Sedikitnya 2.000 buruh dari Jakarta, Jawa Barat, dan Banten berunjuk rasa di DPR/MPR sejak pagi hingga sore. Mereka menolak UU Cipta Kerja UU PPP, dan lainnya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai organisasi buruh atau pekerja kembali berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/6/2022). Dalam unjuk rasa yang sempat ricuh itu, buruh menolak Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masa kampanye pemilu 75 hari, dan liberalisasi pertanian melalui Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO, serta meminta pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Sedikitnya 2.000 buruh dari Jakarta, Jawa Barat, dan Banten berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen sejak pagi hingga sore. Mereka datang menggunakan bus, mobil, dan sepeda motor yang parkir di Jalan Gatot Subroto mulai dari titik aksi hingga gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Aksi sempat diwarnai kericuhan karena buruh menolak kawat berduri dipasang di depan Kompleks Parlemen. Mereka berusaha membongkar kawat berduri itu sehingga terlibat saling dorong ataupun baku pukul dengan polisi yang berjaga.
Sandi (36), anggota Serikat Pekerja Nasional Banten, datang bersama rekan-rekannya dari Kabupaten Serang. Mereka mendapat dispensasi satu hari untuk unjuk rasa tanpa pemotongan gaji dari manajemen perusahaan.
”Kebijakan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) merugikan pekerja baru. Upah tahun 2022 juga tidak naik. Kalau enggak direvisi, berarti kami bakal lanjutkan aksi,” ujarnya di sela-sela unjuk rasa.
Buruh menolak UU Cipta Kerja dibahas kembali karena secara formil sudah dinyatakan cacat oleh Mahkamah Konstitusi. Buruh juga belum menerima materi revisi UU Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan dan isinya merugikan buruh, seperti PKWT, upah murah, dan pesangon yang kecil.
Ratusan perempuan buruh juga berunjuk rasa menuntut haknya. Mereka datang dari Cikarang dan Cianjur, Jawa Barat, menggunakan bus-bus. Ada yang memprotes besaran upah tak sesuai harapan dan kontrak kerja yang merugikan.
Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang juga pemimpin Partai Buruh, mengatakan, organisasi buruh bakal mengajukan uji materi terhadap UU PPP, mengampanyekan tidak memilih partai dan politikus yang mendukung UU Cipta Kerja, dan bakal melakukan mogok kerja.
”Empat konfederasi besar, 60 federasi serikat nasional, Serikat Petani Indonesia, dan lainnya akan mogok nasional jika DPR tetap kukuh,” katanya.
Sebelumnya dalam pemberitaan Kompas, UU PPP yang baru disahkan pada Selasa (24/5/2022) dinilai belum memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi. Di sejumlah ayat masih muncul kerancuan terkait dengan pelibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti, Rabu (25/5/2022), mengatakan, dalam UU PPP yang menjadi landasan perbaikan UU Cipta Kerja ternyata masih ditemukan permasalahan. Ia melihat ada sejumlah ayat di dalam UU PPP yang menggunakan frasa ”dapat”, khususnya di ayat-ayat yang mengatur pelibatan partisipasi publik.
Misalnya, dalam Pasal 96 Ayat 6 disebutkan, untuk memenuhi hak masyarakat dalam memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, pembentuk peraturan perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, dan kegiatan konsultasi publik lainnya.
Selanjutnya, dalam Pasal 96 Ayat 7 tertulis, hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Ayat 6 menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan peraturan perundang-undangan. Dalam Ayat 8, pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat.
Susi mengkritisi adanya frasa ”dapat” setidaknya dalam ketiga ayat di UU PPP tersebut. Padahal, jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, pembentukan peraturan perundang-undangan harus mencakup tiga hak, yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan. Ketiga hak tersebut merupakan hak-hak prosedural untuk mencapai keadilan prosedural.