasinya perlu kerja sama berjejaring antarkawasan didukung keberpihakan kebijakan pusat ataupun daerah.
Data Sensus Penduduk Indonesia 2020 oleh Badan Pusat Statistik memaparkan bahwa Pulau Jawa dihuni 151,59 juta jiwa atau 56,1 persen penduduk negeri ini. Jawa masih menjadi pusat konsentrasi pertumbuhan kawasan perkotaan yang berarti juga sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Meskipun demikian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 memaparkan, persentase penduduk daerah perkotaan di setiap provinsi meningkat merata di semua provinsi. Di tingkat nasional, tingkat urbanisasi saat ini diproyeksikan sudah 66,6 persen. Pada 2030, beberapa daerah, seperti Bali dan Jawa Barat, 80 persen kawasannya akan menjadi area urban.
Urbanisasi dipengaruhi pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi area perdesaan menjadi bagian dari daerah perkotaan. Selain itu, ledakan area urban di Indonesia, seperti halnya di negara lain, juga dipicu tren pembangunan kota baru.
Baca juga : Cara Hidup Perkotaan yang Khas dan Melenakan
Pengembangan jalan dan pembangunan sistem transportasi menjadi urat nadi yang sangat penting untuk meningkatkan keterhubungan kota dan kabupaten.
Beberapa alasan utama pemekaran kawasan perkotaan dan pembangunan area urban baru selalu sama, yaitu adanya pertumbuhan demografis, kelas menengah yang meningkat, dan peningkatan eksponensial standar hidup masyarakat seiring ekonomi yang membaik. Pertumbuhan perkotaan yang pesat dan stabil berarti turut menjamin roda perekonomian suatu negara berderap maju.
Dari jumlah penduduk, ada kategorisasi kota kecil, menengah, besar, dan metropolitan. Dilihat dari profilnya, di Indonesia ada kota otonom, ibu kota kabupaten, kawasan bercirikan perkotaan di kabupaten, kawasan yang direncanakan jadi kota baru, dan kota baru.
Di luar itu, akibat cepatnya laju pertumbuhan, beberapa daerah telah beraglomerasi membentuk setidaknya 10 kawasan perkotaan metropolitan. Dari 10 kawasan itu, di antaranya Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo) di Sumatera Utara, Mamminasata (Makassar, Gowa, Takalar, dan Maros) di Sulawesi Selatan, dan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan) di Bali.
Namun, kenyataannya, cepatnya laju urbanisasi tidak diikuti pembangunan infrastruktur publik yang memadai serta berbagai masalah sosial lain.
Transportasi publik
Wali Kota Bogor sekaligus Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya, Selasa (21/6/2022), mencontohkan adanya dua permasalahan besar di Jabodetabek, yaitu transportasi publik dan lingkungan.
Kebutuhan transportasi tidak hanya untuk pergerakan di dalam kota, tetapi juga lintas kota aglomerasi. Penataan transportasi publik saat ini masih belum maksimal sehingga menyebabkan warga memilih kendaraan pribadi. Dampaknya pun bisa dirasakan, yaitu kemacetan dan polusi udara.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perhubungan, dampak pergerakan mobilitas tinggi kendaraan di enam kota metropolitanJabodetabek mengakibatkan pemborosan 2,2 juta liter bahan bakar minyak per hari. Kerugian ekonominya senilai Rp 71,4 triliun per tahun.
Gas buang kendaraan menjadi penyumbang terbesar kedua emisi gas rumah kaca dari sektor energi di Indonesia. Waktu turut terbuang percuma karena kecepatan rata-rata kendaraan dan angkutan umum pada jam puncak kemacetan di semua jaringan jalan cuma 30 kilometer per jam.
Baca juga : Sepiring Nasi untuk Kota yang Selalu Lapar
Di Kota Bogor, kehadiran BisKita melalui program pembelian layanan atau buy the service dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek dirasakan sangat bermanfaat. Meski begitu, pembangunannya baru tahap awal dan masih jauh dari sempurna.
