Kesuksesan penyelenggaraan Formula E di Jakarta harus dilihat dari berbagai indikator, salah satunya dampak terhadap jumlah wisatawan luar negeri.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Acara balap mobil Formula E di Ancol, Jakarta Utara, belum bisa dipastikan sukses menggerakkan ekonomi pariwisata di Indonesia dan khususnya Jakarta. Kemudahan mobilitas di masa pasca-pelonggaran pandemi Covid-19 dinilai tidak cukup meningkatkan pergerakan wisatawan Nusantara dan internasional.
Sabtu (4/6/2022), ajang balapan mobil bertenaga listrik berskala internasional telah terselenggara di Jakarta International E-Prix Circuit. Sebanyak 22 pebalap dari luar negeri meramaikan balapan seri kesembilan musim 2021-2022. Acara itu disaksikan lebih dari 20.000 penonton yang membeli tiket. Jumlah itu hanya separuh dari kapasitas yang disiapkan.
Meski acara berjalan mulus, Janianton Damanik, Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, menilai, masih terlalu dini untuk mengomentari bahwa acara itu berdampak positif pada ekonomi wisata nasional atau khususnya Indonesia. Hal ini harus dilihat dari berbagai indikator, salah satunya kenaikan jumlah wisatawan luar negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara di Jakarta pada Januari-April 2022 mencapai 88.000 orang atau naik 170 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2021, yakni mencapai 32.000 orang.
”Kalau mau klaim berhasil menarik wisatawan Nusantara dan mancanegara perlu dicek lagi. Untuk wisatawan Nusantara, kalau tidak ada acara spesial seperti itu memang sudah bergerak sendiri karena orang sudah butuh wisata lagi. Tapi, efek acara seperti ini ke ekonomi pariwisata saya kira masih harus menunggu,” ujarnya melalui telepon.
Ia menilai, masih banyak kendala pariwisata yang harus dibenahi pasca-pelonggaran pandemi Covid-19. Misalnya, ketersediaan pesawat yang kini terbatas dan membuat harga tiket penerbangan mahal.
Pria yang disapa Anton ini juga menilai, ajang bergengsi seperti Formula E atau MotoGP di Mandalika, beberapa waktu lalu, juga hanya berpotensi menarik pelaku wisata dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Sementara penduduk Indonesia yang berpotensi menjadi pelaku wisata kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi ke bawah.
”Kelas menengah atas bukan kelompok terbesar wisatawan. Masyarakat kelas menengah ke bawah yang jumlahnya besar, kecenderungannya masih memilih wisata murah atau terjangkau secara jarak di sekitar tempat tinggal mereka,” ujarnya.
Sementara itu, Corporate Communication PT Pembangunan Jaya Ancol Ariyadi Eko Nugroho mengatakan, pada hari penyelenggaraan Formula E, pihaknya hanya mampu menjual 18.000 tiket yang senilai Rp 250.000 atau sepuluh kali lipat dari tiket masuk reguler Ancol. Baca juga: Antusiasme dan Harapan Berpacu di Jakarta E-PrixTiket Ancol Festival itu tidak memungkinkan pengunjung menonton Formula E secara langsung, tetapi melalui layar LED besar yang tersedia di beberapa titik. Adapun mereka bebas memasuki wahana lain di Ancol secara gratis. ”Sampai pukul 19.00, pengunjung yang datang sudah mencapai 15.000 orang. Kalau di akhir pekan biasa, jumlah pengunjung rata-rata bisa mencapai 25.000 orang per hari,” kata Ariyadi.
Sementara itu, pihaknya belum menghitung dampak ekonomi dari penjualan tiket menonton langsung Formula E terhadap pergerakan ekonomi di kawasan Ancol. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang meramaikan perhelatan di Ancol, seperti Endang Sugino, juga belum percaya diri menjual dagangannya. Perempuan yang berdagang kue kering khas Betawi itu hari ini hanya berani menyiapkan 150 kemasan kue. ”Awalnya kami diminta bawa 400 kemasan. Tapi, setelah mengira-ngira, kami bawa sedikit dulu. Beberapa teman UMKM juga ada yang merasa keberatan dan untungnya panitia yang mengundang kami mau memaklumi,” ujarnya.
Meski demikian, Endang senang ia bisa diundang mengadakan acara bazar seperti itu. Sejauh ini, stannya sudah dikunjungi beberapa pengunjung dari luar Jakarta. ”Acara ini jadi kesempatan bagus untuk mengenalkan produk kami ke lebih banyak orang,” katanya.