Sepeda Motor Pilihan Utama Berkomuter di Jabodetabek
Masih sedikit warga yang mau beralih ke angkutan umum karena waktu tempuhnya lama. Dengan durasi perjalanan lebih singkat, sepeda motor dipilih oleh lebih banyak komuter.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA PRATAMA PUTRA, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
GUNAWAN KARTAPRANATA
Infografik Lipsus Angkutan Umum Versus Kendaraan Pribadi Menuju Monumen Nasional
JAKARTA, KOMPAS - Biaya perjalanan dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau Bodetabek ke pusat kota Jakarta menggunakan angkutan umum massal hampir sama dengan biaya menggunakan sepeda motor, hanya lebih mahal 1-4 persen. Namun, waktu tempuhnya masih 55-62 persen lebih lama ketimbang menggunakan sepeda motor.
Angka ini didapatkan melalui simulasi ongkos dan jarak yang dilakukan Kompas dari empat titik kawasan berkepadatan penduduk tinggi (lebih dari 12.000 jiwa perkilo meter persegi) yang tersebar di area Bodetabek menuju kawasan Monumen Nasional (Monas) atau pusat Jakarta. Empat titik ini terdiri dari perumahan di Teluk Naga dan Cikupa, Tangerang; Babelan, Bekasi Utara; dan Klapanunggal, Bogor.
Keempat titik ini adalah wilayah dengan pertumbuhan penduduk yang tergolong tinggi tapi tidak memiliki akses langsung terhadap angkutan umum massal. Angka biaya ini akan lebih rendah apabila titik sampel dipilih dari wilayah yang memiliki akses langsung terhadap angkutan umum massal.
Sementara itu, angka ongkos sepeda motor hanya meliputi biaya kredit motor dan bahan bakar yang dibutuhkan.
Dari simulasi diketahui bahwa biaya menggunakan sepeda motor adalah Rp 546 per kilometer (km). Di sisi lain, ongkos angkutan umum berkisar pada angka Rp 552-693 per km. Sementara rata-rata kecepatan sepeda motor dapat mencapai 26 km per jam sedangkan transportasi umum hanya pada angka 16-17 km per jam.
Inilah yang membuat Alim (27) warga Balaraja memilih naik sepeda motor ke tempat kerjanya di Jatiwarna, Bekasi. "Naik motor pulang dari Bekasi ke Balaraja 1,5 jam dan bisa mampir-mampir. Kalau naik bus bisa 2 jam perjalanan," kata Alim.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Kendaraan memadati Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Sabtu (27/3/2021). Kemacetan lalu lintas di Jakarta meningkat di tengah situasi pandemi Covid-19. Mobilitas warga di Jakarta dan sekitarnya cenderung tinggi meski pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat berskala mikro untuk mengendalikan penularan Covid-19. KOMPAS/RADITYA HELABUMI 27-03-2021
Survei Komuter Badan Pusat Statistik 2019 menunjukkan 63,3 persen komuter yang bergerak di Jabodetabek menggunakan sepeda motor untuk menuju ke atau dari tempat beraktivitas. Pengguna sepeda motor tercatat paling tinggi dibanding pengguna moda angkutan lainnya dalam berkomuter. Jumlah ini pun mengalami pertumbuhan dibandingkan lima tahun sebelumnya. Pada 2014, jumlah komuter bersepeda motor adalah 58,2 persen dari total komuter.
Adapun komuter pengguna angkutan umum hanya berkisar 20 persen dari total komuter di Jabodetabek pada tahun 2019.
Di Jabodetabek, presentase pengguna sepeda motor untuk berkomuter tertinggi ada di Kota Tangerang yakni 176.000 atau 75,1 persen dari total komuter di kota tersebut. Setelah itu Kabupaten Tangerang (163.000 atau 68,9 persen), Tangerang Selatan (131.000 atau 66,7 persen), Kabupaten Bekasi (158.000 atau 65,8 persen), Kota Depok (244.000 atau 61,7 persen), Kabupaten Bogor (219.000 atau 53,3 persen) dan Kota Bogor (41.000 atau 51,5 persen).
Angkutan umum
Komuter pengguna kendaraan pribadi seperti sepeda motor ataupun mobil dalam teori transportasi termasuk pengguna jasa transportasi kategori Choice atau mempunyai kemudahan untuk mengakses kendaraan pribadi, sekaligus bisa memilih menggunakan angkutan umum.
Sejak ada kemudahan kredit sepeda motor, golongan Choice di Jabodetabek jumlahnya terus meningkat. Data kepemilikan sepeda motor (BPS) selama 2010-2015 naik 16 persen dan kepemilikan mobil naik 34,4 persen di periode yang sama.
