Debit air di Bendungan Sindangheula di Kabupaten Serang, Banten, mencapai hitungan kala ulang 200 tahun karena curah hujan tinggi. Dampaknya signifikan, banjir terjadi nyaris di seluruh Kota Serang.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Bendungan Sindangheula di Kabupaten Serang, Banten, yang berdaya tampung 9,3 juta meter kubik kelebihan air sebanyak 2 juta meter kubik lantaran curah hujan mencapai 243 milimeter. Kelebihan air tersebut mengalir ke daerah aliran Sungai Cibanten yang menyempit, terutama di kawasan hilir. Banjir pun melanda hampir di seluruh Kota Serang.
Berdasarkan data Pemerintah Kota Serang hingga Kamis (3/3/2022), sebanyak 2.431 rumah terdampak banjir, 2.900 warga mengungsi ke rumah kerabat atau posko pengungsian, dan enam warga meninggal dunia karena kesetrum, hanyut, dan tertimpa longsor.
Kepala Balai Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian I Ketut Jayada menyebutkan, curah hujan terpantau mencapai 243 milimeter sehingga Bendungan Sindangheula menampung 11 juta meter kubik air. Kelebihan 2 juta meter kubik air itu secara otomatis mengalir ke hilir melalui Sungai Cibanten.
"Debit air bendungan mencapai hitungan kala ulang 200 tahun karena curah hujan tinggi. Dampaknya signifikan, banjir di hilir," ucapnya. Kala ulang merupakan waktu hitungan kejadian debit atau hujan dengan besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut.
Ketut mengatakan, bendungan menampung air sesuai kapasitasnya. Kelebihan daya tampung dengan sendirinya akan mengalir ke hilir. Kondisi hilir Sungai Cibanten sudah menyempit karena berdirinya bangunan di bantaran hingga badan sungai dan sedimentasi. Hal itu membut aliran air tidak lancar sehingga sehingga meluap dan terjadi banjir.
"Bendungan Sindangheula didesain untuk 1.000 tahun. Tidak diduga datangnya kala ulang 200 tahun. Kami koordinasi dengan pemerintah daerah untuk benahi hilir supaya badan sungai utuh, siap menampung kelebihan debit air," katanya.
Bendungan Sindangheula di Kabupaten Serang, diresmikan Presiden Joko Widodo, Kamis (4/3/2021). Bendungan yang dibangun sejak 2015 dengan biaya Rp 458 miliar itu diharapkan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banten, khususnya Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon.
Peresmian tersebut menandai mulai dioperasikannya bendungan yang memiliki kapasitas tampung hingga 9,3 juta meter kubik itu.
Kalau banjir sudah sepenuhnya surut, 9 juta meter kubik air akan dialirkan pelan-pelan ke hilir. Bendungan dikosongkan supaya siap kembali menampung air
Bendungan Sindangheula dibangun di atas lahan seluas 131 hektar, bejarak sekitar 8,5 kilometer dari Kota Serang. Tak hanya menampung air, bendungan juga dirancang menjadi sumber penyedia air baku hingga 0,80 meter kubik per detik sekaligus pengendali banjir. Bahkan, bendungan itu pun memungkinkan untuk dijadikan sebagai penyedia listrik dan juga tempat wisata.
Ketut menambahkan, pembenahan dari hulu ke hilir mencakup sistem peringatan dini ketika bendungan kelebihan kapasitas daya tampung, normalisasi daerah aliran sungai, dan edukasi kepada warga supaya tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah.
"Kalau banjir sudah sepenuhnya surut, 9 juta meter kubik air akan dialirkan pelan-pelan ke hilir. Bendungan dikosongkan supaya siap kembali menampung air," katanya.
Cibanten menyempit
Pemprov Banten berkoordinasi dengan Pemkot Serang, dan Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian untuk penanggulangan banjir dari hulu Sungai Cibanten di Ciomas ke hilir di Karangantu.
