Ketua Apeksi Bima Arya: Kota Pintar Tidak Sekadar Memasang CCTV
”Sharing” antarkota bisa terjadi jika ada hubungan baik antarkepala daerah. Relasi para wali kota ini ”brotherhood”, ”friendship”, seharusnya tidak ada gengsi-gengsi lagi.
Transformasi teknologi sebagai ekses dari pandemi Covid-19 telah memungkinkan orang bekerja dari mana saja. Selama terkoneksi dengan internet, orang dapat saja bekerja dari luar kota. Namun, ketimpangan pembangunan ternyata membuat peran kota tetap sentral.
Kota tetap menjadi magnet yang menarik orang untuk datang. Urbanisasi terus terjadi. Pemerintah kota dengan demikian harus inovatif dalam melayani warganya.
Berikut ini adalah pandangan terkait beberapa isu perkotaan dari Bima Arya Sugiarto, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) periode 2021-2024. Bima Arya, yang juga Wali Kota Bogor, diwawancarai di Balai Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (17/3/2022).
Bagaimana pandangan Anda terhadap fenomena smart city, kota pintar?
Sekarang ini, tiba-tiba banyak (kota) pasang CCTV, closed-circuit television. Ingin punya command centre, tapi pertanyaannya, data itu untuk apa? Data kita perlu, tapi harus dipikirkan juga siapa dan bagaimana data itu digunakan.
Smart city harus berangkat dari kebutuhan warganya. Ambil contoh, ada kebutuhan untuk efisiensi, maka kita akan berbuat apa, misalnya. Kemudian, ada kebutuhan soal pelayanan publik, lalu untuk transparansi.
Bogor, misalnya, kami punya persoalan serius dengan pohon. Kami bekerja sama dengan Balitbang Kehutanan IPB untuk mendeteksi pohon-pohon itu dengan alat-alat tertentu. Lalu, setiap pohon dikasih ”KTP”. Warna kuning artinya bahaya, merah harus ditebang. Bukan gaya-gayaan KTP-nisasi, tetapi itu memang berfungsi.
Ini (soal smart city) harus hati-hati. Banyak kepentingan ekonomi, kepentingan vendor di sini. Kami sudah pengalaman. Jangan ujung-ujungnya sekadar beli alat.
Selain isu smart city, apa isu lain yang harus dituntaskan pemerintah kota?
Populasi terus naik. Kota masih jadi sumber harapan, masih jadi opsi utama untuk memperbaiki kehidupan. Realitanya, infrastruktur di Indonesia belum merata. Ketimpangan bukan hanya antara kota dan desa, tetapi juga kota dengan kota.
Sekarang, bagaimana kita mengelola isu-isu kesehatan. Banyak daerah tidak siap dan business as usual. Kalau pandemi ini 10 tahun, bagaimana? Anggarannya, bagaimana? Mendesain fasilitas publiknya bagaimana?
Ada banyak hal dasar di banyak kota yang belum dipenuhi, seperti kesehatan dan sekolah. Kalau sistem kita benar, sebenarnya negara ini cukup sejahtera. Apa itu benar? Ya, uang rakyat kembali ke rakyat. Yang dibilang Pak Prabowo dulu benar itu soal bocor, bocor.
Bagaimana membangun sebuah kota dengan baik?
Pembangunan kota itu harus didorong perencanaan yang matang. Ada perencanaan birokratis, yakni usulan dinas; usulan dewan, aspirasi; dan usulan populis dari warga. Ada Musrenbang untuk mempertemukan seluruhnya itu.
Bagi daerah yang unsur politisnya lebih dominan, maka tidak ke mana-mana itu. Bagi daerah yang (unsur) ekonomi lebih berkembang, ya, dikuasai pengembang. Bagi saya, City should be driven by ideas. Jadi, ada ide yang mendorong pembangunan kota.
Dari awal, saya misalnya, melibatkan teman-teman akademisi. Jangan sampai kota menjadi lautan ruko demi kepentingan pengembang saja, misalnya. Kita bentuk zonasi-zonasi. Di masa depan, pusat pemerintahan Kota Bogor juga harus bergeser kalau tidak kota akan stuck, macet karena tidak ada pusat pertumbuhan baru.
Bagaimana pola pikir yang benar dalam mengelola kota?
Yang paling penting adalah jangan business as usual. Ini sering diingatkan oleh Pak Jokowi. Mencari alternatif pendanaan pembangunan juga (dilakukan) semaksimal mungkin dan mengelola APBD dengan profesional. Dua hal ini adalah kunci.
Kalau kemudian berhasil mengundang investasi tapi tak ada perencanaan, maka tidak ada artinya juga. Ini sebenarnya hal dasar. Pada daerah yang berhasil itu, dua hal ini juga berhasil.
Pemerintah pusat sebenarnya sudah punya banyak mekanisme untuk menyempurnakan pengelolaan APBD. Ada SAKIP, Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dan LAKIP, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan. Sistem itu memastikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan berjalan dengan baik. Jadi, targetnya apa, kegiatannya apa yang nyambung. Ini sudah bagus.
Apa peran Apeksi?
Selama ini, Apeksi banyak menjadi target dan corong sosialisasi dari kebijakan atau UU. Tapi, kini kami memandang secara berbeda. Ketika pemerintah punya hajat tertentu, kami ingin terlibat dari perencanaan.
Jadi, banyak hal, kami banyak bersuara kritis juga. Soal UU Cipta Kerja atau soal Sistem Informasi Pembangunan Daerah. Tapi, semangat kami tak menghantam pemerintah karena kami bagian pemerintah.