Selain Choice, ada juga pelaku perjalanan yang masuk kategori Captive. Mereka harus menggunakan angkutan umum dalam bermobilitas karena tidak mempunyai kendaraan pribadi. Meski durasi perjalanan naik angkutan umum cenderung lebih lama, mereka tetap menggunakannya dan berstrategi supaya bisa sampai ke tujuan tepat waktu.
ALBERTUS KRISNA
Penumpang sedang bermobilitias menggunakan angkot 64 jurusan Cibinong - Cileungsi (14/01/2022). Bagi sebagian warga setempat, angkot masih menjadi moda transportasi andalan.
Seperti Yati (60), asisten rumah tangga yang bekerja di kawasan Kemanggisan Jakarta Barat. Perjalanan dari rumahnya di Jombang, Tangerang Selatan ke tempat kerjanya ditempuh selama dua jam, dengan berganti tiga kali angkot. Yati memilih berangkat tepat pukul 6.00 supaya bisa sampai tepat waktu. Juga saat pulang, ia memilih pulang sebelum pukul 15.00 untuk menghindari jam sibuk di sore hari.
Durasi Panjang
Pakar transportasi Djoko Setijowarno mengatakan dalam beberapa tahun terakhir angkutan umum gagal bersaing dengan popularitas sepeda motor. “Sepeda motor ini yang menghambat pengembangan angkutan umum karena keuntungan sepeda motor yang lebih murah dan cepat. Jika disuruh memilih naik motor atau angkutan umum, orang pasti akan memilih sepeda motor karena lebih praktis,” tambahnya.
Durasi perjalanan yang panjang dari angkutan umum menurut Peneliti Instran Felix Iryantomo, sebenarnya cukup wajar dan masuk akal. “Angkutan umum kan harus stop di setiap halte, belum lagi pengguna harus ganti moda yang berarti harus menunggu angkutan lanjutannya,” jelasnya.
HANS KRISTIAN
Infografik Cakupan Layanan Angkutan Umum Massal di Jabodetabek
Bandingkan dengan kendaraan pribadi yang sangat leluasa memilih rute perjalanan dan tidak wajib berhenti di setiap halte. Meski demikian ada juga pilihan menggunakan angkutan umum dalam bermobilitas karena merasa nyaman dibanding harus menggunakan kendaraan pribadi seperti sepeda motor. Sutikno (60), seorang montir truk semen yang tinggal di Kelapanunggal, Bogor, memilih naik angkot 64 jurusan Cibinong–Cileungsi untuk mencapai tempat kerjanya yang berjarak 3 km dari rumah. Sebenarnya jarak tersebut bisa ditempuhnya dengan naik sepeda motor tapi karena alasan kesehatan, angkot, sekarang menjadi moda utamanya. "Karena sudah tua, sekarang sering naik angkot. Lebih aman dan praktis,” katanya menjelaskan kenyamanan naik angkot.
Bertahan
Survei Komuter BPS 2019 menunjukkan, dari total 2,3 juta komuter pengguna kendaraan pribadi, hanya 8,4 persen saja yang berkeinginan pindah ke angkutan umum. Banyaknya komuter yang tetap bertahan dengan kendaraan pribadinya bukan tanpa alasan. Data yang sama menyebutkan alasan terbesarnya yaitu waktu tempuh lama, yang dikeluhkan 79,1 persen komuter. Kemudian disusul tidak praktis (76,1 %), waktu tunggu lama (57,9 %), biaya lebih mahal (52,1 %), hingga tidak nyaman (42,4 %).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Pejalan kaki menyeberangi pelican crossing Halte Tranjakarta Glodok sementara di kawasan Glodok, Jakarta Barat, Rabu (19/1/2022). Halte tersebut menggantikan halte lama yang terdampak pembangunan proyek MRT Fase 2A rute Glodok-Kota. Halte sementara tersebut tidak lagi dilengkapi dengan jembatan penyeberangan orang (JPO) sehingga penumpang yang akan menuju halte dapat menyeberang melalui pelican crossing. KOMPAS/RADITYA HELABUMI 19-01-2022
Waktu tempuh lama menjadi alasan terbanyak yang dikeluhkan komuter selaras dengan minimnya cakupan layanan angkutan massal khususnya di Bodetabek. Berbeda dengan DKI Jakarta yang sudah 96,1 persen penduduknya terlayani angkutan massal, sementara di Bodetabek hanya 26,2 persen penduduk di area pertumbuhan kota yang terlayani.
Ditambah lagi tidak banyak pilihan moda massal bagi komuter di Bodetabek. Dari total mereka yang sudah terlayani, mayoritas sebesar 84 persen diantaranya hanya memiliki satu pilihan moda. Sementara sisanya 16 persen sudah terlayani dua moda. Pilihan moda itu kombinasi antara KRL, BRT atau Bus Transjabodetabek.