Acara yang mengundang kerumunan semakin marak saja meski wabah covid-19 belum dinyatakan selesai. Pengelola acara "jungkir balik" menyuguhkan eforia tanpa mengendurkan kewaspadaan. Ini fase baru di masa pandemi.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI, WISNU DEWABRATA, SOELASTRI SOEKIRNO, DWI AS SETIANINGSIH, RIANA A IBRAHIM
·6 menit baca
Beraneka hajatan yang mengundang kerumunan mulai bermunculan. Keriaan itu seperti merayakan melandainya kasus wabah Covid-19 yang membekap selama dua tahun. Euforia ini ditiupkan penyelenggara acara dan segenap pekerjanya yang ”jungkir balik” agar acaranya sukses, ramai, dan penonton sehat. Fase akhir pandemi mulai menunjukkan wajahnya.
Pada 2020, band indie pop Mocca pernah mengeluarkan lagu berjudul ”There’s A Light at the End of The Tunnel”, yang kalau diterjemahkan bebas judulnya bisa menjadi ”Cahaya di Ujung Terowongan”. Salah satu lirik lagu yang ditulis di masa kuncitara itu berbunyi, dalam terjemahan, ”kuingin pesta seharian penuh/kuingin berdansa di konser musik/kuingin menghabiskan waktu bersamamu dan kalian”.
Dua tahun setelah lagu yang dinyanyikan vokalis Arina itu keinginan mereka seperti mewujud. Orang-orang mulai ramai berkerumun saling menyapa. Orang-orang menikmati musik secara langsung di festival selama berhari-hari. Rasanya keadaan sekarang inilah ujung terowongan itu.
Kerumunan bukan cuma ada di festival musik atau acara buka puasa bersama di bulan Ramadhan lalu. Pertandingan olahraga skala internasional dihelat pula. Para model berlenggak-lenggok di pergelaran busana. Pasar malam rakyat juga dikerubungi orang-orang seperti laron pada lampu. Di balik penyelenggaraan acara massal itu, ada pengelola dan pekerja acara yang bertungkus-lumus agar hajatan berlangsung mulus.
”Haduh, deg-degan banget waktu itu,” kata Inet Leimena pada Sabtu (11/6/2022) mengenang kondisi cuaca ketika dia menjadi manajer panggung peragaan busana Canting Jawi Wetan. Hajatan di Tugu Pahlawan Surabaya, Jatim, pada akhir Maret itu diterpa gerimis ketika acara semestinya mulai. ”Yang bisa menghambat kami hanyalah cuaca, karena (itu) di luar kuasa kita, kan,” katanya.
Acara yang memamerkan busana rancangan Edward hutabarat dan Denny Wirawan itu tetap berlangsung di luar ruang meski gerimis, bahkan terbilang sukses. Inet bersama timnya telah menyiapkan rencana lain: kalau hujan makin deras, acara pindah ke dalam ruangan dengan tata lampu dan suara tak sebagus di luar. Keberuntungan masih berpihak. Acara tetap berlangsung di luar ruangan meski gerimis sempat menderas.
Pertengahan pekan ini, tepatnya Rabu (8/6/2022), strategi serupa diterapkan Inet ketika mengelola pergerlaran Java in Paris yang dihelat Pemerintah Kota Solo, Jateng. Dia sempat mewanti-wanti pengisi acara termasuk sang diva Anggun untuk tetap menyanyi, menari, meski hujan turun. Beruntung, tak ada air yang menetes dari awan Solo malam itu.
Sebagai komandan pertunjukan, Inet merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan semua yang terlibat, baik penonton, penampil, maupun pekerjanya. Inet adalah Ketua Asosiasi Pekerja Industri Pertunjukan Indonesia dengan anggota sekitar 100 orang. Selama masa pandemi, dia menambahkan prinsip kerjanya. Kesuksesan perhelatan tak lagi dipandang berdasarkan berapa banyak penonton yang datang, melainkan tidak menimbulkan kluster baru.
Perhelatan besar lainnya yang ia tangani adalah Jakarta International BNI Java Jazz Festival (JJF) 2022 yang berlangsung pada 27-29 Mei lalu. Acara itu diadakan ketika kasus Covid-19 melandai, tetapi Inet tetap menerapkan disiplin pada pekerjanya. ”Jangan lengah pada euforia. Itu harus kami pegang,” ujarnya.
Karena itu, dia mewajibkan seluruh kru menjalani tes antigen serta bekerja memakai masker dan sarung tangan meski tak nyaman. Dia juga mewanti-wanti kru untuk segera mandi dan ganti baju ketika sampai di rumah dan cukup istirahat agar imun tubuh terjaga. Bagi dia, kru harus sehat juga agar tidak menyebarkan virus ke pihak lain.
Banyak kerepotan
Dewi Gontha, President Director PT Java Festival Production, pengelola JJF, mengaku lega festival tahunan yang ditiadakan pada 2021 ini bisa berjalan lagi, bahkan tuntas dengan gemilang. Perhelatan JJF tahun ini bisa jadi adalah festival musik pertama di Indonesia yang mendatangkan musisi luar negeri sejak dunia dihantam pandemi yang berdampak pada pembatasan bepergian.