Lebih baik, kota-kota itu dilibatkan dari awal, dari perencanaan, bukan sekadar pemadam kebakaran. Pemerintah pusat, kan, bisa menghemat energi, tak harus lewat birokrasi yang panjang dan berliku. Pemerintah cukup lewat Apeksi yang memiliki mekanisme koordinasi.
Baca juga: Kebijakan Selaras Pusat-Daerah Menentukan Dampak Krisis
Ketika pemerintah meluncurkan kebijakan—seperti Cipta Kerja, kan, bukan langkah akhir, terkadang ada turunan kebijakannya. Sering kali harus ada perda, harus ada dana penyerta, dan sebagainya. Di sinilah peran Apeksi untuk menyinergikan.
Banyak gagasan pemerintah pusat yang keren sekali. SIPD, misalnya, semuanya bagus. Tapi, kemudian ada persoalan karena sosialisasi kurang optimal, juga tidak ada tim yang kuat. Karena itu, berbagilah dengan Apeksi.
Bagaimana Apeksi ke depan membantu anggotanya?
Kami menjembatani sharing antarkota dan membantu penguatan kapasitas karena ada kalanya persoalan ada pada level dinas/kepala bidang. Kemarin itu, kami minta, misalnya, asisten 1 untuk mengumpulkan BKD masing-masing kota untuk fokus pada isu penataan aset.
Masalah dasar setiap kota itu, kan, hampir sama. Saya banyak belajar dari Kang Emil (Ridwan Kamil), Bu Risma (Tri Rismaharini), dan Mas Anas (Azwar Anas). Bu Risma itu konsep pengelolaan sampahnya saya contek 100 persen. Kang Emil dan saya juga belajar dari Seoul. Dari Mas Anas, saya belajar bagaimana kota santet diubah menjadi kota wisata.
Tidak harus ke luar negeri untuk belajar. Ada ide besar di sana, tapi detailnya belum tentu bisa (ditiru). Di sini (di dalam negeri), kita bisa intens. Beberapa kota juga meniru Mal Pelayanan Publik Kota Bogor, bahkan membangunnya dengan lebih megah dari Bogor.
Itu semua (sharing antarkota) bisa terjadi jika ada hubungan baik antarkepala daerah. Itu kunci. Maka, Apeksi ini, kan, ke situ tuh. Para wali kota ini kan brotherhood, friendship, seharusnya tidak ada gengsi-gengsi lagi. Makanya, akhir tahun lalu, kami buat Apeksi outlook di pinggir pantai, santai-santai.
Para wali kota ini kan brotherhood, friendship, seharusnya tidak ada gengsi-gengsi lagi.
Adakah hasrat setiap kota untuk menarik talent terbaik untuk tinggal?
Hasrat itu ada. Ada yg berhasil, tapi banyak juga yang salah. Kenapa? Karena formula idenya tidak pas. Tidak melalui kajian, riset atau FGD, forum group discussion. Sering kali juga jadi politis.
Kota Bogor, kan, dulu dikenal kota beriman, itu politis. Buat saya, ya, Bogor itu kota keluarga. Fasilitas publiknya, pendidikan, dan kesehatan, harus mengarah untuk itu. Nah, jadi banyak yang gagal mendefinisikan kekuatan kota karena tidak ada dukungan akademisi.
Akademisi bisa bantu merumuskan arah kota ke mana. Dan, ini berjenjang, apakah mereka bisa menemukan formula yang pas. Kemudian, apakah mereka bisa menurunkan visi mereka ke kegiatan-kegiatan. Bisa jadi gagasannya bagus, tapi hanya jadi janji-janji kampanye yang tidak nyambung. Lalu, gagasan dan kegiatan dinas sekadar copy paste dari dinas-dinas sebelumnya. Tidak ada yang baru dan itu banyak kejadian di mana-mana.
Bagaimana soal keterlibatan kaum muda di kepemimpinan kota?
Ada (wali kota) yang lebih muda dari saya justru gagap berkomunikasi dengan anak-anak muda. Di beberapa kota begitu. Itu persoalan. Saya, kan, kalau acara Apeksi keliling ke beberapa kota dan menemui komunitas-komunitas anak muda. Karena di Bogor itu, (komunitas anak muda) adalah harta karun.
Saya di Bogor dibantu komunitas anak muda. Saya rasa, Mas Ganjar (Ganjar Pranowo) juga begitu. Kang Emil begitu juga.
Jadi, PR kita banyak. Maka, kami di Apeksi kini punya Youth City Changer Camp. Anak-anak muda dari sejumlah kota akan dikumpulkan untuk membangun jaringan anak-anak muda nasional. Nanti kami akan hubungan mereka ke masing-masing wali kota.
Pertama, targetnya adalah membuat jaringan anak muda yang peduli pada kotanya dan saling berbagi. Bisa kota dia tinggal atau membantu kota lain. Kedua, ini akan menjadi salah satu jalur alternatif kepemimpinan kota. Bandung sudah memulainya. Kang Emil, aktivis komunitas, nonpartai, didukung Bandung Creative Centre dulu telah berhasil.
Ada persoalan perkotaan yang kini mendesak dicarikan solusi?
Ada persoalan keberlanjutan pembangunan kota. Semua sebenarnya sudah bergerak untuk itu. Siapa, misalnya, yang akan menjadi pengganti (wali kota), siapa kepala-kepala bidang yang jadi pemimpin di masa depan.
Tapi dengan adanya sistem transisi ini, menuju pemilihan serentak, maka akan ada pengaruh pada sustainability. Transisi (pemerintah) di Jakarta dari Oktober 2022 sampai November 2024, lalu dilantik baru 2025. Itu (pemerintahan dilakukan) penjabat. Jadi, kami concern sekali dengan hal ini.