Data daerah aliran sungai dan wilayah sungai di Banten menyebutkan, Sungai Cibanten dengan luas 224,86 kilometer persegi masuk daerah aliran sungai utama. Debit airnya sepanjang tahun berkisar 3,16 meter kubik per detik hingga 10,48 meter kubik per detik.
Merujuk arsip Kompas, kerusakan Sungai Cibanten terjadi sejak Banten terkenal sebagai kota pelabuhan dan perdagangan internasional pada abak ke-16 hingga ke-17.
Saat itu Banten sebagai kota pelabuhan dan perdagangan internasional banyak didatangi pedagang dari mancanegara. Seiring dengan maraknya bisnis, lahan-lahan di pedalaman atau kawasan hutan terus dieksploitasi untuk budidaya lada, selain kayu bakar sebagai sumber energi.
Aktivitas yang memanfaatkan sumber daya alam secara tidak terkendali berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan. Erosi tanah terjadi secara terus-menerus mempercepat pengendapan di daerah aliran sungai Cibanten dan anak-anak sungainya sehingga sepinya arus pelayaran dan perdagangan.
Kerusakan lingkungan itu sendiri diakibatkan dua faktor, yaitu faktor dari luar berupa kedatangan saudagar yang datang selain untuk mencari lada, juga berperan mempengaruhi gaya hidup masyarakat Banten, serta faktor dari dalam berupa adat istiadat dan persepsi mereka yang menganggap bahwa lahan yang tersedia adalah milik umum (Kompas, 21 Mei 2006).
Mereka yang tinggal di tanah ilegal termasuk termasuk para nelayan di bantaran Kali Cibanten dikenal dengan sebutan warga squatter. Upaya pemerintah menyediakan ratusan rumah bantuan tidak berhasil. Para nelayan enggan menempati karena sempit dan tidak mampu membayar uang cicilan rumah sebesar Rp 150.000 per bulan selama 10 tahun (Kompas, 26 Mei 2006).
Saat ini pun belum banyak perubahan wajah Sungai Cibanten. Penyempitan antara lain terjadi di Kaujon, Kubang, Sempu, Pasar Lama, dan Banten. Bahkan, terdapat bangunan liar yang berdiri di badan sungai.
Pantauan di beberapa titik, bangunan-bangunan berdiri di kiri dan kanan bantaran Sungai Cibanten di Kaujon. Akibatnya lebar sungai yang seharusnya lebih dari 5 meter berkurang menjadi 3 meter karena tumpukan tanah dan sedimentasi.
Pemandangan serupa juga di Kampung Jabang Bayi, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen. Banjir menyapu dua rumah panggung hingga tersisa pilar-pilar beton yang patah dan satu rumah lainnya bergeser dari posisi semula dan miring.
Selain bangunan, banyak tumpukan sampah di pinggir jalan, tepi, dan badan Sungai Cibanten. Tumpukan itu lambat laun menjadi gundukan yang mengurangi lebar sungai. Salah satunya di bawah Jalan Tol Serang-Merak dan jembatan penyeberangan kawasan Kasemen.
Tak pelak banjir menghanyutkan sampah-sampah aneka jenis dalam kantong kresek, pohon, dan ranting, serta material bangunan. Sampah tersebut tersangkut di bantaran, tiang jembatan, dan permukiman.
Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy memastikan bahwa pembenahan hilir mutlak untuk penanggulangan banjir. Pemerintah daerah akan merampungkan detail engineering design untuk pembenahan badan sungai.
"Tertibkan bangunan di bantaran sungai, lalu lebarkan sesuai kebutuhan dan rancangan Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian," ucapnya.
Dia menyaksikan sendiri banyaknya bangunan di sempadan sungai. Supaya tak berulang, penerbitan izin mendirikan bangunan bakal lebih ketat dengan syarat tersedianya ruang terbukam hijau, drainase, dan biopori agar tak terjadi lagi banjir mencapai ketinggian 5 meter.
"Bayangkan ada bangunan berdiri di badan sungai. Mudah-mudahan bisa pembenahan dan penertiban berjalan lancar," ujarnya.