Disebut daya belinya turun oleh BPS, kalangan buruh informal yang selama pandemi tidak jelas nasibnya kini mencoba berpikir positif menyambut pemulihan ekonomi. Momentum Lebaran diharap mendongkrak rezeki mereka kembali.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Melonggarnya pembatasan sosial selama pandemi di perkotaan kembali menggairahkan aktivitas perekonomian. Masyarakat yang selama ini menabung kini kembali bisa menghabiskan uang, entah untuk membuat usaha atau sekadar mencari hiburan di luar rumah.
Masyarakat dari kalangan buruh informal yang selama ini tidak jelas nasibnya pun menyambutnya dengan harapan pundi-pundi kembali terisi penuh.
Saat mendengar kumandang azan Dzuhur, Caswanto (63) berhenti memplester dinding tembok bata ringan pada konstruksi bangunan kontrakan dua lantai. Selama Ramadhan, ia berusaha semaksimal mungkin berpuasa dan menjalankan ibadah shalat lima waktu.
Sambil menahan lapar dan haus di siang hari, ia bekerja setiap hari dengan dua tukang lain. Mereka dipekerjakan langsung oleh empunya tanah dan calon kontrakan 15 pintu di antara permukiman padat penduduk di Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Proyek mereka sudah jadi sekitar 50 persen setelah dikerjakan hampir lima bulan.
Pria asal Brebes, Jawa Tengah, itu mengaku proyek kali ini cukup berat. Jumlah tukang yang sedikit menjadi alasan walaupun pemilik bangunan tidak menargetkan pengerjaan cepat. Model pekerjaan seperti itu, ia akui, kerap ditawarkan setahun terakhir. Pandemi membuat tidak sedikit rekan seprofesinya kembali ke kampung halaman demi hidup yang lebih layak.
Meski demikian, ia mengaku tidak meminta bayaran lebih tinggi untuk tenaga ekstra yang ia keluarkan. ”Saya ketinggalan zaman kalau masalah gaji, kecil, tetapi kerjaan enggak ada putusnya. Sehari saya dibayar Rp 120.000 kalau kerja dari jam delapan pagi sampai jam 9 malam. Kalau seminggu gajinya bisa Rp 890.000,” tuturnya.
Penghasilan itu sebagian kecil dipakai untuk membiayai hidup seadanya di Ibu Kota. Di sini ia tinggal bersama satu buruh bangunan lain di sebuah kontrakan seharga Rp 400.000 per bulan. Untuk pribadi, penghasilan yang kurang dari upah minimum provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 4,6 juta per bulan itu juga dipakai untuk kebutuhan makan.
Adapun sebagian besar uangnya ia kirim ke Brebes untuk istrinya yang bekerja sebagai petani. Sang istri masih mengelola lahan pertanian padi dan cabai dengan modal yang didapat dari penghasilan lebih Caswanto. Sementara itu, hasil bertani belakangan juga pas-pasan.
Akan tetapi, meski ada kenaikan harga, Lebaran bisa menolong meningkatkan konsumsi masyarakat.
Kenaikan harga berbagai kebutuhan rumah tangga saat ini tidak terlalu ia acuhkan. Akan tetapi, Caswanto berharap, dirinya bisa menabung lebih agar bisa pulang ke kampung halaman di Lebaran kali ini. ”Sekarang, hemat-hemat dulu aja. Insya Allah hasilnya bisa pulang kampung lagi,” katanya.
Buruh informal lain seperti Jesika (27) juga berharap bisa mendapatkan tambahan pemasukan di musim Ramadhan dan Lebaran tahun ini. Sinyal itu telah ia mulai rasakan beberapa bulan terakhir. Pelanggan di salon kecil tempatnya bekerja di sekitar Palmerah, Jakarta Barat, sudah mulai ramai.
”Sekarang sehari pegang tiga sampai lima pelanggan sudah lumayan. Waktu PPKM masih ketat pernah enggak ngelayanin sama sekali,” katanya yang sudah tiga tahun bekerja di salon itu bersama satu karyawan dan pemiliknya.
Sejak salon ramai juga, pemberi kerjanya mulai kembali mau menggajinya bulanan, Rp 2 juta. Gaji itu belum ditambah upah per pelanggan. Dari setiap pelanggan yang dilayani, ia mendapat bagian sekitar 50 persen. Sebagai contoh, jika ia melayani potong rambut yang dihargai Rp 30.000, setengah biaya itu menjadi bagiannya.
Dengan kepastian upah itu, ia pun mulai mencoba menata keuangannya dengan mulai menabung. Perempuan lajang asal Palembang, Sumatera Selatan, itu belum berniat mudik untuk merayakan Idul Fitri.
”Selain karena disuruh bos, saya mau tetap kerja sampai Lebaran karena kalau mau hari raya, banyak yang mau ke sini untuk cat rambut, creambath, pedicure, manicure. Ambil berkahnya sajalah untuk nabung lagi,” ujarnya.
Mendongkrak daya beli
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, kembali bergeraknya aktivitas ekonomi masyarakat di perkotaan seperti Jakarta bisa dengan cepat menghidupi angkatan kerja, yaitu pengangguran atau pekerja yang masuk usia kerja.
Ia melihat, selama pandemi, sektor industri perdagangan dan jasa, khususnya formal, banyak ditinggalkan karena pengurangan karyawan, pekerja beralih profesi atau pekerja urban kembali ke desa. Kondisi itu, menurut Badan Pusat Statistik Jakarta, membuat tingkat pengangguran terbuka melonjak hingga 10,95 persen di Agustus 2020.
Namun, dengan pelonggaran aturan mobilitas yang diberlakukan secara situasional dan terkendalinya kasus pandemi di Jakarta, tingkat pengangguran terbuka kembali turun hingga 8,5 persen di Agustus 2021. Tren ini, menurut Tauhid, sejatinya akan ikut mempengaruhi permintaan tenaga kerja di sektor yang diisi buruh informal.
”Kalau demand (permintaan) naik, upah akan naik. Upah riil juga seharusnya meningkat,” ujarnya.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik Nasional menemukan hal berbeda dari tren upah nominal dan upah riil beberapa buruh informal perkotaan beberapa bulan terakhir. Buruh informal perkotaan yang diteliti adalah buruh bangunan bukan mandor, buruh potong rambut wanita, dan asisten rumah tangga.
Upah nominal atau rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan yang dilakukan konsisten naik setiap bulan setahun terakhir. Sementara upah riil yang menggambarkan daya beli buruh atau pekerja informal itu cenderung turun sejak akhir tahun 2021.
Tauhid mengatakan, penurunan daya beli bisa difaktori tren kenaikan harga berbagai kebutuhan rumah tangga dan industri beberapa waktu terakhir. Sebut saja minyak goreng, bahan bakar gas hingga bensin kendaraan.
”Namun, meski ada kenaikan harga, Lebaran bisa menolong meningkatkan konsumsi masyarakat,” katanya. Daya beli masyarakat yang beruang yang tak tertahankan di momen ini pun bisa menjadi berkah bagi buruh informal seperti Caswanto dan Jesika.