Mereka yang Berada di Luar Jangkauan
Di tengah rangkaian perayaan HUT Jakarta, pendatang dan pekerja informal berpenghasian jauh dari UMR banyak yang belum merasakan kehadiran pemerintah. Hunian mereka kurang layak, akses ke layanan kesehatan pun minim.
Jarum jam tepat menunjukkan pukul 17.00 ketika Parmin (29) selesai mengiris daun bawang dan wortel serta mengupas ubi.
Tak lama kemudian, ia membersihkan gerobak gorengan yang ia parkir tepat di depan rumah kontrakannya. ”Beginilah kegiatan saya sehari-hari,” kata Parmin di rumah kontrakannya di RT 015 RW 002, Kelurahan Batu Ampar, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis (16/6/2022).
Di rumah petak yang lebih mirip kos-kosan karena ukuran ruangnya 3 meter x 4 meter, Parmin bertetangga dengan para pendatang yang sampai saat ini sama-sama masih setia memegang kartu tanda penduduk (KTP) dari daerah asal. Mereka rata-rata hidup dan menafkahi keluarga dengan berdagang gorengan, bakso, bubur ayam, es selendang mayang, ataupun jajanan anak.
Mereka memilih berjualan keliling daripada menetap di satu kios atau satu tempat berjualan. Alasannya, biaya menyewa tempat mahal, atau kalaupun menetap di satu titik, mereka tidak akan mendapatkan banyak pelanggan.
”Saya dengan berkeliling pukul 06.00-14.00 bisa mendapatkan hasil kotor Rp 400.000,” kata Parmin yang asli Cirebon, Jawa Barat, dan mulai merantau ke Jakarta sejak 2005 atau sejak ia lulus SD.
Baca juga : Pasukan Oranye Memoles Jakarta Hajatan
Dengan pendapatan kotor Rp 400.000 per hari, Parmin harus ketat dalam mengelola keuangan. Ia membayar sewa rumah Rp 500.000 per bulan, biaya air Rp 70.000 per bulan, listrik Rp 200.000 per bulan, serta tentu saja biaya hidup dan sebisa mungkin menabung.
Berjualan keliling juga dilakoni Andri (23), tetangga rumah petak sebelah Parmin. Andri yang asli Pandeglang, Banten, berdagang bakso keliling di kawasan Kramatjati.
Ia mulai berdagang pukul 12.00 hingga malam hari. ”Dagang keliling malah banyak pembeli. Sehari saya bisa dapat Rp 500.000 kotor,” kata Andri yang tinggal bersama istrinya, Indri (20), dan anaknya, Nabila (2,5).
Sama halnya dengan Parmin, pendapatan sebesar itu dikelola Andri untuk membayar sewa rumah petak, membayar air dan listrik, biaya hidup, lalu menabung, juga untuk membeli bahan dagangan.
”Di Jakarta ini, dengan pendapatan sebesar itu, saya bisa menabung dan menyimpan sebagian pendapatan saya. Kalau di kampung malah saya tidak bisa menabung,” ujar Andri yang merantau ke Jakarta saat berusia 15 tahun selepas sekolah menengah pertama.
Baca juga : SPG yang Menghidupkan Pekan Raya Jakarta
Setelah dipotong pengeluaran, Andri bisa menabung Rp 50.000 per hari. Dalam sebulan, simpanan itu memang masih jauh dari pendapatan upah minimum regional (UMR) Jakarta. Namun, mereka mengatakan bersyukur bisa menyimpan pendapatan.
Apalagi, niat dia datang ke Jakarta adalah untuk memperbaiki nasib. Ia merantau, bekerja pada orang, kemudian berjualan sendiri, dan menabung.
Di rumah petak itu terdapat pedagang keliling lain yang juga sudah tahunan tinggal di Jakarta dan berdagang keliling. Mereka memanfaatkan keberadaan Pasar Induk Kramatjati sebagai pusat kulakan bahan-bahan dagangan mereka.
Seperti Parmin, setelah selesai berjualan di sore hari, ia akan pergi ke Pasar Induk Kramatjati untuk membeli bahan-bahan pembuatan gorengannya, seperti ubi, wortel, daun bawang, dan pisang. ”Kalau singkong datangnya malam, juga tahu tempe,” jelas Parmin.
Demikian juga Andri. Begitu selesai berjualan di malam hari, ia biasanya akan pergi ke Pasar Induk Kramatjati untuk membeli daging sapi segar dan daging ayam sebagai bahan utama bakso, juga bahan-bahan lainnya pelengkap bakso.
Modal yang serupa dengan Parmin ataupun Andri, yaitu niat memperbaiki nasib dikombinasikan dengan kenekatan tanpa keahlian khusus, juga dimiliki Sandro (26). Lelaki asal Medan, Sumatera Utara, itu tak menyangka harus berakhir di jalanan dan menari-nari demi rupiah.
”Ini buat jajan anak saja. Namanya juga punya anak, keluarga. Lagi sepi proyek,” katanya.
