Warga Nilai Usulan Tarif Integrasi Rp 10.000 Menarik
Dishub DKI mengusulkan tarif integrasi Rp 10.000 untuk penggunaan moda angkutan umum di Jakarta. Warga menilai tarif itu menarik, tetapi ada harapan supaya tarif bisa ditekan lagi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
Warga DKI Jakarta menilai usulan tarif terintegrasi angkutan umum Rp 10.000 itu menarik dan terjangkau. Sayangnya, tarif terintegrasi baru akan mencakup moda angkutan umum yang dikelola Pemprov DKI, kereta komuter belum masuk.
Aliya Putri (26), warga Grogol, Jakarta Barat, Minggu (20/3/2022), mengatakan, ia setuju dengan usulan tarif integrasi yang tengah diajukan Pemprov DKI Jakarta. ”Saya baca di berita tarifnya akan Rp 10.000, ya? Menurut saya, besarnya masih terjangkau dan oke di kantong,” kata Aliya, karyawan swasta yang berkantor di Gambir, Jakarta Pusat.
Meski menurut Aliya menarik, pada akhirnya tarif itu belum akan terlalu berefek untuk aktivitas sehari-harinya. ”Karena saya lebih banyak naik Transjakarta dan kereta komuter KRL ketimbang MRT dan LRT. Kan, di Jakarta Barat belum ada LRT dan MRT? Di berita saya baca Rp 10.000 itu baru untuk Transjakarta dengan MRT dan LRT ya,” ujarnya.
Kalau pakai tarif integrasi, saya tidak harus pusing menghitung kalau mesti ganti-ganti angkutan bakal habis berapa.
Menurut Aliya, akan makin menarik dan memudahkan kalau KRL masuk ke dalam tarif integrasi. Supaya ruang lingkup pelayanannya lebih luas.
”Kalau KRL masuk lalu tarifnya naik pun enggak masalah. Yang penting jangan lebih dari Rp 15.000, masih aman,” katanya.
Senada dengan Aliya, Annisa Putri (32), warga Depok, Jawa Barat, berpendapat, sebagai warga kota penyangga, ia menilai akan terbantu dengan adanya tarif integrasi.
”Secara hitung-hitungan akan lebih murah. Lebih praktis juga dari sisi pencatatan keuangan karena semua ada di aplikasi nantinya,” katanya.
Sebagai karyawan swasta yang berkantor di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dan sebagai pengguna angkutan umum, selama ini ia mesti menghitung ongkos transportasi dengan cermat karena mesti berganti moda beberapa kali. Belum lagi ia mesti memperkirakan naik angkutan umum yang mana lagi agar makin efektif untuk membawanya ke tempat yang dituju.
”Kalau pakai tarif integrasi, saya tidak harus pusing menghitung kalau mesti ganti-ganti angkutan bakal habis berapa,” katanya.
Namun, Annisa berharap, sebisa mungkin lebih ditekan lagi tarifnya bagi warga yang tinggalnya di Bodetabek atau kalau bisa integrasinya dengan angkutan umum yang di Bodetabek juga dilakukan.
”Karena ongkos angkutan umum yang di Bodetabek ini yang mahal. Dan, pelayanan angkutan umumnya juga masih jelek karena masih sering ngetem,” kata Annisa.
Kalau angkutan umum tidak terintegrasi, menurut dia, warga Bodetabek akan tetap mengandalkan kendaraan pribadi untuk bekerja ke Jakarta.
Harya S Dillon, Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, berpandangan, tarif integrasi adalah kebijakan layanan pembayaran angkutan umum yang sudah diterapkan di negara-negara di dunia. ”Itu best practise di kota-kota di dunia, ya, begitu,” katanya.
Sebagai penyedia layanan angkutan umum, Harya melihat, antara Transjakarta, MRT, LRT, dan KCI seharusnya dalam tanda kutip musuh bersama mereka adalah angkutan pribadi.
”Jadi, jangan saling memusuhi antarangkutan umum. Kalau ada peluang untuk kerja sama, butuh investasi, ya, lakukanlah demi penumpang. Pertama, penumpang adalah pelanggan. Kedua, untuk mengurangi ketergantungan ke kendaraan pribadi,” ujarnya.
