Titik Nol Kota Tangerang Berjuang Melepas Kesemrawutan
Penataan kawasan titik nol Kota Tangerang di Banten belum maksimal sehingga masih semrawut. Pada saat yang sama kawasan ini ketambahan gedung bertingkat menggantikan rumah tradisional.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Titik Nol Kota ”Benteng” Tangerang di Banten penuh jejak sejarah dan budaya. Kawasan itu kesohor dengan cagar budaya, seperti Museum Benteng Heritage, Kelenteng Boen Tek Bio, dan Masjid Jami Kalipasir; ragam kuliner di Pasar Lama Tangerang; dan aliran Sungai Cisadane yang menjadi penghidupan warga.
Jejaknya cukup terpelihara lewat tangan pegiat budaya, warga setempat, dan pemerintah. Namun, penataan kawasan di Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, ini masih jadi soal yang belum tuntas.
Pusat kuliner Pasar Lama di sepanjang Jalan Kisamaun salah satunya. Tak banyak perubahan setelah viral dan ditutup sementara untuk revitalisasi lantaran terjadi kerumunan bak lautan manusia di tengah lonjakan kasus Covid-19, akhir Januari lalu.
Kamis (14/4/2022) sore, pedagang kaki lima (PKL) mulai menggelar lapaknya di muka rumah toko di kiri dan kanan jalan. Lebar jalan yang semula lebih dari 5 meter berkurang menjadi 2 meter.
Seketika pengunjung, warga, sepeda motor, dan mobil berjubel. Mereka berbagi ruang melintas di antara lapak. Lama-kelamaan lalu lalang menjadi semrawut karena transaksi jual beli, antrean, dan mereka yang sekadar berdiri untuk melihat atau berswafoto.
”Sudah ada perbaikan ketimbang 2018. Lebih bersih, tapi belum tertata dengan baik. Masih semrawut. Apalagi pas akhir pekan, desak-desakan sama orang dan kendaraan,” ucap Leni (26), karyawan swasta yang bermukim di Ciledug.
Suasana tak jauh berbeda dengan gang tempat Museum Benteng Heritage berdiri. Satu dekade berlalu, gang sempit dengan hiruk pikuk pasar tumpah di Jalan Cilame itu masih sama. Lapak pedagang tergelar di kiri dan kanan, pejalan kaki dan sepeda motor berbagi ruang selebar 1 meter.
”Tempatnya bagus karena bersejarah, banyak pilihan makanan juga. Tapi kurang tertata supaya orang-orang tidak desak-desakan. Jadi lebih nyaman,” ujar Nanda (21), warga Tangerang yang ngabuburit bersama teman-temannya.
Seiring waktu, banyak juga rumah bertingkat yang menggantikan rumah tradisional di kawasan titik nol. Misalnya, deretan kafe di Jalan Kalipasir Indah yang menghadap ke Sungai Cisadane.
Sore itu, tak banyak warga menikmati senja di tepi sungai. Hanya ada beberapa penjual buah-buahan dan es podeng, serta sekelompok warga dengan perahu yang tengah memungut sampah plastik di badan sungai.
Selain kafe, PKL menggelar lapak di trotoar. Mereka menyediakan bangku bagi pengunjung yang ingin menikmati waktu sambil melihat sungai berwarna kecoklatan, ikan melompat, dan sampah yang mengapung.
Jalan di tepi sungai ini kerap macet karena arus kendaraan dari Pasar Lama dan terbatasnya tempat parkir. Bahkan, beberapa pengguna jalan memarkirkan kendaraannya meskipun memakan setengah lajur jalan.
Oey Tjin Eng, budayawan Cina Benteng, mengatakan, Tome Pires, pelaut Portugis, pada tahun 1513 menyebutkan bahwa sudah ada komunitas Tionghoa di Tangerang. Salah satunya bermukim di kawasan Pecinan Pasar Lama. Kawasan yang kalau dilihat dari udara berbentuk huruf wang (raja) hanzhi (Mandarin) sehingga disebut petak sembilan.
”Di situ terdapat tiga gang dengan rumah petak yang lebarnya 5 meter dan panjang bisa mencapai 20 meter. Sayang, sekarang banyak menjadi gedung bertingkat, jadi tinggal sedikit rumah kuno (tradisionalnya). Kawasan tidak berubah, cuma gedung tingkatnya yang bertambah,” tuturnya, Jumat (15/4/2022).
Penataan
Pagi hingga siang hari, titik nol tak begitu ramai. Hanya deretan toko dan sejumlah bank yang masih tutup, serta kesibukan pasar di gang sempit di antara rumah toko. Situasi ini berganti keramaian dan kesemrawutan sejak sore hingga malam karena PKL mulai memenuhi jalan dan warga berbondong-bondong datang untuk menikmati kuliner atau sekadar menghabiskan waktu.
Sejak lama pusat kegiatan perekonomian Tangerang bertumpu di sekitar kawasan Pasar Lama, Pendopo Tangerang, dan Stasiun Kereta Api Tangerang. Dalam majalah Suara Baba, ”Exploring the Roots of Peranakan”, cetakan 23-25 November 2018 halaman 47, dituliskan, kawasan Pasar Lama tidak saja pernah menjadi pusat perniagaan di Kota Tangerang, tetapi juga cikal bakal berdirinya Kota Tangerang.
Pusat Kota Tangerang disebut Benteng. Sebagai bukti, pal kota yang berfungsi sebagai titik nol berada di ujung Jalan Cilame, salah satu pintu masuk ke Pasar Lama, di sisi kiri gerbang utama. Jarak titik nol ini hanya sekitar 2 meter dari ujung sisi kanan Pendopo Tangerang.
Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah menginginkan Pasar Lama ditata seperti TangCity Mall, Mal Alam Sutera, Metropolis Town Square, CBD Ciledug, dan pertokoan atau pusat perbelanjaan lain. Dengan begitu, pengunjung bisa berwisata ke banyak titik di seluruh kawasan sekaligus mengurai pengunjung supaya tak semrawut.
PT Tangerang Nusantara Global (Perseroda) sebagai pengelola sudah membuat lapak nonpermanen berbentuk persegi panjang dari cat putih untuk setidaknya 250 PKL yang terdaftar dan berjualan. Pengerjaan mulai 2-7 Februari ini menelan anggaran Rp 150 juta hingga Rp 200 juta.
Pengelola juga mewajibkan PKL membayar biaya sewa Rp 200.000-Rp 250.000 per minggu. Namun, lapak nonpermanen tak terpakai karena ada penolakan dari sejumlah warga lantaran tak berkenan Jalan Kisamaun ditutup untuk kendaraan saat PKL berdagang.
Edi Candra, Direktur PT Tangerang Nusantara Global (Perseroda), menyebutkan, konsep lapak nonpermanen urung terlaksana karena mempertimbangkan aspirasi pemilik rumah toko di kawasan tersebut. Akhirnya, PKL ditempatkan di kedua sisi Jalan Kisamaun supaya jalan tak ditutup total saat PKL berdagang.
”Konsep penataannya mengacu pada penataan kota lama sebagai satu kesatuan. Sekarang untuk kajian komprehensif masih dilakukan oleh konsultan sebagaimana peraturan wali kota,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
Sejauh ini, kesemrawutan masih rutin dijumpai di kawasan bersejarah dan menjadi daya tarik masyarakat dari banyak tempat tersebut.