Kampung Kebon Baru, Potret Sosial di Pesisir Tangerang
Kampung Kebon Baru terletak di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten. Berjarak 55 kilometer dari pusat Jakarta, warganya mayoritas peranakan Tionghoa.
Lim Swan Nio (75) duduk di balai-balai depan rumahnya sambil menyobek tumpukan daun pisang, Minggu (6/2/2022) siang. Sobekan menjadi lembaran-lembaran itu bakal pembungkus bacang, kudapan seperti lontong berbahan beras atau ketan dengan isian daging dan kacang.
Saban hari, warga Kampung Kebon Baru, Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten, ini keliling kampung menjajakan bacang. Itu satu-satunya cara menjaga dapurnya tetap mengepul.
Lim membeli daun pisang dari kebun warga. Kemudian, ia membungkus dan memasak bacang di tungku berbahan bakar kayu dan ranting yang ia pungut dari kebun atau hutan di sekitar kampung.
”Jualannya baru besok, karena kayu bakar basah kena hujan. Biasanya keliling kampung. Kadang habis, kadang sisa, enggak tentu. Paling dapat Rp 60.000 untuk makan, bayar listrik, dan buat bacang lagi,” tuturnya.
Ibu satu anak ini tinggal di rumah bambu beratap daun kelapa yang tak rapi lagi. Rumahnya bersisihan dengan tembok tetangga, menumpang di atas tanah tetangga, tetapi si empunya tanah tak memungut biaya sewa.
Kondisi rumah dua kamar dengan satu kamar mandi itu memprihatinkan. Lantai rumahnya dari semen yang pecah-pecah. Dinding dan atapnya lapuk termakan usia dan bolong di sana-sini. Bolongan disumpal kain atau karpet supaya tak kedinginan karena terpaan angin atau bocor saat hujan.
Saat ini, anak lelaki semata wayangnya yang berusia 30-an tahun tinggal bersamanya. Anaknya itu sedang menganggur lantaran terkena pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid-19. ”Anak lagi cari pekerjaan. Susah benar cari kerja sekarang,” ujarnya.
Situasi hampir sama dialami Aat (52), tetangga Lim yang tinggal seorang diri di rumah. Ketika dijumpai, ibu dua anak itu tengah membersihkan rumahnya.
Aat tidak bekerja dan tinggal seorang diri. Ia menggantungkan hidup dari uang kiriman anak-anaknya yang bekerja di Jakarta. ”Tidak ada pekerjaan. Setiap bulan anak-anak kirim Rp 200.000,” ucapnya.
Baca juga : Sukacita Imlek di Rumah Gedek
Uang itu pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun, ia sedikit lebih beruntung karena rumahnya sudah dibedah atas bantuan donatur pada pertengahan 2000-an.
Rumah yang semula terbuat dari bambu dan beratapkan daun kelapa itu telah bersolek menjadi rumah tembok. Rumahnya bisa dibedah karena berdiri di tanah sendiri. Sayang, kini kondisi rumah kurang terawat. Beberapa bagian dindingnya retak-retak. Aat tak punya cukup uang untuk memperbaiki kerusakan.
Kampung peranakan
Kampung Kebon Baru berjarak 55 kilometer dari pusat Jakarta. Warganya berjumlah 300-an jiwa dan mayoritas peranakan Tionghoa. Namun, mereka cenderung berkulit hitam atau gelap dan hidup pas-pasan sebagai pekerja serabutan, kuli, petani, nelayan, dan peternak kecil.
Banyak warga hidup menumpang di tanah milik orang lain yang bermukim di kota, tanah tetangga, atau tanah warisan yang jumlahnya terbatas. Alex (43) dan Kusnawati (45), misalnya. Pasangan suami istri ini menumpang di tanah milik saudara.
Di situ mereka membangun rumah dari bambu dengan dua kamar dan satu kamar mandi. Sumber air untuk mandi-cuci-kakus (MCK) berasal dari sumur bor komunal sedalam 100 meter di samping rumah.
Sumur itu bantuan donatur swasta lantaran jaringan perpipaan belum masuk ke Kampung Kebon Baru. Banyak sumur sejenis di rumah warga lain atau sumur galian sendiri sedalam 6-10 meter yang beruntung airnya tawar.
Sudah lansia, bertani begini untuk cukupi kebutuhan hidup. Tidak mungkin hanya tunggu bansos atau bantuan langsung tunai.
Setahun terakhir, Alex membuat kandang kambing di belakang rumah. Ia melakukannya setelah terkena pemutusan hubungan kerja dari pabrik dan toko karena pandemi Covid-19. ”Ada lima kambing. Bisa dijual setelah enam bulan. Makanya, saya juga kerja serabutan selama ada yang meminta bantuan,” katanya. Anaknya masih sekolah menengah kejuruan.
