BMKG melaporkan penurunan kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya. Tercatat sejak 15 Juni konsentrasi PM 2,5 meningkat hingga mencapai puncak pada level 148 µg/m3 atau masuk kategori tidak sehat.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terjadi penurunan kualitas udara di Jakarta sejak 15 Juni. Konsentrasi PM 2,5 terpantau meningkat hingga mencapai puncak pada level 148 mikrogram per meter kubik atau µg/m3, yang berarti masuk kategori tidak sehat. Pemicunya ialah kendaraan bermotor, industri, arah angin, dan kelembapan.
Plt Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko dalam keterangannya tentang perkembangan terakhir kondisi kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya, Jumat (24/6/2022), melaporkan, penurunan kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya memasuki pekan yang baru. Tercatat sejak 15 Juni, konsentrasi PM 2,5 meningkat hingga mencapai puncak pada level 148 µg/m3.
Merujuk Peraturan BMKG Nomor 2 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Penyebaran Informasi Kualitas Udara, pewarnaan dan rentang konsentrasi per jam PM 2,5, level 148 µg/m3 masuk kategori tidak sehat (66-150 µg/m3). Adapun rentang 0-15 µg/m3 dikategorikan baik, 16-65 µg/m3 sedang, 151-250 µg/m3 sangat tidak sehat, dan lebih dari 250 µg/m3 berbahaya.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur nilai baku mutu udara ambien PM 2,5 selama 24 jam sebesar 55 µg/m3.
Hasil pemantauan konsentrasi PM 2,5 di BMKG Kemayoran, Jakarta Pusat, menunjukkan, rata-rata konstrasi PM 2,5 berada pada level 49,07 µg/m3 sepanjang Juni 2022. Konsentrasi PM 2,5 ini memperlihatkan pola diurnal yang berbeda antara siang dan malam.
Urip menyebutkan, konsentrasi PM 2,5 cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi dan menurun pada siang hingga sore. Khusus pada beberapa hari terakhir ini PM 2,5 melonjak dan tertinggi ada pada level 148 µg/m3 pada 15 Juni 2022.
Pada 16-17 Juni, konsentrasi PM 2,5 cenderung turun ketimbang 15 Juni. Namun, terjadi kenaikan konsentrasi PM 2,5 pada 18 Juni hingga mencapai 147,5 µg/m3. Sementara pada 23 Juni, konsentrasi PM 2,5 berada di atas 80 µg/m3 pada pukul 08.00 hingga pukul 09.00.
”Tingginya konsentrasi PM 2,5 ini secara kasatmata udara Jakarta terlihat cukup pekat atau gelap,” katanya.
Masyarakat diimbau untuk menggunakan pelindung diri, seperti masker yang sesuai untuk dapat mengurangi tingkat paparan terhadap polutan udara di luar ruangan.
Pemicu tingginya konsentrasi PM 2,5 di Jakarta dan sekitarnya, antara lain, emisi dari kendaraan bermotor, industri, pergerakan polutan udara oleh angin sehingga terjadi potensi peningkatan konsentrasi PM 2,5, tingginya kelembapan udara relatif yang menyebabkan perubahan wujud dari gas menjadi partikel, dan munculnya lapisan inversi di udara yang menyebabkan PM 2,5 tertahan dan tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain.
Urip menambahkan, memburuknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya juga terjadi karena stagnasi pergerakan udara yang menyebabkan polutan udara tidak beranjak dan berimbas pada kondisi cenderung bertahan lama. Kondisi stagnasi udara ditandai oleh kecepatan angin rendah yang tidak hanya berimbas pada akumulasi PM 2,5, tetapi juga dapat memicu produksi polutan sekunder udara lain, seperti ozon permukaan (O3), yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.
”Masyarakat diimbau untuk menggunakan pelindung diri, seperti masker yang sesuai untuk dapat mengurangi tingkat paparan terhadap polutan udara di luar ruangan,” ucapnya.
Penanggulangan
Berdasarkan data dari Stasiun Pemantauan Kualitas Udara yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, pada 15 Juni 2022 polutan pencemar udara terakumulasi di lapisan troposfer karena sejak dini hari kelembapan tinggi dan suhu rendah.
”Maka, akan terlihat kondisi kualitas udara seperti kabut, didukung juga dengan cuaca yang mendung,” ujar Kepala Seksi Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan yang dihubungi terpisah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto melalui siaran video menjelaskan bahwa sumber pencemar udara di Jakarta berasal dari kendaraan bermotor, kegiatan konstruksi, industri, dan sebagainya.
”Kendaraan bermotor berkontribusi 75 persen pada pencemaran udara. Kami berharap masyarakat beralih ke transportasi publik yang saat ini sudah lebih baik dan terintegrasi. Dengan begitu bisa kurangi sumber pencemar udara,” katanya.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga memantau industri dan manufaktur supaya tak lagi menggunakan batubara. Salah satunya dengan menindak PT KCN yang diduga menimbulkan pencemaran debu batubara di sekitar Marunda, Jakarta Utara.