Opsi Beragam Transportasi Publik Meningkatkan Minat Warga
Keberadaan berbagai pilihan moda transportasi dengan tujuan yang berbeda, diyakini dapat menarik warga di Jabodetabek untuk menjadi pengguna baru angkutan umum massal.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA PRATAMA PUTRA, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·6 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga berfoto di dalam kereta ringan atau lintas rel terpadu (LRT) saat uji publik dari Stasiun Boulevard Utara, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (11/6/2019). Uji publik secara gratis ini dilakukan di lima stasiun, yakni Velodrome, Equestrian, Pulomas, Boulevard Selatan dan Boulevard Utara dengan jam operasional pukul 05.00-23.00 WIB. Kompas/Priyombodo (PRI)11-06-2019
JAKARTA, KOMPAS – Ada disparitas fasilitas angkutan umum massal yang drastis antara Jakarta dan daerah penyangganya; Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Padahal, opsi moda angkutan umum yang beragam dan memiliki berbagai tujuan yang berbeda-beda dapat menarik warga baru untuk mulai beralih dari kendaraan pribadi.
Kompas mengolah data untuk mengetahui keterjangkauan dan pilihan moda angkutan umum massal di Jabodetabek. Warga paling banyak mendapat empat pilihan moda transportasi massal yakni KRL, MRT, bus transjakarta dan mikrotrans. Tercatat masing-masing ada dua kecamatan di Jakarta Pusat (Tanah Abang dan Menteng) dan Jakarta Selatan (Setiabudi dan Kebayoran Baru) yang mempunyai empat pilihan moda transportasi massal tersebut.
Sementara ada 33 kecamatan di Jakarta yang warganya memiliki tiga dari lima pilihan moda yang tersedia (KRL, MRT, LRT, transjakarta dan mikrotrans). Rinciannya Jakarta Pusat dengan 6 kecamatan, Jakarta Selatan (7), Jakarta Timur (7), Jakarta Barat (8), dan Jakarta Utara (5). Sisanya, ada 5 kecamatan di Jakarta yang dilayani satu hingga dua opsi moda angkutan. Dengan demikian ada 79,1 persen warga Jakarta yang memiliki opsi moda angkutan umum lebih dari satu.
PANDU LAZUARDY PATRIARI
Infografik - Jumlah Pilihan Moda Transportasi Massal -Jurnalisme data
Kondisi ini sangat berbeda dibandingkan warga Bodetabek. Dari total 11,5 juta penduduk di area berkepadatan tinggi, sebanyak 73,8 persen di antaranya belum terjangkau angkutan umum massal sama sekali. Sebanyak 4,2 persen warga terlayani dua pilihan moda. Dua moda itu kombinasi antara kereta komuter (KRL), bus rapid transit (BRT) dan bus transjabodetabek. Selebihnya, ada 22 persen warga yang hanya terlayani satu pilihan moda.
Komuter
Mayoritas komuter menuju Jakarta berasal dari kota-kota penyangganya. Data survei BPS tahun 2019 menyebutkan jumlah komuter dari Bodetabek ke Jakarta mencapai 1,25 juta jiwa/hari. Sementara komuter internal penduduk Jakarta di provinsinya sendiri sebanyak 844.000 jiwa.
ROBERTUS RONY SETIAWAN
Karyawan operasional dari KCI turut membantu pelayanan di pintu masuk Stasiun Depok Baru.
Jumlah komuter Bodetabek yang jumlahnya lebih besar ini sudah seharusnya disiapkan layanan angkutan umum massal yang memadai. Seperti Kota Depok sebagai penyumbang komuter terbesar menuju Jakarta sebanyak 296.000 jiwa atau 14,7 persen dari total komuter.
Kota Depok sebenarnya sudah terlayani angkutan massal berupa KRL dan bus JRC (Jabodetabek Residence Connexion). Namun cakupan layanan angkutan umum di Depok belum memadai. Dari jumlah warga di wilayah berkepadatan tinggi di Depok (1,5 juta), hanya 21,5 persen (322.000) yang terlayani angkutan umum massal.
