Kisah Fahri dan Kepercayaan Publik kepada Integritas Kepolisian
Integritas kepolisian jadi penentu kepercayaan publik. Jika integritas itu rusak, tak hanya kepercayaan publik yang akan luntur, tetapi juga cita-cita pemuda bangsa seperti Fahri yang begitu luhur.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Fahri Fadillah Nur Rizky (21) baru saja mengubur mimpinya menjadi anggota Korps Brigade Mobil Kepolisian Negara RI. Cita-cita yang ia semai selama awal masa remajanya gagal berkembang karena hasil tes kesehatan yang mendiagnosisnya mengidap buta warna parsial.
Fakta itu didapatkan pemuda Betawi dari Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, itu setelah menyuarakan keraguannya pada sistem perekrutan anggota Polri. Ia buka suara karena merasa digagalkan menjelang pendidikan Bintara Polri meski sudah dinyatakan lolos dengan peringkat 35 dari 1.200 pendaftar. Kegagalan itu ketiga kalinya sejak mencoba perekrutan yang sama tahun 2019.
”Saya memohon kebijaksanaannya kepada Bapak Presiden dan Bapak Kapolri, Bapak Kapolda, dan anggota Dewan untuk mengembalikan hak saya untuk berangkat pendidikan Bintara Polri,” katanya dalam video yang dibagikan di akun media sosial TikTok @fahrifadillah106, akhir Mei 2022.
Di video itu, Fahri bersama sang ibunda, yang selalu mendukung mimpinya, tampil dengan menunjukkan beberapa cetakan bukti yang menunjukkan ia lulus sehingga bisa mengikuti kegiatan pendidikan gelombang pertama. Mereka meminta kejelasan perihal nama Fahri yang tergantikan dengan nama orang lain sehingga ia tidak bisa lanjut saat hendak mengikuti pendidikan lanjutan.
Video itu pun viral bersamaan dengan usahanya meminta kejelasan kepada para petinggi negeri hingga anggota Dewan. Dalam perjuangannya, putra sulung dari pensiunan perusahaan swasta itu sempat dibantu anggota Fraksi Partai Nasdem Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hillary Brigitta Lasut, dalam menyuarakan aspirasinya.
Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang memproses seleksi Fahri, dalam beberapa kesempatan pun memberi tanggapan. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan membeberkan, Fahri gagal karena masalah buta warna parsial. Kondisi itu, menurut sejumlah sumber, merupakan penyakit mata yang membuat seseorang tidak dapat membedakan corak warna tertentu.
Tes kesehatan, termasuk buta warna, kata Zulpan, dilakukan setelah peserta dinyatakan lolos dalam tahap pemberkasan administrasi. Ia memastikan, tes buta warna yang dijalani Fahri menggunakan metode saintifik dan terikat kode etik kedokteran. Ditambah lagi, anggota Markas Besar Polri telah ikut menyupervisi tes tersebut sebagai upaya kontrol kualitas.
Fahri sendiri mengaku tidak benar-benar merasakan dirinya memiliki buta warna yang dimaksud. Ia bahkan telah mencoba melakukan tes buta warna di dua rumah sakit berbeda sebagai pembanding dengan hasil yang bertentangan. Namun, polisi memastikan mereka punya metode tes tersendiri untuk memperkuat penilaian mereka. Hal ini juga sudah dicek oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
”Sikap Polda Metro Jaya hingga sampai hari ini tidak akan mengubah keputusan itu karena keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan,” kata Zulpan di Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Saat ditemui Kompas, Jumat (3/6/2022), Fahri masih terlihat berat melepas kesempatan terakhir di usianya saat ini untuk menjadi anggota kepolisian. Di sisi lain, ia meminta maaf karena tidak bermaksud melawan institusi yang ia kagumi karena pernah memiliki polisi yang terkenal jujur, yaitu mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso.
”Saya jujur saja, ingin jadi anggota Polri itu karena terinspirasi sama Kapolri Jenderal Hoegeng. Soalnya, menurut saya, dia sosok yang paling patut untuk ditiru. Dia jujur, tegas, juga berani menentang semua kesalahan yang ada di institusi Polri,” ujar pemuda berperawakan tinggi tegap dan berambut cepak itu.
Meski sulit untuk melupakan angan-angan menjadi anggota Brimob, Fahri kini mencoba menemukan jalan lain sesuai hasrat terdalamnya, yakni membela masyarakat yang terzalimi. Ia kini sedang menimbang untuk menempuh pendidikan sarjana muda bidang hukum.
”Saya memilih hukum karena agar saya tahu dan paham betul tentang semuanya benar atau salah, dan untuk membela orang yang terzalimi dengan seadil-adilnya,” ucap Fahri.
Kisah Fahri di atas seperti menjadi antitesis dari pandangan masyarakat terhadap integritas salah satu institusi penegak hukum di Indonesia tersebut.
Kepercayaan publik
Baru-baru ini, survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang dilakukan pada rentang 18-24 Mei 2022 memosisikan Polri sebagai tiga besar lembaga yang paling dipercaya publik. Lembaga kepolisian menempati urutan ketiga dari sepuluh lembaga. Posisi ini diraih setelah TNI di urutan pertama dan presiden di urutan kedua.
Jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya pada 14-20 April, peringkat Polri tidak berubah. Persentase warga yang sangat percaya dengan Polri meningkat dalam rentang dua bulan tersebut, dari 11,8 persen menjadi 17,3 persen. Di sisi lain, persentase warga yang sedikit percaya juga naik dari 19,2 persen menjadi 25,5 persen.
Survei, yang dirilis pada 8 Juni 2022 itu melibatkan 1.213 responden dengan menggunakan metode random digit dialing (RDD). Pemilihan responden pun dilakukan secara acak. Survei ini memiliki margin of error survei diperkirakan lebih kurang 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Sementara kepercayaan publik terhadap Polri cukup tinggi, survei yang sama juga menunjukkan publik meragukan integritas kepolisian. Sebanyak 44 persen publik berpendapat, korupsi tinggi saat harus berurusan dengan polisi. Bahkan 81,2 responden, yang satu tahun terakhir pernah berurusan dengan polisi, pernah memberi uang yang diminta oknum.
Anggota Kompolnas, Poengky Indarti, yang dihubungi pada Jumat (10/6/2022) berharap Polri dapat lebih meningkatkan prestasinya sehingga masyarakat makin percaya terhadap lembaga tersebut. Menurut dia, sejauh ini kepercayaan publik kepada polisi tinggi karena polisi banyak bersentuhan dengan masyarakat.
”Polisi juga harus dipahami tidak hanya melakukan tindakan penegakan hukum saja, tetapi juga melakukan tindakan preventif dan preemtif. Serta tindakan yang sifatnya melayani masyarakat, seperti pembuatan SIM, STNK, SKCK, menjaga keamanan, menertibkan lalu lintas, dan mereka yang jadi problem solver di kampung,” ujarnya.
Terkait isu korupsi yang masih dirasakan warga, Poengky tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran kendati pengawasan saat ini cukup ketat.
”Ada memang oknum anggota yang melakukan pelanggaran, bahkan melakukan pidana, tetapi jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang profesional melaksanakan tugasnya,” katanya.
Selain prestasi, integritas kepolisian pada kenyataannya juga masih menjadi penentu kepercayaan publik kepada lembaga ini. Jika integritas itu rusak, bukan hanya kepercayaan publik yang akan luntur, melainkan juga cita-cita pemuda bangsa seperti Fahri yang begitu luhur.