Bodetabek Harus Berani Beri Subsidi untuk Angkutan Umum Massal
Hanya sekitar sepertiga (34 persen) warga Jabodetabek yang menggunakan angkutan umum untuk bermobilitas sehari-hari. Alhasil, ruas jalan yang penuh kemacetan. Butuh komitmen mewujudkan transportasi massal di Jabodetabek.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA PRATAMA PUTRA, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
Sistem angkutan umum di Jabodetabek tidak hanya bertugas melayani 1,2 juta penglaju yang keluar masuk Jakarta dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, namun juga pergerakan internal warga metropolitan terbesar ketiga di dunia setelah Delta Sungai Mutiara (yang meliputi Guangzhou, Shenzen, Hong Kong, Macau), China; dan Tokyo, Jepang.
Namun, sebetulnya hanya sekitar sepertiga (34 persen) warga Jabodetabek yang telah menggunakan angkutan umum untuk bermobilitas sehari-hari. Alhasil, ruas jalan yang penuh menimbulkan kemacetan kronis.
Perhitungan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pada 2021 menunjukkan, kemacetan Jabodetabek telah mengakibatkan kerugian senilai Rp 71,4 triliun setiap tahun. Setiap hari 2,2 juta liter bahan bakar minyak terbuang percuma dan kerugian waktu yang ditimbulkan adalah sekitar 6 juta man-hour (orang-jam) per hari. Angka kerugian ini pun naik dari 2020 sebesar Rp 65 triliun.
Dari berbagai aspek, cakupan layanan angkutan umum mungkin salah satu yang besar pengaruhnya. Cakupan layanan angkutan umum massal di Bodetabek, menurut analisis Kompas, hanya melayani sekitar 24 persen orang di wilayah berkepadatan penduduk tinggi. Sangat kontras dibandingkan Jakarta yang sudah tercakup 96 persen lebih.
BRT dan monorel
Untuk mengejar ketertinggalan ini, berbagai upaya dilakukan pemerintah daerah di kawasan ini. Pemerintah Depok pada Maret 2021 telah meluncurkan layanan bus rapid transit D'GOL (Depok Go Lancar) dengan trayek Terminal Jatijajar–Terminal Margonda. Rencananya rute ini akan menjadi salah satu dari empat koridor yang telah direncanakan.
"BRT Depok sudah akan terkoneksi ke Transjakarta dan juga Kereta Commuterline," kata Kepala Dinas Perhubungan Depok Eko Herwiyanto. Depok adalah penyumbang warga komuter terbanyak ke Jakarta, dengan angka sekitar 296 ribu jiwa setiap harinya.
Namun, impian Depok yang sesungguhnya adalah monorel. Transportasi publik berbasis rel layang dinilai menjadi solusi karena Depok tidak memiliki ruang yang tersisa untuk pembuatan jalan.
Studi rutenya telah disiapkan dan kini telah ditentukan 4 koridor monorel yang akan melayani mobilitas internal warga Depok sekaligus feeder ke sarana transportasi massal seperti KRL, BRT Transjakarta, hingga MRT. Bahkan rencana ini sudah terakomodasi di Rencana Tata Ruang Wilayah 2022-2042. Namun seperti proyek infrastruktur transportasi publik lainnya, problemnya pendanaan.
Kabarnya, penjajakan sudah dilakukan Pemkot Depok dengan pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, dan sejumlah perwakilan delegasi sejumlah negara asing untuk pendanaan proyek tersebut. Dishub Depok berharap pendanaannya dapat dilakukan dengan skema jual beli kredit karbon. Transportasi umum akan mengurangi secara signifikan emisi karbon yang dihasilkan kendaraan pribadi.
Nilai yang setimpal dengan penghilangan emisi karbon tersebut yang digunakan oleh pembeli karbon untuk mendanai pembuatan infrastruktur monorel Depok. "Kita harus kreatif mencari dana," ujar Kabid Lalin Dishub Depok Marbudiantono.
