Menyeimbangkan piramida gizi semakin sulit di tengah ekosistem rendah gizi. Buah dan sayur sering absen dari piring makan sehari-hari. Jika ada, jumlahnya pun masih jauh dari standar.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Hasil jajak pendapat Kompas terbaru merekam, sebanyak 39,1 persen responden memiliki kebiasaan mengonsumsi kombinasi buah dan sayur setiap hari. Sementara itu, 21,4 persen hanya mengonsumsi buah atau sayur saja. Artinya, enam dari sepuluh responden yang mewakili publik telah secara rutin memasukkan dua sumber gizi ini dalam menu sehat harian.
Sayangnya, temuan tersebut bukan kabar yang cukup baik. Berkaca pada hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018 dilaporkan, sembilan dari sepuluh penduduk mengonsumsi buah atau sayur sedikitnya satu porsi tiap hari.
Riskesdas turut melaporkan sekitar 10,7 persen penduduk tergolong buruk asupan buah dan sayurnya karena sama sekali tidak mengonsumsi kedua sumber gizi tersebut. Kondisi yang terpotret empat tahun lalu ini pun belum berubah. Jajak pendapat menunjukkan, 13,5 persen responden tidak rutin mengonsumsi buah atau sayur. Tidak hanya itu, 1,5 persen bahkan mengaku tidak pernah mengonsumsinya. Artinya, ada 15 persen yang tidak memenuhi kebutuhan kombinasi sayur dan buah minimal satu porsi setiap harinya.
Potret di atas kembali memicu alarm darurat kecukupan gizi, khususnya dalam asupan serat, vitamin, mineral, dan vitokimia yang banyak terkandung dalam buah dan sayur. Absennya dua sumber gizi ini dapat memicu peningkatan risiko kanker, obesitas, peradangan kronis, dan kardiovaskular.
Tanpa kehadiran buah dan sayur dalam piring makan sehari-hari, angka harapan hidup pun memendek. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan rendahnya konsumsi buah dan sayuran menyumbang 1 persen kematian dini dan 2,8 persen kematian di dunia.
Penelusuran di lokapasar ataupun penyedia jasa pengiriman makanan menemukan jenis makanan lauk (ayam, ikan, kambing) mendominasi daftar yang tersedia. Sajian ini pun hanya didukung dengan sayur yang amat sedikit, seperti satu iris timun dan selembar kol.
Persoalan kedua yang mengemuka adalah terkait jumlah asupan buah dan sayur yang masih di bawah standar. WHO menerapkan standar 250 gram sayur dan 150 gram buah per hari. Total asupan kombinasi keduanya adalah 400 gram atau setara dengan 5 porsi buah dan sayur. Kementerian Kesehatan RI membagi anjuran ini, yakni 300-400 gram bagi remaja dan 400-600 gram untuk dewasa.
Dengan standar ini, hanya 4,6 persen masyarakat yang masuk kategori cukup makan buah dan sayur. Mayoritas penduduk yang terdata telah mengonsumsi buah dan sayur tersebut masuk dalam kategori di bawah standar kecukupan. Rinciannya, 66,4 persen mengonsumsi 1 hingga 2 porsi dan 18,3 persen mengonsumsi 3 hingga 4 porsi.
Ekosistem rendah gizi
Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa publik terjebak dalam ekosistem makanan rendah gizi. Jajak pendapat Kompaspada awal Maret 2022 merekam, enam dari sepuluh responden memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan minim gizi dengan frekuensi semiggu sekali hingga hampir setiap kali saat jam makan.
Makanan minim gizi yang paling digemari adalah makanan cepat saji, seperti gorengan, mi instan, burger, dan makanan beku. Namun, publik bukanlah satu-satuanya aktor dalam ekosistem ini. Kegemaran pada makanan rendah gizi ini juga terbentuk dari ketersediaaannya di pasaran yang sangat mudah dijumpai dengan harga yang murah.
Penelusuran di lokapasar ataupun penyedia jasa pengiriman makanan menemukan jenis makanan lauk (ayam, ikan, kambing) mendominasi daftar yang tersedia. Sajian ini pun hanya didukung dengan sayur yang amat sedikit, seperti satu iris timun dan selembar kol.
Sajian berbasis sayur yang paling sering ditemukan adalah tumis kangkung sebagai menu pendamping. Sementara sajian sayur lainnya, seperti gado-gado atau salad, cenderung sulit ditemukan. Kesulitan ini berganda karena penjualannya yang terbatas waktu seturut dengan ketahanan produk sayur yang tidak bertahan lama.
Pengetahuan
Di tengah rimba makanan minim gizi, pengetahuan memegang peran penting sebagai kompas penjaga. Untungnya, masyarakat menunjukkan kemauan untuk membekali diri dengan pengetahuan. Hal ini terekam dalam Jajak pendapat di mana tujuh dari sepuluh responden mencari tahu menu yang baik untuk kesehatan. Bahkan, tiga di antaranya mengaku juga mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam mengatur menu makan harian. Mengolah sendiri sayur menjadi salah satu upaya baik untuk mencukupi kebutuhan sayuran dan menjaga asupan serat.
Fokus masyarakat juga sudah mengerucut pada menjaga kondisi kesehatan, tidak sebatas menurunkan berat badan. Dari responden yang mencari tahu soal menu sehat, sebanyak 79,1 persen melakukannya untuk tujuan menjaga kesehatan atau menghindari penyakit. Hanya 7,4 persen yang memilih untuk menurunkan berat badan.
Kemauan masyarakat untuk menyajikan menu yang sehat juga telah didukung oleh pemanfaatan teknologi untuk memenuhinya. Jasa pengiriman produk segar untuk kebutuhan sehari-hari makin berkembang dengan menambah akselerasi dalam durasi pengiriman. Aplikasi pengiriman produk segar, seperti Sayurbox, Astro, dan Shopee Segar, misalnya, menawarkan produk yang kompetitif, baik dari segi harga maupun kualitas. Salah satunya bahkan memberi jaminan pengantaran kurang dari satu jam untuk wilayah Jakarta.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun menyebut inovasi digital menjadi bagian penting dalam tercapainya pemenuhan asupan sayur dan buah dalam skema Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Bentuknya dalam pelacakan produk segar dari produksi hingga konsumsi, perluasan peluang pasar, mengurangi kerugian dan pemborosan, serta membuat rantai nilai lebih transparan.
Upaya Departemen Kesehatan Amerika Serikat untuk meningkatkan asupan buah dan sayur masyarakatnya dengan mendekatkan sayur dan buah dalam menu kafetaria di penitipan anak, sekolah, rumah sakit, dan tempat kerja perlu dicontoh supaya standar kecukupan asupan sayur dan buah terpenuhi.