Di Medan dan Denpasar, kondisinya tak jauh beda. Saat ini, sudah ada sistem bus rapid transit (BRT) Medan-Binjai-Deli Serdang, yakni Trans Mebidang. Namun, ini belum cukup diminati penumpang. Ada pula Trans Metro Deli yang kini melayani lima koridor di dalam kota. Bus ini diharapkan bisa terus berkembang menjadi tulang punggung transportasi publik di dalam kota.
”Saya setiap hari harus menempuh perjalanan dari rumah saya di Belawan ke tempat kerja di Medan Amplas. Perjalanan dengan bus Trans Deli jauh lebih aman dan nyaman dibanding angkot (angkutan kota/minibus),” kata Suryanti (50), warga Medan Belawan.
Sekretaris Himpunan Pengembang Jalan Indonesia (HPJI) Sumatera Utara Burhan Batubara mengatakan, pengembangan jalan dan pembangunan sistem transportasi menjadi urat nadi yang sangat penting untuk meningkatkan keterhubungan kota dan kabupaten di kawasan Mebidangro atau Sumut secara umum.
Baca juga : Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution, Senin (20/6/2022), mengatakan, pembangunan Kota Medan sebagai pusat aglomerasi akan bertumpu pada konsep pembangunan kota pintar. ”Konsep pembangunannya mempermudah semua layanan. Akan ada nanti pembangunan transportasi di Kota Medan. Tunggu saja,” kata Bobby.
Sementara di Bali, pengadaan bus Trans Sarbagita diluncurkan mulai 2011. Namun, dalam perkembangannya, moda angkutan umum untuk kawasan Sarbagita itu berkurang jumlahnya, bahkan pernah mengalami ”mati suri”. Sejak 2020, moda angkutan umum untuk kawasan Sarbagita ditambah dengan dihadirkannya layanan bus Trans Metro Dewata.
BisKita, Trans Metro Deli dan Trans Mebidang, serta Trans Metro Dewata masih menghadapi jalan panjang untuk dilalui sebelum dinyatakan sah menjadi angkutan perkotaan yang memenuhi kebutuhan perkembangan kawasannya.
Lingkungan
Persoalan lingkungan, termasuk soal sampah dan penanganan banjir, ikut menjadi isu yang belum terjawab seiring cepatnya pertumbuhan penduduk dan mekarnya kota-kota.
Di Makassar, saat ini timbulan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa yang luasnya 16,8 hektar sudah mencapai ketinggian hampir 30 meter. Produksi sampah Makassar 1.000-1.300 ton per hari. Sebanyak 800-1.100 ton masuk ke TPA. Selebihnya dikelola bank sampah, mal sampah, dan berbagai lembaga yang bergerak dalam pengolahan sampah.
Isu sampah ini pun menerpa Bali. Warga Banjar Tampak Gangsul, Desa Dangin Puri Kauh, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, Komang Sudiarta, mengatakan kerja sama maupun koordinasi antardaerah di kawasan Sarbagita masih belum optimal.
”Masih sangat mengandalkan TPA Regional Sarbagita Suwung di Kota Denpasar,” kata Sudiarta alias Om Bemo, pegiat lingkungan sekaligus pendiri komunitas Malu Dong.
Persoalan sampah ini seperti belum menjadi fokus pemerintah kota maupun sesama pemda di dalam kawasan aglomerasi. Padahal, dengan pertumbuhan penduduk dan mobilitas tinggi antarwarga di dalam aglomerasi, salah satu dampaknya adalah produksi sampah bertambah. Jika tidak ditangani sejak dini dengan pendekatan pengurangan serta pengelolaan sejak di tingkat rumah tangga, sampah akan menjadi bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan membebani kawasan.
”Aglomerasi Jabodetabek belum menjadi kota berjejaring yang kuat. Persoalan transportasi dan lingkungan masing-masing kota masih berjalan dan bergerak sendiri, padahal sudah ada rencana induk pembangunan Jabodetabek. Namun, itu tidak menggambarkan kesamaan visi,” ujar Bima.
