Kisah Lebaran Pemulung dan Pekerja Serabutan di Ibu Kota
Bagi Tiyul, Kumis, dan Iwan, Lebaran tak ubahnya hari biasa. Oleh karena itu, mereka tak punya pengharapan muluk-muluk di hari raya tersebut. Buat mereka, bisa makan secukupnya sudah merupakan anugerah.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pemulung yang berkeliling mengumpulkan botol bekas berjalan melewati jalur pedestrian di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (2/2/2022).
Deretan bedeng semipermanen berdiri di pinggir rel antara Stasiun Ancol dan Stasiun Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tiga orang tampak duduk bercengkerama di salah satu bedeng di sana, Senin (2/5/2022) siang. Tak tampak nuansa perayaan meski hari itu merupakan hari raya Idul Fitri.
Di meja kayu panjang di bedeng itu hanya tersaji dua cangkir kopi yang hampir tandas serta toples plastik bening berisi sembilan kue nastar. Namun, semua itu tampaknya tak mengurangi kehangatan obrolan para penghuni bedeng yang berlokasi di sebelah utara Jakarta International Stadium (JIS) tersebut.
Siang itu, ada Tiyul, Kumis, dan Iwan yang ngobrol ngalor-ngidul. Dari tiga laki-laki itu, hanya Iwan yang lahir di Jakarta. Kumis berasal dari Anyer, Banten, sedangkan Tiyul berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Tiyul dan Iwan merupakan pemulung, sementara Kumis bekerja serabutan.
Dari mereka bertiga, Tiyul yang paling senior, baik dari segi usia maupun pengalaman. Pria kelahiran tahun 1941 itu sudah puluhan tahun menjadi pemulung di Jakarta. ”Waktu saya lahir, belum ada presiden di Indonesia. Waktu itu adanya Ratu Juliana (Ratu Belanda),” ujarnya sambil tersenyum, memamerkan barisan giginya yang tak lagi lengkap.
Deretan bangunan semipermanen di pinggir rel antara Stasiun Ancol dan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (2/5/2022). Deretan bedeng itu berada di sebelah utara Jakarta International Stadium.
Tiyul memiliki seorang istri dan empat anak. Keempat anaknya sudah berkeluarga dan memberikan empat cucu. Istri, anak, ataupun cucunya berada di Banjarnegara. Mereka hidup sebagai petani.
Tiyul awalnya tinggal di bedeng yang berada di sisi selatan rel kereta api. Namun, saat kompleks JIS mulai dibangun beberapa tahun lalu, rumah semipermanen miliknya itu ikut tergusur. Saat itu, ada sekitar 500 kepala keluarga di wilayah itu yang tergusur. Kawasan tempat tinggal mereka kerap dijuluki ”Kampung Bayam” karena banyak warga di situ yang bercocok tanam bayam.
Setelah bedengnya digusur, Tiyul pindah ke sisi utara rel kereta api. Bedeng yang sebelumnya dijadikan tempat menampung pelbagai barang hasil memulung disekat dan dijadikan ruang tidur. Ukuran bedeng itu sekitar 2 meter x 2,5 meter. Di atap yang sama tinggal empat keluarga lainnya.
Dari hasil memulung, Tiyul mengirim Rp 500.000-Rp 600.000 per bulan kepada sang istri di kampung halaman. Pada Lebaran tahun ini, Tiyul memutuskan tidak mudik. Baginya, mudik bukan ditentukan oleh perayaan Lebaran, tetapi oleh ketersediaan uang.
”Anak juga enggak ke sini. Nanti kalau punya duit, saya saja yang pulang ke sana. Yang penting saya enggak minta duit dari anak,” kata Tiyul yang juga kerap dipanggil Salman, tapi di kartu tanda penduduk (KTP)-nya tertulis nama Misman.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Warga yang tinggal di pinggir rel kereta api antara Stasiun Ancol dan Tanjung Priok, Jakarta Utara, berkumpul di sebuah bedeng semipermanen, Senin (2/5/2022).