Dengan usulan tarif integrasi oleh Dishub DKI Jakarta sebesar Rp 10.000 maksimal untuk angkutan umum yang dikelola Pemprov DKI dan maksimal Rp 15.000 untuk pemakaian moda yang juga melibatkan KRL, tarif itu akan menarik, yaitu utamanya bagi mereka yang selama ini menggunakan angkutan pribadi.
Harya menyebut, dengan tarif tunggal selama ini, apabila satu penumpang hendak menuju Kelapa Gading dari Tangerang Selatan, katakan, maka penumpang itu harus berganti moda beberapa kali dan membayar sesuai tarif yang dikenakan tiap moda.
”Di sini ongkos lebih besar. Sementara dengan tarif integrasi membuat total biaya lebih murah dibandingkan dengan angkutan pribadi atau single tariff per angkutan umum,” kata Harya.
Lalu dengan rencana penerapan tarif integrasi itu, sebaiknya ada kerja sama antara Pemprov DKI dengan pemkab/pemkot di daerah penyangga. Itu karena banyak warga penyangga Jakarta yang bekerja di Jakarta. ”Ini terobosan,” kata Harya lagi.
Harya menggarisbawahi, poin dalam memberikan pelayanan angkutan umum adalah kerja sama antarpemerintah daerah. ”Kalau kebanyakan aturan yang menghambat, saya sarankan gunakan BUMD supaya bisa langsung kerja sama dengan BUMD DKI. Jadi, itu willingness saja,” katanya.
Harya juga berharap sebaiknya antar-BUMD BUMN juga antarpemprov/pemkab/pemkot tidak ada ego sektoral. Sebab, nanti yang akan menjadi korban ego sektoral ini masyarakat.
Harya juga melihat, kerja sama sudah bisa dilakukan antara daerah penyangga yang sudah tersistem dengan mengelola sistem bus rapid transit (BRT) melalui pengelolaan buy the service (BTS). Pemda juga sebaiknya responsif dengan aspirasi warga yang menginginkan adanya integrasi layanan angkutan umum dengan kualitas yang baik.
Eneng Malianasari, anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, menyatakan, tarif integrasi angkutan umum memang sudah seharusnya dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Namun, tarif integrasi harus diikuti peningkatan kualitas layanan.
”Kami menyambut baik ide tarif yang terintegrasi ini. Memang sudah seharusnya. Kalau dihitung, jadi sangat hemat tiga moda transportasi hanya bayar Rp10.000. Begini harusnya sejak awal,” kata Eneng.
Namun, ia tetap memberi beberapa catatan atas usulan itu. ”Perencanaan program harus matang dan cermat. Bukan berarti murah di publik, bermasalah di APBD. Jangan sampai BUMD merugi. Kalau begitu, ya, sama saja bohong,” ujar Eneng.
Catatan berikutnya, menurut Eneng, masih banyak PR yang perlu dikejar Pemprov DKI dalam aspek perbaikan kualitas transportasi umum. Menurut dia, pemprov harus selalu melakukan pemantauan kualitas pelayanan angkutan umum.
”Kami juga perlu ingatkan Pemprov DKI untuk mengerjakan PR-nya dalam perbaikan kualitas transportasi umum. Misalnya, mulai perbanyak armada. Mulai cek kualitas kendaraan. Ini demi keselamatan dan kenyamanan penumpang. Jangan karena murah hal-hal seperti ini disepelekan. Kalau Pemprov DKI berhasil mengerjakan PR-nya, maka program integrasi tarif ini akan menjadi ideal. Bahkan, bisa meminimalisir polusi udara. Masyarakat jadi lebih suka naik transportasi umum. Yang penting itu, pelayanan harus prima,” papar Eneng.
Selain itu, Eneng kembali mengingatkan Pemprov DKI Jakarta agar berhati-hati dalam menentukan tarif. Ia menilai pemerintah provinsi tidak boleh gegabah hanya karena dikejar masa jabatan Gubernur DKI yang tinggal sebentar lagi.