Kesederhanaan bukan halangan untuk bersukacita. Banyak keluarga di wilayah Cina Benteng merayakan Tahun Baru Imlek 2573 di gubuk-gubuk gedek dengan suguhan istimewa, tetapi seadanya.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO, ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Kesederhanaan bukan halangan untuk bersukacita. Banyak keluarga di wilayah Cina Benteng merayakan Tahun Baru Imlek 2573 di gubuk-gubuk gedek dengan suguhan ”istimewa”, tetapi seadanya. Hal yang penting, berdoa kepada leluhur dan makan bersama.
Kegembiraan karena bisa berkumpul bersama orangtua dan sanak keluarga terasa kental di rumah Tan Yonih (65), warga Kelurahan Kedaung Wetan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, pada Selasa (1/2/2022). Siang itu di rumahnya yang berada di bantaran Sungai Cisadane tampak ramai.
Raut muka Tan Yonih, janda tiga anak yang biasa dipanggil Konik, tampak ceria dikelilingi anak-anak, 8 cucu, dan 2 cicit. Tak hanya itu, tetangganya pun datang bertamu.
Konik sekeluarga adalah satu dari seklitar 60.000 warga Cina Benteng, sebutan bagi warga keturunan Tionghoa yang tinggal di dalam benteng yang dibuat tentara Belanda pada tahun 1683 di wilayah Kota Tangerang. Benteng itu berlokasi di seberang Sungai Cisadane untuk perlindungan pihak Belanda dari serangan prajurit Kesultanan Banten pada masa itu.
”Yah, begini aja, sih, kalau Imlek. Anak, cucu, cicit pada datang. Tetangga juga mampir walau tidak seramai sebelum Covid. Sekarang banyak pemilik rumah takut terima tamu lama-lama,” ujar Konik yang berbaju warna merah. Karena rumahnya yang berdinding gedek tak memiliki ruang tamu dan meja kursi, ia bercengkerama dengan keluarga dan tamu di beranda rumah.
Yo Sun Nio (76) memilih merayakan Imlek dengan sederhana lantaran suaminya baru meninggal pada Juni lalu. Di depan rumahnya yang terbuat dari bambu dan beratap daun nipah, dia duduk berkumpul bersama anak, menantu, dan para cucu. Rumah Yo berdekatan dengan Kelenteng Yang Sen Bio di Jalan Rawa Kucing, Mekarsari, Neglasari, Tangerang.
”Kami merayakan seadanya aja. Malam tahun baru juga enggak ngapa-ngapain, anak- anak datang ngobrol, terus pulang. Semalam juga bagi-bagi angpau ke cucu, tapi enggak banyak, cuma ceban (Rp 10.000), asal bagi aja,” kata Yo, yang memiliki 8 anak, 20 cucu, dan 2 cicit.
Yo yang beragama Buddha itu tak lagi mengingat asal-usul leluhurnya. Akan tetapi, ia selalu menjalankan tradisi orang Tionghoa. Ia menyiapkan makanan khas Cina Benteng untuk merayakan Imlek, seperti daging babi, ikan bandeng, sayur lodeh, dan sop.
”Saya dan anak-anak enggak bikin kue karena kalau ada kematian, tradisinya enggak bikin dalam tiga tahun. Enggak tahu pasti sih kenapa, enggak lengket atau apa. Tapi, katanya, kalau buat kue cina mentah artinya ada yang mau meninggal, ya,” kata Yo yang berasal dari Kampung Melayu, Teluknaga.
Keluarga Coa Cunih (56) yang tinggal dekat Kelenteng Tjong Tek Bio di Jalan Sewan Lebak Wangi, Neglasari, Tangerang, asyik bercengkerama dengan anak, menantu, keponakan, dan cucunya. Sembari bercanda, mereka menikmati keik cokelat dan aneka kue kering yang terhidang di meja. Kopi dan air mineral gelas menjadi pelengkap hidangan.