Begitu juga dengan Cian Hin (65) yang tinggal berdua dengan istrinya. Mereka menetap di tanah warisan orangtua dan memanfaatkan lahan kosong di kiri kanan rumah untuk bertani.
Baca juga : Musim Semi Inovasi dari Sukamulya
Cian menanam timun di 15 bedeng. Timun-timun ini baru siap panen setelah 40 hari. Biasanya dihasilkan 30 kilogram timun yang dijual kepada tengkulak seharga Rp Rp 1.500 hingga Rp 3.000 per kilogram. ”Sudah lansia, bertani begini untuk cukupi kebutuhan hidup. Tidak mungkin hanya tunggu bansos atau bantuan langsung tunai,” katanya.
Jerat kemiskinan
Sebagian warga di Kampung Kebon Baru hidup dalam kondisi memprihatinkan. Mereka tinggal di rumah yang tergolong tidak layak huni dan menumpang di tanah orang lain serta terjerat kemiskinan.
Rusli, pegiat sosial di Mauk, menuturkan, kebanyakan warga hanya menempuh pendidikan sampai jenjang sekolah menengah pertama dan tinggal di rumah tidak layak karena tidak punya tanah sendiri. ”Kebanyakan rumah terbuat dari bambu dan beratap daun kelapa atau nipah. Mau dibedah terkendala kepemilikan tanah,” katanya.
Di sisi lain, warga membutuhkan tambahan kemampuan dan lapangan pekerjaan untuk mendongkrak taraf hidup. Salah satunya melalui perbaikan tingkat pendidikan.
Rusli menyebutkan, warga hanya lulus sekolah menengah pertama karena terkendala biaya. Banyak anak tidak kebagian masuk sekolah negeri juga karena zonasi yang tidak ideal.
”Sistem zonasi membuat banyak anak tidak kebagian sekolah negeri yang letaknya di kota kecamatan. Sebagian terpaksa putus sekolah. Mau masuk sekolah swasta tidak ada biaya,” ucapnya.
Kecamatan Mauk dengan luas 51,42 kilometer persegi adalah salah satu kecamatan terluas di Kabupaten Tangerang. Jumlah penduduknya 85.573 jiwa dan tersebar di 12 desa.
Laporan Kabupaten Tangerang dalam Angka 2021 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, dari jumlah penduduk itu, terdapat 3.647 keluarga fakir miskin. Salah satu yang terbanyak di Kabupaten Tangerang.
Lebih rinci, merujuk Data Rumah Tangga Miskin Kecamatan Mauk, ada 6.750 rumah tangga miskin dari 28.607 keluarga di 12 desa. Desa Marga Mulya di mana Kampung Kebon Baru berada memiliki 604 rumah tangga miskin dari 2.506 keluarga.
Adapun secara keseluruhan, angka kemiskinan di Kabupaten Tangerang yang berpenduduk 3,2 juta jiwa mencapai 6,23 persen. Rata-rata pendapatan per kapita warga miskin ini Rp 520.741.
”Gebrak Pak Kumis”
Pemerintah Kabupaten Tangerang berupaya mengatasi kemiskinan itu dengan program Gerakan Bersama Rakyat Atasi Kawasan Padat, Kumuh, dan Miskin (Gebrak Pak Kumis).
Dihubungi secara terpisah pada Senin (7/2/2022), Camat Mauk Arif Rahman mengatakan, pemerintah daerah menyiapkan Gebrak Pak Kumis bekerja sama dengan pihak swasta. Namun, selama pandemi Covid-19 ada kendala pengalihan anggaran untuk penanganan pandemi.
”Gebrak Pak Kumis sudah berlangsung empat tahun. Kami mediasi dengan pemilik lahan, minta supaya bisa beli lahannya. Nanti dijual kepada warga dan kami bantu bedah rumah,” katanya.
Baca juga : Janji Meningkatkan Kualitas Warga di HUT Ke-389 Kabupaten Tangerang
Pemerintah daerah, lanjut Arif, fokus menata sarana dan prasarana serta perumahan di Desa Tanjung Anom dan Desa Marga Mulya. Upaya itu meliputi penataan kawasan, juga pembangunan dan perbaikan drainase serta tangki septik.
Sementara itu, pemberdayaan ekonomi masih berfokus di Desa Ketapang sebagai percontohan. Pemberdayaan mencakup pengembangan kemampuan dan usaha ke sektor jasa perdagangan, industri kreatif, serta pemberdayaan perempuan dan pemuda.
”Tujuannya membangun masyarakat pantai dan pesisir serta kawasannya. Jangan sampai pembangunan hanya jadi monumen saja,” ujarnya.
Di Kebon Baru, bergenerasi warganya hidup dalam situasi yang sama. Perubahan belum dirasakan bersama, seperti dialami Lim dan Aat.