Angka kemiskinan di Jakarta per September 2021 mencapai 4,67 persen atau mendekati situasi 15 tahun lalu, yaitu pada tahun 2007. Kenaikan angka kemiskinan ini masih akibat terdampak pandemi dua tahun terakhir.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY, STEFANUS ATO, HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pemulung melintasi Jalan Satrio, Jakarta Selatan, Minggu (6/2/2022). Lapangan kerja yang layak, akses bagi masyarakat pekerja, serta program jaminan sosial dibutuhkan untuk menekan kemiskinan.
Pandemi Covid-19 membuat warga Kota Jakarta yang jatuh miskin kian bertambah meskipun Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menyebut angkanya mulai berkurang. Saking banyaknya warga yang jatuh miskin karena pagebluk, situasi Jakarta seperti terlempar kembali ke tahun 2007 atau mundur 15 tahun karena jumlah warga miskin yang sama banyaknya.
Badut jalanan, manusia boneka, dan manusia gerobak merupakan segelintir bagian dari warga miskin kota. Mereka mencari remah rupiah di jalanan dari siapa pun yang bersimpati. Bahkan, tak jarang justru mendapat umpatan, sikap merendahkan, dan diskriminasi sekalipun mereka adalah sesama warga kota yang berhak dilayani dan dilindungi.
Aldi Saputra (19) sudah akrab dengan jalanan semenjak putus sekolah, dua tahun lalu. Rutinitasnya, pulang pergi Senen-Tanah Abang demi remah rupiah dari pengunjung dan pedagang di pasar dan stasiun.
Kamis (16/6/2022) pagi, anak keenam dari sembilan bersaudara ini turun dari bajaj di Kampung Bali, Tanah Abang. Setelah membayar Rp 20.000, dia yang sudah mengenakan kostum badut, bergegas ke blok-blok pasar.
Dia mulai berjoget ataupun bernyanyi di tengah keramaian. Tak lupa tangannya mengulurkan ember sebagai wadah belas kasihan orang lain. Sesekali, terucap kata terima kasih dari mulutnya.
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Manusia badut yang mengamen di seputaran Pasar Tanah Abang dan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (16/6/2022). Badut merupakan pilihan paling realistis bagi mereka demi bertahan hidup di Ibu Kota.
”Saya jujur, nyari duit untuk bantu orangtua. Setengahnya buat mereka, sisanya pegangan dan ditabung,” ujarnya yang bisa mengantongi Rp 200.000-Rp 450.000 dari seputaran pasar dan stasiun dalam sehari.
Angka pada September 2021 mendekati persentase angka kemiskinan di 2007 yang sebesar 4,61 persen.
Aldi putus sekolah karena tidak ingin membebani ayahnya yang bekerja serabutan. Mula-mula, dia berkeliling sebagai ondel-ondel. Sayang pemasukannya seret, belum lagi harus bayar sewa peralatan dan berbagi dengan teman-temannya.
Pantang menyerah, dia banting setir menjadi badut pengamen. Guna menghemat biaya, kostum badut dibuat sendiri. Ongkosnya Rp 50.000 untuk membeli kain dan membayar penjahit.
”Saya mau kerja apa saja yang penting halal. Sudah gede kudu bisa bantu orangtua nyari duit,” tuturnya.
Jalan yang sama ditapaki Muhamad Reza (15). Remaja yang diasuh neneknya di Kebon Kacang, Tanah Abang ini memilih boneka pengamen ketimbang lanjut sekolah.
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Kostum badut Hello Kitty milik Irwan (44) yang setiap hari dikenakan untuk mencari penghasilan di Jabodetabek. Irwan tengah beristirahat di Jalan Kemanggisan Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (9/6/2021) sore.
Dalam balutan kostum Doraemon berwarna hijau, Reza yang putus sekolah dasar ini mengadu peruntungan di seputaran Thamrin City. Dia berdiri atau berjoget di muka pintu keluar dan pedestrian demi kepingan dan lembaran rupiah.