Sesuai tradisinya, JJF selalu menyuguhkan penampil mancanegara. Tahun ini, ”hanya” ada 22 penampil dari luar negeri. Sisanya adalah musisi lokal. Meski jauh menyusut dari sebelumnya, upaya penyelenggara mempertahankan tradisi festival mereka patut diapresiasi.
Dewi dan timnya menguruskan izin dan visa kerja—kebiasaan di masa sebelum pandemi. Pada perhelatan lalu, tanggung jawab mereka bertambah, yakni memastikan seluruh penampil, dari dalam dan luar negeri, beres dengan sertifikat-sertifikat vaksinasinya. Syarat dosis penuh dan penguat harus terpenuhi.
Persiapan mereka, diakui Dewi, sangat mepet. ”Kemarin (persiapan) cuma dua bulan, padahal biasanya paling enggak enam bulan. Yang kami sadari dari persiapan itu adalah kami harus banyak mendapat dukungan dari berbagai instansi. Sejak Desember 2021, misalnya, kami sudah bertemu Pemprov DKI Jakarta sebagai pemilik wilayah,” tutur Dewi.
Sejak itu, urusan koordinasi dengan instansi terkait ini dimulai maraton. Pihaknya menyurati berbagai instansi pemerintah, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi, serta kepolisian. Lampu hijau utama disasar dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Strategi berkoordinasi dengan pemerintah ini dipelajari Dewi dari penyelenggara pameran otomotif.
Persoalan lainnya yang jadi tantangan dia menggelar JJF 2022 adalah urusan pekerja panggung. Dalam tulisannya kepada Kompas, Dewi menyebut kompetensi pekerja panggung menurun karena tak ada pekerjaan selama masa pandemi. ”Padahal, kecepatan dan kualitas mereka tak boleh berkurang. Di Java Jazz, mereka harus mampu membangun 10 panggung dalam waktu kurang lebih satu minggu. Itu bukan hal yang mudah.”
Para pekerja panggung itu banyak yang pulang ke kampungnya ketika panggung-panggung hiburan di Jakarta meredup. Banyak dari mereka yang baru mengambil vaksin kedua sebelum bekerja di JJF, padahal syaratnya harus sudah dapat vaksin penguat. Mencari tenaga pengganti juga dibilang Dewi tidak mudah. Karena itu, Dewi mendambakan ada pelatihan-pelatihan lagi untuk menyegarkan keterampilan kru panggung ini demi menjaga kualitas pertunjukan di ”musim semi” ini.
Mengatur pengunjung
Arena JJF 2022, yaitu Jakarta International Expo, kembali ramai pekan ini dengan hajatan bazar Jakarta Fair Kemayoran 2022 yang absen dua tahun selama pandemi. Antusiasme warga membuncah. Pada hari kedua bazar, Jumat (10/6/2022), suasananya ramai. Keramaian ini relatif tertanggungkan karena tiket masuk juga bisa dibeli secara daring demi menghindari kerumunan depan loket.
Ralph Scheunemann, Direktur Pemasaran Jakarta International Expo, mengatakan, pembelian tiket secara daring memudahkan penghitungan jumlah pengunjung. Arena itu mampu menampung 70.000 orang sekaligus, tetapi hanya boleh diisi maksimal 75 persen. Tiket arena bazar dan panggung musik dijual terpisah.
”Biasanya pengunjung banyak menumpuk di arena konser. Dengan tambahan tiket untuk konser, diharapkan bisa mengurangi tumpukan di titik itu,” kata Ralph. Dia menargetkan bisa meraup 6,8 juta pengunjung di tahun ini serupa dengan yang mereka dapat pada 2019.
Di arena Jakarta Fair pada Jumat lalu, terlihat pengunjung mulai berani berlalu-lalang tanpa mengenakan masker. Memang, pemerintah telah mengizinkan kita beraktivitas tanpa masker di luar ruangan. Tapi di dalam ruangan, ada petugas yang kewalahan mengingatkan pengunjung untuk tetap memakai masker.
Urusan masker memang dilematis. Dua tahun melintasi pandemi, masker jadi perisai andalan dari penularan virus. Tapi memakainya sering bikin ngos-ngosan. Apalagi kalau terlena terbawa suasana menonton konser. Festival Joyland di Taman Bhagawan, Nusa Dua, Bali, Maret lalu, memilih menggelar seluruh pertunjukan di luar ruangan sehingga tidak harus-harus amat pakai masker. Panitia sering juga mengingatkan untuk menjaga jarak dan memakai masker.
Raini (26), penonton asal Bekasi yang kebetulan sedang berada di Bali, memilih sesekali melepas maskernya, kadang dalam waktu cukup lama. ”Antara takut (virus) dan enggak, sih. Soalnya, kalau kita takut terus itu mau sampai kapan? Ketakutan, sih, ada, karena pandemi belum sepenuhnya berakhir. Tapi kita juga ingin senang-senang,” ujarnya terus terang.
Nah, maraknya perhelatan berbagai skala seperti oase untuk bersenang-senang sekarang. Euforia ini pantas dinikmati. Namun, waspada jaga kesehatan jangan sampai hilang.(TRI/DWA/IAN/DOE/HEI)