Dengan Teknologi dan Edukasi, Mitra Gojek Bisa Cegah Kekerasan Seksual
Perusahaan aplikasi daring dengan mitra yang langsung berhubungan dengan konsumen, seperti Gojek, memerlukan upaya lebih untuk membentuk ekosistem yang seragam, termasuk pemahaman terkait kekerasan seksual.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Kekerasan seksual tidak mengenal status hubungan, waktu, dan ruang kejadian. Tindakan yang melanggar batas seksual orang lain ini pun bisa dilakukan oleh dua orang yang tidak saling kenal di ruang publik yang tidak mengenal privasi. Perempuan pun masih menjadi kelompok masyarakat yang rentan menerima perlakuan tersebut.
Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menemukan bahwa 78,89 persen dari 4.236 responden perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Survei itu dilakukan pada November hingga Desember 2021 dan diikuti perempuan usia 16-24 tahun dari 34 provinsi di Indonesia.
Sebanyak 427 responden menyebutkan mereka mengalami pelecehan di kampus sekolah. Lalu, sebanyak 100 responden melaporkan mengalami pelecehan seksual di fasilitas kesehatan, 29 di tempat pemeriksaan tes Covid-19, dan 5 di tempat karantina.
Yang lebih mengejutkan lagi, lebih dari setengah responden mengaku mendapat kekerasan seksual di jalanan umum atau taman. Kekerasan dalam bentuk pelecehan langsung yang paling banyak dilaporkan adalah siulan, komentar atas tubuh, komentar seksual, dan sentuhan.
Bentuk kekerasan seksual sekecil itu pun hendak dicegah perusahaan swasta seperti Gojek yang, antara lain, bermitra dengan pengemudi motor dan mobil untuk menjalankan bisnisnya yang bergerak di bidang transportasi dan ekspedisi. Jumlah mitra mereka yang kini lebih dari 2 juta orang di Indonesia pun menjadi tantangan tersendiri.
Berbeda dengan karyawan perusahaan yang lebih terikat, perusahaan semacam ini tentunya memerlukan upaya lebih untuk membentuk ekosistem yang seragam, termasuk dalam hal pemahaman terhadap kekerasan seksual. Pemahaman ini tentunya penting karena para mitra sehari-harinya senantiasa berinteraksi dengan banyak pelanggan.
Teuku Parvinanda Handriawan selaku Vice President Corporate Affairs Gojek, dalam konferensi pers virtual, Kamis (31/3/2022), menyampaikan, ada sekitar 0,04 persen dari keseluruhan laporan yang diterima perusahaannya terkait kasus kekerasan seksual. Kendati sangat kecil, beberapa kasus kerap menarik perhatian publik dan bersifat pidana.
Pada 16 Desember 2021, seorang pengemudi Gocar diduga memperkosa perawat perempuan yang bekerja di penyedia jasa layanan kesehatan, Ammarai Healthcare Assistance, di Jakarta Selatan. Kejadian itu segera diadukan tempat korban bekerja ke sistem yang terhubung ke perusahaan dan media sosial mereka.
Setelah kabar itu viral, Polres Metro Jakarta Selatan pun turun untuk mendorong korban melapor dan menyelidiki kejadian dan pelaku (Kompas.com, 19/12/2021). Bersamaan dengan itu, pihak Gojek pun menanggapi dan menonaktifkan akun pengemudi.
Sistem teknologi
Perusahaan penyedia layanan aplikasi transportasi daring ini pun menyiapkan penanggulangan kekerasan seksual di ekosistemnya dengan bantuan teknologinya. Sistem teknologi ini, kata Teuku, terdapat pada Tombol Darurat yang dapat diaktifkan pengguna saat masih dalam perjalanan.
Di halaman bantuan itu, pengguna jasa yang merasa mengalami bentuk kekerasan seksual bisa memilih menu terkait pada menu Driver Issue. Sistem itu akan mengantarkan pengguna pada Unit Darurat Gojek. Di sana, pengguna perlu memasukkan keterangan seperti nomor order atau nomor plat kendaraan mitra.