Tak kirim uang
Senada dengan Tiyul, Kumis memilih tidak pulang kampung ke Anyer pada Lebaran tahun ini. Saat berbincang dengan Kompas, pria berusia 49 tahun itu sempat mengeluarkan sebuah ponsel berwarna abu-abu dengan layar yang retak. Garis retakan itu membelah layar ponsel menjadi dua.
Rupanya, Kumis hendak menunjukkan sebuah pesan Whatsapp (WA) dari salah satu anaknya yang dikirim beberapa hari lalu. Namun, setelah mencari-cari di ponselnya, pesan itu tak kunjung ia temukan. Mungkin ia lupa telah menghapusnya.
”Anak saya kirim WA. Dia nanya, Lebaran bisa kirim uang apa enggak? Saya balas, enggak bisa kirim. Ya sudah mau gimana lagi. Saya pengin juga pulang, tapi enggak ada uang,” ujar Kumis.
Menurut Kumis, selama ini, anaknya terkadang datang ke Jakarta untuk menengok dirinya. Namun, pada Lebaran kali ini, sang anak tak bisa datang ke Ibu Kota. Istrinya juga berada di kampung halaman sehingga Kumis tak bisa bersama keluarganya saat Idul Fitri.
Umat Islam bersiap menjalankan shalat Idul Fitri 1443 Hijriah di jalur yang melandai sisi barat Jakarta International Stadium (JIS) di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (2/5/2022). JIS dapat menampung hingga 23.000 umat untuk shalat Idul Fitri.
Untuk mendapatkan uang, Kumis bekerja serabutan. Ia mengaku pernah bekerja di bagian keamanan sebuah perusahaan di Jakarta Utara. Selain itu, ia membuka warung kecil yang menjual kopi dan mi instan di bedengnya.
Saat shalat Idul Fitri digelar di JIS, Kumis bersama beberapa orang lain berinisiatif menjaga sepeda motor dan mobil yang parkir di sekitar stadion tersebut. Ia tidak menyangka bakal mendapatkan uang. ”Padahal enggak niat narik parkir, cuma bantu jaga aja. Lumayan dapat Rp 160.000, dibagi empat orang,” katanya sambil tersenyum.
Anak juga enggak ke sini. Nanti kalau punya duit, saya saja yang pulang ke sana. Yang penting saya enggak minta duit dari anak.
Sementara itu, meski tidak perlu mudik atau pulang kampung, Iwan memilih tidak berkumpul bersama kedua anak dan cucunya yang tinggal di Semper, Jakarta Utara. Sehari-hari, lelaki berusia 69 tahun itu tinggal di bedeng bersama istrinya.
Ketika ditanya apakah anak dan cucunya akan datang berkunjung saat Lebaran, Iwan menghela napas. ”Enggak. Malulah, kondisinya kayak gini. Biasanya saya yang ke sana. Tapi nanti,” ujarnya.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tiyul berada di bedeng semipermanen yang menjadi tempat tinggalnya di antara Stasiun Ancol dan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (2/5/2022).
Iwan menuturkan, dirinya pernah bekerja di sebuah proyek bangunan. Namun, setelah tiga bulan bekerja, ia hanya mendapat upah untuk kerja sebulan. Pengalaman itu membuatnya kapok. Setelah itu, ia banting setir dengan bekerja sebagai pemulung. Dalam sehari, Iwan bisa mendapat Rp 20.000 sampai Rp 50.000. Jika beruntung, Rp 100.000 bisa diperolehnya dalam sehari.
Bagi Tiyul, Kumis, dan Iwan, Lebaran tak ubahnya hari biasa. Oleh karena itu, mereka tak punya pengharapan muluk-muluk di hari raya tersebut. Buat mereka, bisa makan secukupnya sudah merupakan anugerah.