Balapan Formula E di Jakarta, Sabtu ini, menjadi panggung untuk memperlihatkan Indonesia telah bangkit dari pandemi. Para pebalap dan publik pun antusias menyambut balapan mobil listrik kelas dunia ini.
Oleh
muhamad ikhsan mahar, DAHONO FITRIANTO, HELENA FRANSISCA NABABAN, STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sempat diwarnai pro dan kontra, balapan Formula E di Sirkuit Internasional Jakarta E-Prix akan digelar Sabtu (4/6/2022) ini. Kejuaraan dunia balap mobil listrik terkemuka sejagat itu menjadi simbol kebangkitan Indonesia dari pandemi serta krisis yang sempat membuat balapan internasional mati suri.
Sebanyak 22 pebalap, sebagian jebolan Formula 1, akan beradu cepat di Sirkuit Internasional Jakarta E-Prix (JIEC) mulai pagi ini. Jakarta menggantikan Cape Town, Afrika Selatan, yang batal menggelar balapan Formula E seri kesembilan musim 2021-2022 akibat krisis pandemi Covid-19. Akibat pandemi pula, Indonesia menunda dua tahun untuk menggelar E-Prix pertamanya.
Meskipun belum pernah diuji coba sebelumnya, trek yang dibangun selama dua bulan itu dianggap siap untuk menggelar balapan mobil formula pertama di Tanah Air dalam 16 tahun terakhir atau sejak Grand Prix A1 di Sentul, 2006 lalu. ”Jakarta telah siap. Momen (balapan) ini telah kami nanti-nantikan sejak 2019 lalu,” ungkap Chief Championship Officer Formula E Alberto Longo, Jumat (3/6).
Hal serupa disampaikan Ketua Penyelenggara Jakarta E-Prix 2022 Ahmad Sahroni. ”Semua, sejauh ini, sudah siap. Kurangnya tinggal pelaksanaannya besok,” tutur Sahroni.
Menurut panitia, antusiasme warga menonton balapan kelas dunia itu sangatlah tinggi. Tiket menonton balapan telah ludes terjual sejak beberapa hari lalu. Sebagian pembeli tiket bahkan adalah warga asing.
”Secara pribadi, saya terharu karena ini sesuatu yang orang anggap tak akan terjadi. Ini fakta yang membuktikan Indonesia mampu melaksanakan event motorsport dunia, seperti Formula E. Mudah-mudahan, ini langkah wujud Indonesia bangkit dari pandemi,” katanya
Kemarin, para pebalap dan 11 tim peserta sudah melakukan tes shakedown dan track walk untuk mengenal lebih dekat JIEC. Sebelumnya, para pebalap hanya memakai simulator untuk mempelajari sirkuit itu.
”Mempelajari trek di simulator akan berbeda dibandingkan menjajal langsung. Tetapi, saya menganggap trek ini cukup baik karena jalur lurus tidak terlalu panjang dan tikungan juga tidak terlalu pendek. Memang, ada sedikit trek yang bergelombang dan berdebu, tetapi itu tidak menjadi masalah bagi saya,” ungkap Mitch Evans, pebalap Jaguar TCS Racing, yang ditemui di garasinya, kemarin.
Kuda lumping
Bukan hanya Evans, para pebalap lainnya juga penasaran dan tidak sabar ingin memacu mobil balap mereka di sirkuit sepanjang 2,4 kilometer yang desain lintasannya menyerupai kuda lumping itu. Pebalap tim Rokit Venturi Racing, Lucas di Grassi, menilai, JIEC merupakan sirkuit yang komplet, dalam hal menguji teknik balapan.
”Sirkuit ini memiliki perpaduan yang baik dari tikungan kecepatan rendah, sedang dan tinggi. Itu akan menguji setiap aspek performa mobil. Sirkuit ini sangatlah ketat, teknis, serta mencerminkan Formula E,” kata Di Grassi yang pernah terjun di ajang Formula 1.
Kami harus hati-hati dengan baterai (mobil Formula E) karena itu tak bisa terlalu panas. Seperti baterai di ponsel, saat terlalu panas, maka akan mengganggu kinerja mobil. (Chris Shortt)
Seperti dikatakan Di Grassi, JIEC memiliki banyak tikungan teknis. Selain mempersengit jalannya balapan, sejumlah tikungan juga bermanfaat untuk meregenerasi daya baterai pada mobil ketika pengereman. Berbeda dengan di F1, mobil-mobil Formula E sepenuhnya menggunakan tenaga terbarukan minim emisi karbon, yaitu listrik.
Ramah lingkungan
Setiap mobil Formula E generasi kedua saat ini bisa dipacu selama 45 menit di trek. Meskipun tanpa polusi, baik udara mapun suara, mobil balap listrik itu bisa dipacu hingga 280 kilometer per jam. Balapan itu pun rutin digelar di perkotaan besar untuk mengampanyekan energi ramah lingkungan.
”Ini balapan mobil dengan semangat keberlanjutan lingkungan hidup. Karena itu, efeknya bukan hanya ekonomis, tapi juga ekologis,” ujar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Ia berharap kehadiran Formula E bisa mempopulerkan penggunaan kendaraan ramah lingkungan di Tanah Air, khususnya Jakarta. Ia berkata, efek rumah kaca di DKI akan dikurangi sebanyak 30 persen pada 2030. ”Alhamdulillah, kita sudah menurunkannya sampai 26 persen,” ucapnya.
Meskipun demikian, balapan E-Prix di Jakarta menghadirkan tantangan berat, baik bagi panitia, Formula E, maupun peserta. Tantangan dimaksud adalah terkait cuaca panas yang sangat diwaspadai tim-tim.
Ancaman cuaca panas
Chris Shortt, Manajer Operasi Jaguar TCS Racing, menjelaskan, cuaca panas Jakarta harus diperhatikan semua tim, baik mulai dari sesi kualifikasi hingga balapan, Sabtu ini. Jakarta dianggap sebagai kota dengan cuaca terpanas yang pernah menggelar Formula E, sejauh ini.
”Kami harus hati-hati dengan baterai karena itu tak bisa terlalu panas. Seperti baterai di ponsel, saat terlalu panas, maka akan mengganggu kinerja mobil,” kata Shortt.
Diakui Stoffel Vandoorne, pebalap Mercedes EQ yang memimpin klasemen pebalap, cuaca menjadi tantangan terbesar, di samping faktor minimnya data soal trek baru itu. Cuaca dan kelembaban tinggi memengaruhi fisik pebalap, aspal, dan laju keausan ban. Padahal, Formula E tidak memakai pit stop untuk mengganti ban di tengah balapan, layaknya seperti di F1.
Menurut Sahroni, pada tahun berikutnya, balapan akan diusulkan digelar pada malam hari untuk mengatasi tantangan itu. Balapan malam hari itu telah digelar negara tetangga, yaitu Singapura, pada ajang F1.