Aturan Berpakaian Muslim bagi Semua Siswa di SDN 02 Cikini Kesalahan Redaksional
Pihak sekolah mengakui adanya kesalahan penulisan dalam aturan penggunaan pakaian muslim bagi seluruh siswa selama Ramadhan. Ketentuan sudah direvisi.

Suasana jam pulang sekolah di SD Negeri 02 Cikini di Jakarta Pusat, Kamis (7/4/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Aturan bersekolah selama Ramadhan di Sekolah Dasar Negeri 02 Cikini di Jakarta Pusat menuai kontroversi karena ada yang mengharuskan seluruh siswa mengenakan pakaian muslim. Pihak sekolah mengaku ada kesalahan redaksional dalam penulisan aturan tersebut.
Dalam surat pemberitahuan tanggal 6 April 2022, untuk orangtua siswa SDN 02 Cikini, pihak sekolah menyampaikan enam bulir aturan baru terkait kegiatan belajar mengajar 100 persen seusai libur awal Ramadhan, mulai Kamis (7/4/2022). Selain aturan terkait mekanisme pembagian jam belajar dalam pembelajaran tatap muka dan protokol kesehatan, poin kelima berbunyi ”seluruh siswa menggunakan baju Muslim setiap hari selama bulan suci Ramadhan".
Hari ini, kegiatan belajar mengajar berlangsung sesuai jadwal dalam aturan itu, yaitu pukul 06.30 sampai 09.30 untuk kelas I-III. Lalu, pukul 06.30 sampai 10.30 untuk kelas IV-VI. Pada jam pulang sekolah terakhir, mayoritas anak-anak mengenakan pakaian tertutup.
Murid laki-laki terlihat memakai baju koko dengan model bebas, beberapa juga memakai kopiah. Sebagian murid perempuan juga mengenakan pakaian tertutup dengan kerudung. Satu dua anak juga terlihat mengenakan seragam biasa berwarna merah putih.

Suasana jam pulang sekolah di SD Negeri 02 Cikini di Jakarta Pusat, Kamis (7/4/2022).
Saat Kompas bertanya ke beberapa orangtua murid mendukung aturan itu karena mereka beragama Islam. ”Aturan ini sudah dari awal anak saya sekolah di sini, sih. Saya setuju saja karena kan di sekolah mereka ada waktu untuk baca Al Quran dan shalat,” kata salah satu wali murid kelas V.
Sementara itu, Ikin Waskin, Ketua Pembelajaran Tatap Muka SDN 02 Cikini, yang ditemui di sekolah menjelaskan, terdapat kesalahan dalam surat pemberitahuan yang telah beredar kepada orangtua murid. ”Kami setiap tahun menyampaikan bahwa untuk Muslim pakai pakaian muslim karena kita ada tadarusan, ada shalat Duha. Cuma memang pada saat di kata itu ”seluruh”, sebenarnya untuk yang Muslim. Itu sudah disampaikan dan pengawas juga tidak ada masalah,” tuturnya.
Baca Juga: Siswa Non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang Mulai Lepaskan Jilbab
Ia pun memastikan, selama Ramadhan, siswa non-Muslim dipisahkan dengan siswa Muslim saat melaksanakan kegiatan ibadah. Siswa non-Muslim, yang jumlahnya kurang dari 20 persen jumlah murid, juga dipersilakan memakai seragam sehari-hari selama Ramadhan.
”Kemarin ada orangtua non-Muslim yang tanya, pakai bajunya bagaimana? (Kami bilang) Pakai baju biasa, mohon maaf ada redaksi yang kurang tepat,” ujar Ikin.

Warga melintasi mural yang menghiasai sebuah gedung sekolah dasar di Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (14/3/2022). Pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas kembali didorong seiring perubahan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Erina, guru kelas VI, mengakui mereka tidak sempat mengoreksi surat pemberitahuan tersebut. Namun, kesalahan itu sudah pihak sekolah klarifikasi kepada Suku Dinas Pendidikan Jakarta Pusat dan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. ”Insyaallah di sini kita toleran, enggak ada non-Muslim yang didiskriminasi dan kita sudah membuat (aturan) yang baru,” tuturnya.
Baca Juga: Intoleransi Masih Marak di Sekolah
Kepala Subbagian Humas Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Taga Radja Gah, saat dikonfirmasi per telepon menyampaikan, pihaknya sudah mengetahui surat itu dan segera memberikan pembinaan kepada kepala sekolah. ”Pihak sekolah juga sudah membuat perbaikan surat edaran tersebut,” katanya.
Dalam surat revisi tertanggal hari ini, poin lima dari surat sebelumnya diubah. Poin itu berbunyi ”Selama PTMT 100 persen, apabila ada permintaan tertulis dari orangtua untuk PJJ/BDR dengan alasan dan pertimbangan, maka sekolah tetap memberikan pelayanan pembelajaran secara daring”.
”Ini direvisi. Pihak sekolah sudah mengakui ada kesalahan redaksi karena tujuannya hanya untuk siswa Muslim agar ada pembiasaan suasana bulan puasa. Kurang kalimat itu saja,” lanjutnya.

