Manusia badut di Jakarta merupakan angkatan kerja berusia muda yang kalah sebelum bertarung.
Oleh
STEFANUS ATO, FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Manusia badut ada mulai dari gang sempit hingga jantung keramaian. Berdiri, mondar-mandir, dan berkeliling menawarkan atraksi sebisanya ketimbang sekadar minta-minta. Mereka angkatan kerja berusia muda yang kalah sebelum bertarung.
Muhamad Maulana Hasbi (21), Kamis (16/6/2022) malam, berdiri di pintu masuk salah satu minimarket, di Simpang Rawa Belong KH Taisir, Palmerah, Jakarta Barat. Dia dengan sopan membuka dan menutup pintu minimarket setiap ada pelanggan yang masuk dan keluar sembari berharap mendapat kemurahan hati dari orang yang keluar dan masuk.
”Saya sejak tamat SMP sudah hidup di jalanan. Cari uang untuk bantu orangtua dan menabung,” kata remaja yang tinggal di belakang Universitas Bina Nusantara, Jakarta Barat, Kamis malam.
Maulana sudah menjadi badut jalanan lebih dari dua tahun. Saat lulus sekolah menengah pertama (SMP), dia tidak melanjutkan pendidikan karena tak ingin membebani ekonomi keluarga.
Maulana merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ketika tamat SMP, masih ada salah satu kakaknya yang saat itu belajar di sekolah menengah atas. Pada saat bersamaan, dua adiknya duduk di bangku sekolah dasar. Maulana saat itu memutuskan tidak melanjutkan pendidikannya.
Semua berubah pas Covid-19. Suami tidak kebagian kerja, saya juga berhenti dari konveksi. Bansos enggak dapat, serba susah.
Dia memilih bekerja serabutan, mulai dari jadi tukang cuci di warung hingga tukang bersih-bersih mobil di wilayah Senen. Selama bekerja serabutan, Maulana berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 500.000. Uang itu kemudian dia serahkan ke salah satu perusahaan perekrut tenaga kerja di Kramatjati, Jakarta Timur.
”Saat itu saya diminta uang Rp 450.000. Janji mereka, saya langsung kerja. Waktu itu sudah kasih pakaian seragam. Namun, besoknya saya ke sana lagi, kantornya sudah kosong,” katanya.
Maulana kemudian sadar kalau tempat dia melamar kerja itu abal-abal atau dia sudah ditipu. Uang ratusan ribu yang dia kumpulkan dengan susah payah pun lenyap. Maulana sampai saat ini masih trauma. Dia memilih tetap bekerja sebagai manusia badut ketimbang mencari pekerjaan lain.
Di tempat lain, Fitriyah (20) menepi ke trotoar dekat Thamrin City, Jakarta Pusat, setelah berkeliling bersama Okta (2), si buah hati. Matanya berbinar-binar melihat dua nasi kotak dan es teh pemberian seorang warga di sekitar situ, Jumat (17/6/2022).
”Sebenarnya malu dikasih beginian, tapi senang. Rezeki nomplok, ya, Om,” ujarnya sembari menyuapi Okta yang rewel karena sedang tidak enak badan.
Siang itu, ibu dua anak ini mengenakan kostum pahlawan super, Captain America. Dia beberapa kali mengitari kawasan Thamrin City sambil menggendong Okta, sedangkan sang suami bersama anak sulung berusia 4 tahun mengamen di Tanah Abang.
Fitriyah putus sekolah di bangku sekolah dasar setelah kedua orangtuanya bercerai. Sejak itu, dia sudah akrab dengan jalanan Ibu Kota demi sesuap nasi.
Empat tahun lalu, warga Cideng, Jakarta Pusat, ini bertemu dengan suaminya di panti sosial di Cipayung, Jakarta Timur. Mereka sama-sama penyandang masalah kesejahteraan sosial yang terkena razia.
Selepas menikah, suaminya yang putus sekolah saat SMP beralih profesi menjadi buruh bangunan. Pada saat yang sama, dia bekerja serabutan sebagai pencuci hingga penjahit di konveksi. Pekerjaan yang dilakoni keduanya cukup untuk memenuhi biaya kontrakan Rp 450.000 per bulan dan susu anak balita mereka.
”Semua berubah pas Covid-19. Suami tidak kebagian kerja, saya juga berhenti dari konveksi. Bansos enggak dapat, serba susah,” ucapnya.
Awalnya hanya suami yang turun ke jalan sebagai pengamen boneka, sementara dia menjadi ibu rumah tangga penuh waktu sambil mengasuh kedua anak mereka.
Namun, pemasukan harian tak sepadan dengan kebutuhan. Keduanya mau tidak mau sama-sama menjadi pengamen boneka. ”Keadaan mengharuskan begini. Susah enggak susah, jalani saja. Mau kerja apa lagi, bingung juga,” ucapnya sambil menarik napas.
Pasangan pengamen boneka ini bekerja mulai pukul 15.00 hingga pukul 21.00 di lokasi berbeda. Masing-masing bisa mengantongi Rp 100.000 setiap harinya. Tak jarang, mereka terlibat keributan dengan pengamen, manusia silver, ataupun badut lain demi rupiah untuk bertahan hidup.
Enggak mau pulang ke Cirebon. Bingung di sana mau kerja apa.
Kerasnya hidup di Jakarta turut dialami Umar (15) asal Cirebon, Jawa Barat. Jika anak seusianya menghabiskan waktu di sekolah, bontot dari tiga bersaudara ini harus membantu ayah dan saudaranya setelah putus sekolah dasar.
”Mau mandiri, biar enggak ngerepotin orangtua,” kata yatim yang ditinggal pergi ibu setelah melahirkannya ke dunia.
Umar menjadi pengamen badut di seputaran Pasar Tanah Abang bersama kakaknya, Linda (23), dan Taufiq (26), suami kakaknya. Sementara ayahnya, Hasan, yang berprofesi sebagai pengojek daring, tengah pulang kampung untuk mengerjakan rumah dan abangnya merupakan sopir mikrolet trayek Tanah Abang-Kebayoran Lama.
Mahalnya biaya indekos ataupun kontrakan membuat mereka memilih tidur di kolong pos dinas perhubungan di trotoar samping Blok B Pasar Tanah Abang. Mereka tidur beralas papan dan kardus. ”Enggak mau pulang ke Cirebon. Bingung di sana mau kerja apa,” kata remaja yang semasa kecil bercita-cita menjadi TNI ini.
Tiga tahun sudah Umar lekat dengan kehidupan jalanan sebagai pengamen badut. Selama itu, sudah tidak tebersit niat untuk melanjutkan pendidikan. Pemasukannya dalam sehari berkisar Rp 50.000 hingga Rp 150.000. Sebagian kecil disetorkan kepada ayah, sedangkan sisanya untuk jajan bersama dua keponakan.
Umar dan warga lain yang menggeluti mata pencarian serupa terkesan menerima saja menjalani kesehariannya demi menyambung hidup. Apakah memang demikian? Entahlah.
Namun, mencermati cerita mereka, Umar dan para badut jalanan juga manusia silver ataupun pengamen yang berbagi ruas aspal untuk mencari rupiah telah dipaksa keadaan agar terbiasa hidup menggelandang di usia belia saat seharusnya mereka bisa bersekolah formal.
Alternatif untuk menjalani kehidupan yang lebih baik pun sepertinya belum menyambangi mereka. Mereka seperti kalah dan tersisih sebelum bertarung dalam bursa kerja serta meraih hidup yang lebih mapan di belantara Ibu Kota.