Baca juga : Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
Di forum Apeksi kami fokus kepada sinergi dan kolaborasi. Tren ini semakin kuat, tetapi memang ini sangat bergantung kepada para wali kota untuk paham tentang berjejaring, aktif, dan terlibat.
Bima menilai, keberadaan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur tidak efektif menjalankan program rencana pembangunan kota. BKSP seharusnya memiliki kekuatan untuk mengikat pemerintah daerah dalam kesamaan perencanaan dan alokasi anggaran. Dengan begitu, permasalahan yang bersinggungan dengan kota aglomerasi bisa diatasi bersama.
Kurangnya sinergi, komunikasi, dan konsistensi, menurut Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto, juga membuat program Kota Metropolitan Mamminasata yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2011 ini belum jalan sesuai harapan.
”Selama ini sejumlah sektor berjalan karena inisiatif warga semata. Perdagangan, misalnya, jalan secara alami. Kerja sama pengelolaan air tampaknya juga tidak jalan,” kata Pomanto.
Memupuk jejaring
Dari permasalahan yang menjerat kota-kota di Indonesia, bukan tidak ada upaya untuk berubah lebih baik. Menurut Bima, setidaknya dalam lima tahun terakhir ada tren yang baik dalam kota berjejaring, yaitu ada peningkatan kolaborasi antarkota. Semakin banyak yang menyadari membentuk jejaring untuk peningkatan kapasitas, pendanaan, dan solusi mengatasi permasalahan.
”Di forum Apeksi kami fokus kepada sinergi dan kolaborasi. Tren ini semakin kuat, tetapi memang ini sangat bergantung kepada para wali kota untuk paham tentang berjejaring, aktif, dan terlibat,” kata Bima.
Di luar Apeksi, ada jaringan kota peduli sanitas seperti Akopsi (Asosiasi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi). Organisasi daerah itu hadir karena kepedulian dalam pembangunan sanitasi sebagai hal vital dalam pembangunan daerah. Organisasi ini lahir atas inisiasi kepala daerah. Setidaknya ada 492 daerah kota dan kabupaten bergabung dalam organisasi ini.
Adapun Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara mengatakan, Kota Denpasar memiliki visi Kota Kreatif Berbasis Budaya Menuju Denpasar Maju dengan semangat ”Vasudhaiva Kutumbakam”, yang bermakna kita semua bersaudara. Karena itu, Kota Denpasar antusias melaksanakan kerja sama antardaerah melalui kawasan Sarbagita.
Baca juga: Berpacu Menyelamatkan Kota-kota Pesisir
”Kekuatan utama dari Sarbagita adalah adanya kesamaan budaya, yaitu budaya Bali, yang menjadi spirit untuk saling mendukung dan memecahkan berbagai permasalahan secara bersama-sama dan saling menguntungkan,” kata Jaya Negara.
Tanpa bermaksud mengecilkan semangat Jaya Negara, pengamat tata ruang dan sosial budaya, yang juga guru besar dari Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali, Putu Rumawan Salain, menganjurkan agar struktur, manajemen, dan fungsi kawasan Sarbagita perlu ditinjau ulang sehingga keberadaan Sarbagita lebih dirasakan masyarakat Bali, terutama warga di empat daerah yang termasuk kawasan aglomerasi itu. Ia mengusulkan dipertimbangkan pembentukan badan otorita agar jelas struktur dan manajemen kawasannya.
Pengamat perkotaan yang juga Rektor Universitas Bosowa, Sulawesi Selatan, Prof Batara Surya, mengatakan, persoalan yang muncul di kawasan aglomerasi sebenarnya sudah ada solusinya. Hanya, selama ini kurang ada komunikasi yang baik, sinergi, dan konsistensi membuat rencana besar lalu melaksanakannya.
Kerja berjejaring dapat dilakukan jika ada pemahaman sederajat dan bertujuan demi kemaslahatan bersama. Jika ego sektoral masih mendominasi, yang didapat adalah pembangunan secara parsial dan bersifat sektoral. Kota berkelanjutan lestari untuk kini dan masa depan bakal sulit diraih.
Baca juga : Air Tanah Solusi Krisis Air Bersih Perkotaan