Kepala Seksi Peserta Didik dan Pengembangan Karakter Peserta Didik Disdik DKI Jakarta, Taga Radja Gah ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Sejauh ini, kata Taga, belum ada sekolah lain yang menyalahi aturan mengenai kebebasan berseragam di sekolah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Baca Juga: Bongkar Persoalan Intoleransi di Sekolah
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Komisi E Bidang Kesejahteraan Sosial, Ima Mahdiah, sempat ikut menyoroti surat pemberitahuan itu melalui akun media sosial Twitter-nya. Saat dihubungi, ia menilai, kecerobohan dari pihak SDN 02 Cikini mengindikasikan tidak adanya pengawasan yang maksimal dari tingkat dinas.
”Tapi, saya menghargai respons cepat dari dinas dan juga pihak sekolah. Artinya, mereka sadar bahwa ini salah dan tidak patut dilakukan. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak,” ujar politisi PDI-P tersebut.
Ia pun mengharapkan sekolah negeri dan Dinas Pendidikan DKI Jakarta tetap mengacu pada aturan pemerintah pusat. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
”Dalam dua tahun terakhir, sudah banyak kejadian intoleran seperti ini di dunia pendidikan di Jakarta dan akan menjadi puncak gunung es. Kalau tidak ada ketegasan Gubernur DKI dan Dinas Pendidikan, yang seperti ini akan terus berulang dan sangat merugikan perkembangan generasi ke depannya dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya tegas.

Mural menjadi salah satu media bagi masyarakat untuk menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama. Hal itu salah satunya ditemui di Jalan Ciledug Raya, Petukangan, Jakarta Selatan, Jumat (3/4/2020).
Contoh, pada Mei 2021 lalu, Ima menemukan seorang guru sekolah dasar berinisial MNT yang mengunggah konten bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ada juga kasus di SMA November 58, pada 2020, di mana seorang guru mengarahkan muridnya dalam kelompok organisasi Islam, Rohis, agar memilih calon Ketua OSIS yang satu agama.
Penolakan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, pada 3 Februari 2021, sempat membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri terkait kebebasan penggunaan seragam sesuai keyakinan agama dan aturan berlaku. SKB ini berlaku bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di sekolah negeri.
”SKB ini tidak boleh mewajibkan dan tidak boleh melarang, melainkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik beraktivitas sesuai agama yang dianut,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Paudasmen), Kemendikbud, Jumeri, dalam siaran pers (11/2/2021).
SKB ini dibuat tidak lama setelah adanya kasus siswa non-Muslim di Padang, Sumatera Barat, yang wajib mengenakan jilbab dan viral di media sosial. Jeni Cahyani Hia, siswa kelas X SMK Negeri 2 Padang Jurusan Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran, beberapa kali dipanggil guru jurusan dan guru bimbingan konseling (BK) karena tidak mengenakan jilbab.
Baca Juga: Setelah SKB 3 Menteri Dicabut, Pastikan Tak Ada Pemaksaan Seragam Sekolah

Suasana rapat dengar pendapat organisasi masyarakat Islam dan lembaga adat di Sumatera Barat yang menolak SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah di DPRD Sumbar, Padang, Sumbar, Kamis (18/2/2021).
Pada Kamis (21/1/2021), ayah Jeni, Elianu Hia, dipanggil wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Pada kesempatan itu, Elianu dan Jeni diminta menandatangani surat pernyataan bahwa Jeni menolak mengenakan jilbab. Dalam surat pernyataan itu, juga disebutkan bahwa mereka bersedia melanjutkan masalah tersebut dan menunggu keputusan dari pejabat yang lebih berwenang.
Aturan berseragam muslim bagi siswa di Padang mengacu pada peraturan daerah Kota Padang di 2005, saat itu, SMA/SMK masih dikelola oleh Pemkot Padang. Dinas Pendidikan Kota Padang mengaku pemerintah daerah hanya mengacu pada peraturan pemerintah pusat yang membuka peluang aturan berseragam sesuai kearifan lokal (Kompas.id, 25/1/2021).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pun sempat menilai peristiwa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang sebagai bentuk intoleransi atas keberagaman. Kasus itu, menurut dia, bukan hanya melanggar undang-undang, melainkan juga melanggar nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Pandangan tersebut pun melahirkan SKB 3 Menteri di atas. Namun, dalam perjalanannya, aturan itu menuai keberatan dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat. Lembaga ini mengajukan uji materi yang kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 3 Mei 2021. SKB 3 Menteri ini pun batal secara hukum.