”Makna tahun baru buat saya adalah momen yang buat senang hati aja, dah. Tiap tahun keluarga semua masih diberi kesehatan terus kumpul dengan sanak saudara yang jauh-jauh,” ucap Cunih yang lahir di Selapajang.
Setiap tahun, ibu tiga anak ini selalu merayakan Imlek dengan keluarga besarnya, termasuk menantu, keponakan, dan cucu-cucunya. Mereka sudah mulai berkumpul bersama sejak malam tahun baru untuk menikmati makan malam bersama, mengobrol, dan bagi-bagi angpau.
Kasur usang
Di ruang tengah rumah Konik ada kasur busa yang sudah usang. Kasur itu tempat Shie Kumsan, anak pertamanya, istirahat jika datang karena tak ada lagi tempat lain di dalam rumah itu. Kumsan yang bekerja di bidang bangunan tinggal di Salembaran, Tangerang. Di kasur itu pula tergeletak tiga stoples isi kue kering dan kacang buatan sendiri serta tiga gelas air mineral dingin. Beberapa kali ia meminta Kompas mencicipi aneka kue tersebut.
Konik memulai rangkaian perayaan Imlek dengan memasak bandeng seberat 2 kilogram dengan bumbu pindang, sambal godok (isinya cabai, petai, ebi, dan aneka bumbu direbus), ayam, serta bakcian (kentang, buncis dibumbui ditambah kecap). Aneka masakan tersebut ditambah dengan jeruk, apel, rambutan, dan kue kering, kemudian dipersembahkan kepada leluhur pada sembahyang di rumah itu. ”Tadinya mau beli daging sapi, tapi enggak kebeli,” ucap Lina, anak bungsu Konik, yang tinggal dekat ibunya.
”Ini saya, kan, nyuguh orang tua biar mereka senang. Nanti waktu sembahyang, saya bilang, ayo makan. Seadanya. Katanya suruh ngomong gitu biar orangtua saya tahu, ya, saya lakuin aja,” kata Konik. Orang tua yang dimaksud Konik tak lain adalah para leluhur yang mereka hormati.
Budayawan Cina Benteng, Oey Tjin Eng (77), yang ditemui di kawasan Kelenteng Boen Tek Bio, Tangerang, Kamis (3/2/2022), menjelaskan, perayaan Imlek menjadikan warga menyiapkan diri untuk memulai perjuangan baru agar kehidupan pada tahun baru ini lebih baik. Tekad tersebut disampaikan lewat sembahyang kepada Tuhan tepat pada Tahun Baru Imlek.
”Tekad memasuki tahun baru harus diikuti keberanian untuk mengubah tahun baru menjadi perjuangan baru. Intinya, kita harus merawat semangat perjuangan pada tahun yang baru,” ujar Oey Tjin Eng.
Berkaitan dengan keberanian berjuang, ia menekankan bahwa bagi orang Tionghoa, ketika jatuh atau gagal, ia harus bangun lagi. ”Tidak ada cerita orang Tionghoa gagal, kemudian bunuh diri. Itu bukan orang China namanya. Yang benar, setiap kali ia gagal, ia harus bangun lagi, sampai berkali-kali pun ia harus melakukan itu,” kata generasi ketujuh keluarga Oey di Tangerang itu.
Bagi penganut agama Khonghucu, perayaan Imlek bukan hanya soal budaya, melainkan juga masa penuh ibadah. Tidak mengherankan warga Cina Benteng menyambut Imlek dengan sukacita.
Hampir seluruh keluarga Tionghoa jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri untuk menyambut Imlek. Selain menanti keluarga besar berkumpul dari tanah rantau, mereka juga selalu menyiapkan masakan istimewa. Intinya, menu-menu yang diracik dari makanan berunsur bumi, langit, dan air.
Warga Cina Benteng seperti Tan Yonih, Coa Cunih, dan Yo Sun Nio, dengan kehidupan serba terbatas, tetap bersukacita mempersiapkan dan merayakan Imlek bersama keluarga besar masing-masing. Berkumpul, berdoa, dan makan bersama, apa pun menunya, adalah keharusan untuk terus menguatkan simpul kekeluargaan.