Tulang punggung ketiga
Rencana mulai beroperasinya kereta ringan LRT Jabodebek pada Agustus 2022 disambut dengan antisipasi yang besar dari Pemkot Bekasi. Bekasi, adalah penyumbang kedua terbesar komuter dengan 277 ribu komuter setiap harinya ke Jakarta.
Menurut Kabid Angkutan Dishub Kota Bekasi Erwin, LRT akan menjadi tulang punggung transportasi ketiga Bekasi ke Jakarta setelah KRL di sisi utara, jalan tol di bagian tengah kota. LRT dapat fokus melayani warga Bekasi di sisi selatan yang selama ini kurang terlayani angkutan umum massal.
Bekasi akan dilayani oleh lima stasiun LRT yakni Jatibening Baru, Cikunir 1, Cikunir 2, Bekasi Barat, dan Bekasi Timur; yang juga berfungsi sebagai depo. Rencananya, meski belum ada langkah konkret, rerouting jalur angkot dan juga revitalisasi BRT Trans Patriot akan menjadi feeder untuk LRT.
"Artinya kami juga harus segera mempersiapkan jaringan feeder ke lima stasiun ini. Kalau tanpa feeder, siapa yang bisa mengakses LRT?" kata Erwin.
Melihat kesuksesan program buy the service bus rapid transit (BRT) dari BPTJ, Kota Bekasi pada 2022 ini juga ingin mendapatkan bantuan yang sama. Bahkan, DPRD Kota Bekasi telah mengeluarkan surat dukungan kepada Pemkot Bekasi untuk meminta bantuan dari BPTJ untuk merevitalisasi Bus Trans Patriot yang berada di nafas akhir.
Proporsi anggaran
Ketimpangan cakupan layanan antara Jakarta dengan wilayah penyangga sebetulnya tercermin pada anggaran perhubungan yang disediakan oleh setiap pemerintah daerah. Menurut pakar kebijakan publik Agus Pambagio, tingkat kesiapan dan keseriusan pemda dapat dilihat dari porsi anggaran sektor perhubungan yang telah disiapkan.
Total anggaran Dinas Perhubungan DKI dan PSO (public service obligation) atau subsidi transportasi pada 2020 mencapai Rp 5,4 triliun. Angka akan langsung mengerdilkan anggaran dinas perhubungan kota-kota penyangga misalnya seperti Kota Bekasi (Rp 52 miliar), Kota Depok (75 miliar), dan Kota Tangerang Selatan (Rp 23 miliar).
Namun, jika membandingkan anggaran dengan kemampuan fiskal daerah, komitmen yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta terhadap perhubungan juga lebih besar. Anggaran Dishub DKI Jakarta beserta PSO transportasi mengambil porsi hingga 14,3 persen dari pendapatan asli daerah atau PAD DKI Jakarta. Sementara proporsi anggaran perhubungan terhadap PAD di Kota Bekasi hanya 5,02 persen, Depok 6,26 persen dan Tangerang Selatan 1,54 persen.
Soal proporsi anggaran untuk transportasi publik, pemda di Bodetabek bisa berkaca pada Pemkot Semarang, yang sistem bus rapid transitnya dianggap sukses. Pemkot Semarang memberikan porsi yang signifikan dari kemampuan fiskalnya untuk anggaran transportasi publik.
Anggaran Dinas Perhubungan Kota Semarang yang termasuk untuk Badan Layanan Umum Trans Semarang mendapat Rp 252,8 miliar pada APBD Tahun 2020. Ini sekitar 13 persen dari besaran PAD Kota Semarang. Bahkan dari jumlah ini, hampir dua pertiganya (65 persen), atau sekitar Rp 164 miliar digunakan untuk operasi bus rapid transit Trans Semarang.
"Di mana pun di dunia, angkutan umum massal itu harus disubsidi. Tetapi tetap, harus dihitung apakah subsidi yang diberikan itu sudah proporsional dengan jumlah orang yang diangkut dan juga jangkauannya," kata Agus.