”Enggak enak nyusahin nenek, orangtua juga. Lebih enak begini, nyari duit sendiri,” katanya sambil menyeka peluh di kening. Orangtuanya bercerai. Kemudian menetap di Surabaya, Jawa Timur.
Tak jauh beda dengan Jabri (60), manusia gerobak asal Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah. Warga lansia ini tak ingin merepotkan anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan tinggal di Cakung, Jakarta Timur.
”Sudah biasa kerja. Masih kuat, masih gagah. Ngapain ngerepotin anak-anak, minta-minta sama mereka,” ucapnya di trotoar dekat Pasar Jatinegara.
Siang hingga sore, kakek tiga cucu ini berkeliling Kampung Melayu untuk memulung botol plastik. Dalam satu putaran, dia bisa mengantongi Rp 20.000.
Ketika malam, Jabur beralih sebagai penjaga pintu pasar. Jam kerjanya mulai pukul 19.00 hingga subuh dengan upah Rp 1 juta setiap bulan.
”Umur segini enggak ada lagi harapan. Yang penting sehat, bisa nengok cucu seminggu atau sebulan sekali. Sebelum pulang, bisa kasih sangu walaupun sedikit,” selorohnya.
Kemiskinan naik
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria pada Kamis (16/6/2022) menjelaskan, melalui berbagai program pengentasan kemiskinan, sebetulnya Pemprov DKI Jakarta mulai bisa mengurangi angka kemiskinan Jakarta.
Sebagai gambaran, data dari BPS DKI Jakarta menyebutkan, pada Maret 2017 persentase angka kemiskinan di Kota Jakarta sebesar 3,77 persen. Angka itu terus menurun sampai di September 2019 menjadi 3,42 persen.
Kenaikan terjadi mulai Maret 2020 atau saat pandemi Covid-19 merebak. Sejak itu, persentase angka kemiskinan naik menjadi 4,53 persen dengan jumlah angka kemiskinan 481.000 orang.
BADAN PUSAT STATISTIK
Infografis Kemiskinan Jakarta Maret 2021 dikutip dari rilis Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, yang dipublikasikan, Kamis (15/7/2021).
BPS DKI melaporkan persentase penduduk miskin di DKI Jakarta pada September 2020 kembali meningkat menjadi 4,69 persen atau sekitar 497.000 orang. Dibandingkan dengan September 2019 di mana penduduk miskin DKI Jakarta 3,42 persen atau 362.000 orang, persentase penduduk miskin September 2020 naik 1,27 persen poin atau bertambah 135.000 orang.
Jumlah angka kemiskinan di Jakarta melonjak hingga 502.000 atau naik 4,72 persen pada Maret 2021. Pada September 2021 angka itu berkurang 3.630 orang menjadi 498.290 orang atau menjadi 4,67 persen.
Riza menuturkan, angka kemiskinan Jakarta pada September 2021 mendekati angka kemiskinan Jakarta pada 2007 sebesar 4,61 persen. Angka kemiskinan pada September 2021 menempatkan Jakarta sama seperti situasi Jakarta pada 15 tahun lalu.
”Angka pada September 2021 mendekati persentase angka kemiskinan di 2007 yang sebesar 4,61 persen,” ujar Riza.
Pengamat Perkotaan dari Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga menambahkan, warga miskin non-KTP DKI Jakarta sebenarnya bukan tunggung jawab penuh Pemprov DKI, melainkan juga pemerintah daerah asal mereka. Warga miskin non-KTP DKI itu datang ke Jakarta karena keterbatasan lapangan pekerjaan, sementara bekal pendidikan tidak memadai.
”Perlu strategi kemitraan Pemprov DKI dengan pemerintah daerah asal mereka serta pemerintah pusat atas nama kemanusiaan,” tutur Nirwono.