Sandro merantau ke Jakarta pada 2015. Dia datang ke Jakarta tanpa keterampilan atau bekal mumpuni. Lelaki itu hanya bermodal ijazah SMP disertai kenekatan dan keberanian untuk mencari kerja di Jakarta.
Setelah tiba di Jakarta, dia bekerja apa saja untuk bertahan hidup, salah satunya sebagai penambal ban. Pekerjaan ini dia geluti lebih kurang selama setahun hingga kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai buruh di salah satu proyek strategis nasional di Bekasi, Jawa Barat.
Selama bekerja sebagai buruh proyek, penghasilan yang diperoleh setiap bulan di atas UMR Jakarta. Upah itu dinilai cukup bagi lelaki yang tinggal di Kebayoran itu untuk membangun keluarga. Dia pun menikah pada 2018 dan sudah memiliki seorang anak yang kini berusia 2 tahun.
Waktu berat-beratnya pandemi, saya cuma dapat bantuan beras dan makanan kecil. Itu pun setengah.
Yang mengherankan, dengan niat merantau dan sudah cukup lama hidup di Jakarta, baik Parmin, Andri, maupun Sandro sama sekali tidak menginginkan pindah kependudukan, mengurus pindah sebagai warga DKI Jakarta. Parmin dan istrinya tetap dengan KTP Cirebon, Andri dan istri tetap dengan KTP Banten, dan Sandro masih ber-KTP Sumatera Utara.
Padahal, DKI Jakarta dengan kekuatan APBD terbesar di Indonesia memiliki banyak program penanggulangan kemiskinan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, pelatihan-pelatihan, hingga bantuan kewirausahaan. Karena pendirian itu, alhasil mereka tidak pernah tersentuh bantuan apa pun dari pemerintah. Mereka seperti jauh dari jangkauan pemerintah.
”Waktu berat-beratnya pandemi, saya cuma dapat bantuan beras dan makanan kecil. Itu pun setengah. Selain itu, seumur hidup saya di Jakarta, saya belum pernah mendapatkan bantuan apa pun,” kata Parmin.
Bagi mereka, merantau adalah upaya untuk mendapatkan penghasilan lebih untuk memperbaiki nasib. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa merantau juga menjadi warga kota itu, menjadi bagian dari kota itu.
”Saya sudah berencana tidak tinggal lama di Jakarta. Jadi, saya tidak mau mengubah KTP saya,” kata Andri.
Hal demikian ternyata juga menjadi pemikiran Parmin. Namun, ia masih menimbang-nimbang untuk mulai mengurus kependudukan karena anaknya sebentar lagi memasuki usia sekolah.
Sandro keberatan mengurus pindah kependudukan. ”Saya mesti pulang ke kampung mengurus surat pindah,” katanya.
Alhasil, saat Jakarta memasuki usia ke-495 tahun ini, kehidupan warga miskin kota diwarnai kehidupan warga perantauan berpenghasilan minim yang boleh dibilang berbeda dengan warga miskin ber-KTP DKI Jakarta. Warga miskin KTP Jakarta masih bisa menikmati akses transportasi dengan kartu transportasi yang disiapkan, akses kesehatan, hingga bantuan pangan murah.
Baca juga : Ke Jakarta Ku Terus Kembali
Mereka juga mendapatkan prioritas menghuni rusunawa manakala wilayah tinggal mereka terdampak program pembangunan atau mengharuskan mereka berpindah tempat. Mereka juga mendapatkan prioritas mendapatkan program perlindungan sosial skala lokal yang bersumber dari APBD DKI. Sebutlah bantuan melalui Kartu Lansia Jakarta, Kartu Disabilitas Jakarta, Kartu Jakarta Pintar, dan sebagainya.
Sementara warga miskin non-KTP DKI harus bersyukur dan berlega hati dengan tinggal di kawasan permukiman yang jarak antarpintu rumah petak mereka sekitar dua meter. Lalu antarpintu itu dipisahkan gang selebar satu meter yang lembab, sirkulasi udara kurang leluasa, hingga tidak ada arena bermain anak yang lega.
”Saya kalau sakit ya ke dokter umum. Bayar sendiri,” kata Andri yang tidak memiliki akses ke layanan BPJS itu.
Kehidupan para pekerja musiman, pendatang sementara yang merantau ke Jakarta seperti itu, banyak ditemukan di Jakarta. Sama-sama berpenghasilan di bawah UMR, tetapi berbeda dalam mendapatkan pelayanan sosial, kesehatan, juga kesempatan tinggal di hunian layak huni.
”Di sini Pemprov DKI mesti memiliki cara pandang yang berbeda menghadapi para pekerja musiman, pendatang sementara untuk menjangkau mereka,” kata pengamat dari Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga.
Selama ini, Pemprov DKI, mulai dari lurah, camat, hingga wali kota, berpandangan, mereka adalah ASN DKI, maka warga miskin yang diurusi adalah warga yang ber-KTP DKI Jakarta saja. Padahal, di luar itu, warga miskin ber-KTP bukan DKI begitu banyak.