”Kalau ada kasus, SOP sudah ada. Jadi, begitu mengalami satu insiden ketika pakai Gojek bisa lapor ke call center. Lalu, nanti akan diarahkan untuk bicara dengan tim khusus kami, yang siap mendampingi dan memberi bantuan konseling,” katanya.
Adapun dalam hal pencegahan, teknologi mereka sudah mengadapatasi fitur verifikasi muka untuk akun mitra pengemudi dan sistem penyamaran nomor telepon untuk mencegah penyalahgunaan dan privasi. Di aplikasi, pengguna juga bisa membagikan perjalanan mereka agar bisa diawasi orang yang dipercaya.
Mitra diajarkan cara mengenali dan merespons ketika melihat atau menyaksikan kekerasan seksual di ruang publik.
Meskipun demikian, kata Teuku, mereka juga memastikan mitra dan karyawan mereka juga teredukasi. Mereka pun telah menyiapkan modul Pusat Edukasi dan Bantuan yang dapat diakses melalui gjk.id/lawankekerasanseksual. Modul tersebut merangkum langkah pencegahan kekerasan seksual hingga cara melaporkannya.
”Gojek ingin membangun budaya aman dan mendorong mitra-mitranya untuk secara konsisten menjadi pelopor penciptaan ruang publik yang aman, misalnya dengan sigap membantu atau mengambil tindakan ketika menemui kasus kekerasan seksual di ruang publik,” kata Teuku.
Selain itu, mereka juga menyiapkan pelatihan langsung dengan mitra dan karyawan yang telah dimulai di Kota Makassar. Pelatihan itu difasilitasi oleh organisasi Di Jalan Aman Tanpa Pelecehan (Demand) bagian dari Koalisi Ruang Publik Aman dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Sulawesi Selatan. Menurut rencana, pelatihan akan berlanjut ke sembilan kota besar lainnya, yaitu Medan, Palembang, Padang, Pekanbaru, Balikpapan, Solo, Bandung, Surabaya, dan Denpasar.
Pencegahan
Pencegahan pun menjadi pilar penting dalam hal menciptakan ekosistem antikekerasan seksual. Dalam edukasi itu, fasilitator pun mengajarkan langkah-langkah pencegahan jika mitra menemukan kejadian kekerasan seksual di ruang publik.
Direktur LBH Apik Sulawesi Selatan Rosmiati Sain pada kesempatan sama mengatakan, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan sosialisasi dan edukasi yang diberikan secara lisan dari mulut ke mulut. Hal sama juga diutarakan Chrisant Raisha, Training Director Demand.
Menurut Chrisant, para mitra juga berperan penting dalam hal pencegahan kekerasan seksual di ruang publik. Pencegahan pun bisa dilakukan dengan mudah. ”Mitra diajarkan cara mengenali dan merespons ketika melihat atau menyaksikan kekerasan seksual di ruang publik. Di modul kami, misalnya, Demand beri lima pilihan bantuan, yaitu tegur pelaku, alihkan, ajak orang menolong, tunggu, dan rekam aksi,” katanya.
Indra Gunawan, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), menilai, peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal pencegahan kekerasan seksual penting. Pasalnya, banyak kejadian tersebut yang tidak melaporkan karena rasa takut dan ketidakpahaman korban dan orang lain yang mengetahui.
”Masih banyak kasus yang belum terungkap, kekerasan psikis maupun seksual sering dialami oleh perempuan dan anak, khususnya, perlu menjadi perhatian kita bersama,” ujarnya.
Peningkatan kemampuan masyarakat dalam memahami kekerasan seksual ini, kata dia, tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024. Presiden langsung memberi arahan terkait hal ini, antara lain terkait upaya menurunkan kekerasan, pemberdayaan perspektif jender, dan peningkatan kesejahteraan melalui peran perempuan.
”Saat ini, kami bersama DPR sedang membahas Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu kerangka hukum yang bisa bermanfaat bagi masyarakat,” imbuh Indra.