Penutupan Tebet Eco Park, menurut Gembong Warsono dan Nirwono Joga, dinilai tidak melalui kajian dan perencanaan yang benar sejak awal.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
”
JAKARTA, KOMPAS — Anggota DPRD DKI Jakarta mengkritisi upaya Dinas Pertamanan dan Hutan Kota menutup taman Tebet Eco Park setelah pengunjung taman mengganggu warga di sekitar kawasan. Kajian terkait pembangunan taman juga dipertanyakan.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono, Rabu (15/6/2022), menanggapi penutupan taman Tebet Eco Park, ia melihat Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta hanya bisa membangun, tetapi tanpa kajian yang benar.
”Apa pun kalau tidak direncanakan dengan baik, hasilnya seperti itu. Itu uang rakyat yang manfaatnya tidak maksimal,” kata Gembong mengkritisi.
Gembong yang juga Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta menjelaskan, perencanaan yang baik akan membuat kajian detail. Mulai dari fasilitas transportasi yang digunakan publik, lokasi parkir, hingga akses keluar masuk kawasan.
”Kajian dibuat, jangan sampai membuat masyarakat tidak nyaman, jangan mengganggu lingkungan,” kata Gembong.
Taman Tebet itu dibuat untuk lingkungan tidak menerima warga dari luar sekitar kawasan tersebut. Taman itu juga dirancang tidak untuk menampung pengunjung hingga 1.500 orang.
Dengan kajian detail pula, akan muncul pembangunan taman yang sesuai dengan situasi lingkungan. ”Mau bikin taman kota, hutan kota, judulnya soal perencanaan. Bagaimana dalam situasi, dalam lokasi seperti itu cocok dibangun apa. Dalam konteks pembangunan yang akan dimanfaatkan masyarakat banyak secara maksimal harus melalui kajian,” katanya.
Yang selanjutnya mesti dikerjakan Pemprov DKI, lanjut Gembong, setelah penutupan taman adalah upaya sosialisasi secara masif. ”Karena itu sebagai fasilitas umum,” ujarnya.
Pengamat Perkotaan dari Pusat Studi Perkotaan Nirwono Yoga sepakat dengan Gembong Warsono, perencanaannya tidak tepat dari awal. Taman Tebet yang dulunya bernama Taman Honda itu masuk taman kategori untuk lingkungan, bukan taman untuk melayani warga kota.
”Karena sejarahnya seperti Taman Langsat dan Taman Leuser di Kebayoran Baru, melihat panjang dan luasan, taman Tebet itu dibuat untuk lingkungan, tidak menerima warga dari luar sekitar kawasan tersebut. Taman itu juga dirancang tidak untuk menampung pengunjung hingga 1.500 orang,” kata Nirwono.
Kesalahan yang ia lihat, ketika merancang taman itu sebagus mungkin dan kemudian memviralkan ke media sosial, itu memancing orang banyak untuk datang. Kejadian ini sama seperti Taman Menteng atau RPTRA Kalijodo yang dibangun bagus, kemudian didatangi banyak orang. Namun, beberapa bulan kemudian sepi.
Penutupan taman Tebet Eco Park ia nilai sebagai kepanikan pemprov yang baru sebatas berhasil membangun, tetapi dampaknya tak dipikirkan. Seharusnya, Pemprov DKI langsung saja menambah jumlah bus Transjakarta yang melewati kawasan taman.
Pemprov DKI juga bisa menambah lokasi parkir bagi para pengunjung, bukannya mengancam dengan menderek mobil atau mencabut pentil sepeda motor.
Di sisi lain, Nirwono menilai keriuhan warga akan Tebet Eco Park itu menandakan kerinduan warga akan tuang terbuka hijau (RTH). Kedatangan warga ke Tebet Eco Park menandakan warga juga menuntut Pemprov DKI untuk membangun taman yang sama bagusnya dengan Tebet Eco Park secara merata di seluruh wilayah Jakarta.
”Dengan begitu, warga akan punya pilihan untuk tidak hanya datang ke Tebet saja, melainkan ada dan tersebar di tempat lain,” kata Nirwono.
Nirwono juga mengingatkan, dengan dana puluhan miliar rupiah dari dana Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang dipakai membuat bagus Tebet Eco Park, seharusnya bisa dipakai untuk membangun sejumlah taman yang lainnya dan menambah luasan RTH di DKI Jakarta. Selain itu, ia mengingatkan anggaran pemeliharaan taman juga harus diperhatikan supaya Jakarta memiliki taman-taman yang bagus.