Ikut menggerakkan ekonomi informal itu tidak dilihat dari KTP DKI atau tidak. Harus dilihat secara luas.
Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Moehamad mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sejatinya sudah memiliki ketentuan mengenai warga pendatang. Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa penduduk non-Jakarta yang sudah enam bulan tinggal di Jakarta diperbolehkan untuk didaftarkan dalam proses pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
”Hanya, aturan ini tidak sinkron dengan proses pelaksanaannya. Di proses pemutakhiran DTKS, ada pemadanan (data) oleh dinas pendudukan dan catatan sipil. Warga non-Jakarta ini dalam proses pemadanan otomatis tersingkir,” kata Dika.
Menurut Dika, DKI Jakarta mestinya memiliki kebijakan khusus bagi warga miskin yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta. Bagi warga yang sudah tinggal enam bulan di Jakarta, Pemprov DKI seharusnya memiliki alokasi khusus bantuan sosial bagi warga yang tidak memiliki KTP DKI Jakarta.
Nirwono berpandangan, cara pandang pemprov yang harus diubah adalah dengan memahami bahwa warga miskin non-KTP DKI itu sebagian besar bekerja di sektor informal. Mereka itulah yang berjasa menggerakkan perekonomian sektor informal Jakarta.
”Ikut menggerakkan ekonomi informal itu tidak dilihat dari KTP DKI atau tidak. Harus dilihat secara luas,” katanya.
Baca juga : Kemiskinan di Jakarta Kembali ke 15 Tahun Lalu
Berangkat dari sana, pemerintah sudah seharusnya hadir dan memberikan pelayanan berupa kemudahan mengakses fasilitas dan kebutuhan dasar. Untuk memberikan KTP DKI, Nirwono meyakini warga pendatang tidak akan menerima.
Alasannya cukup sentimentil, apabila berpindah kependudukan menjadi warga DKI, mereka menjadi tidak memiliki kampung. Tiap kali pulang ke tanah kelahiran, mereka akan menjadi seperti asing, padahal mereka ke Jakarta untuk merantau, memperbaiki nasib. Mereka tidak ingin kehilangan ikatan batin dengan kampung asal. Mereka datang ke Jakarta karena memang untuk mengadu nasib, merantau.
Itu akan berbeda dengan pendatang yang latar pendidikannya lebih baik. Dengan alasan mempermudah mendapatkan pekerjaan, biasanya mereka akan mau berpindah kependudukan.
Maka, lanjut Nirwono, Pemprov DKI bisa bekerja sama dengan komunitas-komunitas warga pendatang itu. Pemprov DKI juga bisa bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta pemda asal mereka untuk menyediakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sesuai data tersebut.
Warga pendatang diperbolehkan menyewa di rusunawa tersebut. Dengan begitu, masalah permukiman padat kumuh bisa dikurangi, warga pendatang bisa mendapatkan hunian yang layak. Artinya, satu kebutuhan dasar terpenuhi.
Layanan kesehatan juga selayaknya ditempatkan di sana sehingga manakala pekerja musiman sakit, tidak membebani DKI Jakarta.
”Di DKI Jakarta ini ada banyak kantor perwakilan pemerintah daerah dari seluruh Indonesia. Kenapa tidak menggandeng mereka untuk menjembatani?” katanya.
Selanjutnya, Pemprov DKI bisa bekerja sama dengan pemda asal warga pendatang untuk menyalurkan bantuan-bantuan yang berhak mereka terima. ”Paguyuban-paguyuban warga pendatang juga bisa diajak kerja sama,” kata Nirwono.
Dika juga berpandangan, untuk bantuan-bantuan itu, SPRI menilai sampai saat ini cakupan penerima masih rendah. Sasaran program ini juga masih bersifat personal atau tidak berbasis keluarga.
SPRI mengusulkan agar Pemprov DKI menerapkan skema perlindungan sosial skala lokal dengan sasaran penerima berbasis keluarga. Skema bantuan dilakukan dengan dua cara, yakni bantuan reguler dan bantuan komponen.
Bantuan reguler merupakan bantuan yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat agar bisa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan. Adapun bantuan komponen misalnya di dalam keluarga ada kelompok lansia, maka ada bantuan biaya tambahan untuk merawat lansia.
Bantuan reguler dan komponen ini bisa dikemas dalam skema Program Keluarga Harapan (PKH) lokal. Skema PKH lokal ini juga menjamin warga miskin yang tidak tercatat dalam data kependudukan DKI Jakarta.
”Pemda DKI mempunyai anggaran yang cukup untuk membiayai PKH lokal. Kemampuan fiskal DKI sangat tinggi atau besar. DKI perlu menerapkan penghematan anggaran karena selama ini ada penggunaan anggaran yang kurang bermanfaat bagi kepentingan rakyat,” kata Dika menegaskan.