Amarah dan Arogansi di Jalanan yang Tak Pernah Surut
Ketersinggungan berbalut arogansi di jalan raya atau di ruang publik seperti tren yang tak pernah surut kurvanya. Gesekan kecil bisa berujung adu jotos dan penganiayaan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY, ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Saling serobot, tak terima disalip, atau tersinggung karena hal-hal lain menjadi tren yang tak pernah surut intensitasnya. Belakangan, publik disodori pula dengan arogansi segelintir orang yang mengumbar emosi dan dengan mudahnya menganiaya orang lain hanya karena ketersinggungan di ruang publik.
Baru-baru ini, viral di jagat maya video berdurasi 36 detik yang mempertontonkan seorang pria mengenakan jas berwarna merah marun tengah menghajar seorang pemuda di bagian kepala dan tubuh atasnya. Saat itu, berdiri pria lain berkemeja batik yang mengamati situasi di samping si pemukul.
Pada akhir video, pemuda yang dipukul berdiri dan mengacungkan jari ke wajah pria berpakaian batik. Belakangan diketahui pemukulan terjadi di pinggir Jalan Tol Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Sabtu (4/6/2022).
Insiden ini memantik perhatian warganet dan publik karena dua pria yang merundung pemuda itu membawa mobil berpelat nomor RFH. Pelat khusus yang menunjukkan identitas pemilik kendaraan merupakan pejabat di bawah eselon II.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan di Monas, Kamis (21/4/2022).
Justin Frederick (24), korban pemukulan, sudah melaporkan kedua pria itu ke Polda Metro Jaya. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan, korban mengalami sejumlah luka di bagian wajah hingga punggung.
”Pelapor mengalami luka atau menimbulkan rasa sakit pada wajah di bawah mata kanan, leher, di sekitar ketiak kanan, jari tangan, hidung, mulut, dan sekitar punggung,” katanya.
Pemukulan yang dialami Justin, putra dari politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Indah Kurnia, terjadi pada pukul 12.40 WIB. Justin yang melintas dari Jakarta Timur terkejut ada kendaraan dengan pelat nomor B 1146 RFH memotong laju kendaraannya.
”Dari sebelah kiri ada terlapor yang mengendarai mobil Nissan memotong laju kendaraan dan mengakibatkan mobil pelapor terserempet mobil terlapor,” ujar Zulpan.
Pengemudi berpelat RFH itu turun dan menghampiri kendaraan Justin. Justin yang keluar dari mobil untuk menghampiri justru mendapat bogem mentah bertubi-tubi.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi saat dihubungi menyebutkan, polisi telah menangkap dua pria yang dilaporkan. Mereka langsung diperiksa pada Sabtu malam.
”Sudah diamankan dua orang, berinisial AF dan FM. Satu orang, FM, sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan,” ujar Hengki tanpa menjelaskan latar belakang kedua pria tersebut.
Identitas salah satu terlapor berinisial AF, diungkap Ahmad Zazali, Sekretaris Pemuda Pejuang Bravo Lima. AF atau Ali Fanser Marasabessy adalah Ketua Pemuda Pejuang Bravo Lima, kelompok relawan pemenangan Joko Widodo-Maruf Amin dalam Pemilu 2019.
Penyebabnya boleh jadi bertingkat. Faktor pemicu, insiden serempetan. Faktor menengah, kemacetan dan suhu panas. Faktor dalam, kondisi kepribadian tertentu, yang ekstrem ialah intermittent explosive disorder.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kepadatan lalu lintas di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2022). Ketersinggungan antarsesama pengguna jalan sering terjadi di tengah kemacetan, bisa karena saling serobot, serempetan, dan lainnya.
”Salah satu orang yang mengenakan batik adalah benar rekan kami Ali Fanser Marasabessy. Dalam peristiwa tersebut, AF menjadi korban pemukulan yang dilakukan JF, hal itu menjadi pemicu perkelahian antara JF dan FM. AF bahkan telah berusaha melerai perkelahian tersebut,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (5/6).
AF mengklaim perkelahian tersebut terjadi secara spontan tanpa ada motif apa pun karena ia dan JF tidak saling kenal. Untuk meluruskan kejadian itu, AF membuat laporan balik ke Polda Metro Jaya. Namun, pihaknya mengutamakan penyelesaian perkara secara restoratif.
Arogansi
Berpelat RFH, terserempet, dan pemukulan bertubi-tubi dalam insiden di jalan raya merupakan bagian dari amarah di balik kemudi. Amarah ini terdiri dari spektrum ringan hingga berat.
Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, menuturkan, amarah di balik kemudi merupakan spektrum. Dari yang paling ringan berupa meneror dengan mengklakson atau menginjak gas supaya meraung-raung hingga yang paling berat sampai membunuh.
”Penyebabnya boleh jadi bertingkat. Faktor pemicu, insiden serempetan. Faktor menengah, kemacetan dan suhu panas. Faktor dalam, kondisi kepribadian tertentu, yang ekstrem ialah intermittent explosive disorder," ucapnya ketika dihubungi, Minggu (5/6).
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Reza Indragiri Amriel
Intermittent explosive disorder merupakan gangguan saat seseorang gagal mengontrol amarahnya dan memiliki dorongan untuk bertindak secara kasar. Kata Reza, bisa saja gangguan terjadi karena arogansi jabatan yang membentuk rasa superior dibandingkan dengan orang lain.
Insiden tersebut bisa diminimalisir dengan meniadakan pelat nomor RF. Pelat eksklusif semacam itu justru memantik perasaan lebih ketimbang kendaraan berpelat lain.
”Atau RF tetap diadakan, tetapi sanksi pelanggaran harus lebih berat. Kebiasaan mengemudi dengan cara yang provokatif juga perlu diubah. Stop main klakson, zig-zag, dan gunakan sound system menggelegar. Lebih baik biasakan naik kendaraan umum,” katanya.
Semaunya
Kekerasan di jalan raya juga dipicu ketidakpercayaan antarwarga, warga dengan negara, dan sebaliknya, serta anggapan jalan sebagai area tak bertuan sehingga bebas melakukan apa saja. Bebas melakukan apa saja kian parah karena adanya jabatan, koneksi, dan uang.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada Achmad Munjid menyebutkan, secara umum masyarakat penuh dengan ketidakpercayaan. Wujudnya, seperti ketikdakpercayaan terhadap hukum, masyarakat kecil, dan negara.
KAGAMA.CO
Achmad Munjid
”Orang pikir bisa berbuat apa saja, semaunya, karena sistem hukum yang lemah. Tak heran, jalan raya oleh beberapa orang dianggap sebagai daerah tak bertuan dan bisa melakukan apa saja,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Orang yang punya jabatan, koneksi, dan uang, lanjutnya, cenderung merasa bisa leluasa berbuat semaunya dan merasa di atas angin ketika di jalan karena hukum tidak berfungsi maksimal. Contohnya, pengguna jalan sering mengalah dengan barisan motor gede yang melintas dengan atau tanpa pengawalan.
”Seberapa penting mereka, lewat mengganggu lalu lintas. Padahal, orang sakit, melahirkan, atau insiden kebakaran lebih penting dan darurat,” ujarnya.
Agar tren kekerasan ini tak terus berulang, intinya penegakan hukum di mana pun, khususnya di ruang publik, tidak boleh tebang pilih.