Begitu juga dengan Kota Bekasi, yang jumlah komuternya 11,3 persen (277.000), terbesar kedua. Akan tetapi ada 67,1 persen (1,4 juta) dari total warga Bekasi di wilayah berkepadatan tinggi yang belum terlayani angkutan massal. Mereka yang sudah terjangkau angkutan massal hanya bisa bertumpu pada KRL dan bus Transjabodetabek.
Penarik
Peneliti Senior INSTRAN Felix Iryantomo berpendapat, opsi moda angkutan umum massal yang beragam dapat mendorong warga untuk mulai meninggalkan kendaraan pribadi. “Jika supply angkutan umum bisa ditingkatkan, utamanya pada jam sibuk pagi dan sore dengan tingkat kenyamanan dan keamanan yang baik, akan merangsang para komuter memilih menggunakan angkutan umum,” jelasnya.
Seperti Danardono (40), karyawan swasta yang tinggal di Cilandak Jakarta Selatan. Adanya tiga opsi moda transportasi yang ada di Kecamatan Cilandak, menariknya untuk menjadi pengguna salah satu angkutan massal, yakni MRT menuju kantornya di kawasan Senayan. “Aku naik MRT karena tarif parkir di kantorku sangat mahal dan lebih nyaman naik MRT,” katanya.
Namun, meski tinggal di ‘hub’ tiga angkutan massal (transjakarta, MRT, mikrotrans), hanya satu moda yang dirasa cocok mengantarnya ke kantor. Hal ini karena halte transjakarta cukup jauh, dibandingkan dengan stasiun MRT. “Naik transjakarta juga effort lebih karena harus naik JPO dan tidak ada parkir di halte,” katanya.
Menurut dia, jika hanya tersedia bus transjakarta, tidak akan membuatnya meninggalkan mobil pribadi. “Justru karena ada MRT itu, aku mau naik angkutan umum,” tegasnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Gerbong kereta Moda Raya Terpadu atau MRT di Depo MRT Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (29/1/2019). PT MRT akan dibentuk perusahaan gabungan antara MRT, transjakarta, dan LRT Jakarta. Perusahaan gabungan itu yang akan mengelola integrasi tiket. Diharapkan saat MRT beroperasi pada Maret 2019, perusahaan gabungan itu juga sudah siap mendukung.
Di sisi lain, Direktur Lalulintas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Sigit Irfansyah mengatakan, opsi moda angkutan massal yang beragam menjadi penting untuk melayani daerah dengan jumlah penduduk tinggi di Jabodetabek. Selain dapat merangsang minat pengguna, moda transportasi yang beragam dengan tujuan dan titik pemberhentian yang berbeda-beda dapat melayani pengguna baru. Terlebih lagi kalau memiliki tarif yang berbeda-beda juga.
“Opsi makin banyak menjadi penting kalau memang kebutuhannya besar. Contohnya TJ (transjakarta) koridor 1 dan MRT kan berhimpitan tetapi masyarakat ada pilihan karena titik berhentinya berbeda-beda. Karena itu koridor favorit jadi masih survive,” kata Sigit.
Kepala Dinas Perhubungan Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, area yang memiliki opsi moda angkutan umum massal beragam adalah daerah pusat bisnis dan perkantoran. Area tersebut memang menerima banyak arus orang setiap harinya. “Untuk memfasilitasi mobilitas warga yang ramai ke CBD-nya Jakarta,” kata Syafrin.
Untuk daerah pinggiran yang memang opsi modanya sedikit, Syafrin mengatakan, Pemprov DKI memilih untuk meningkatkan kapasitas moda yang ada. “Di jam sibuk, kami percepat headway atau waktu tunggunya sehingga menyesuaikan dengan kepadatan orang ke pusat kegiatan,” kata Syafrin.
ALBERTUS KRISNA
Bus Transjabodetabek Jurusan CIleungsi - Pasar Senen sedang menunggu keberangkatan dari Simpang Jalan Layang Cileungsi, Jumat pagi (14/01/2022). Menempuh jarak hampir 40 km sekali jalan, bus ukuran besar ini masih menjadi opsi sebagian warga bermobilitas menuju pusat Jakarta.
Cakupan layanan angkutan massal antara DKI Jakarta dan daerah penyangganya saat ini menurut Sigit memang sangat timpang. Kota dan kabupaten yang menjadi penyangga Jakarta perlu memberikan fokus terhadap penyediaan angkutan umum di wilayah mereka. Hal ini tercerminkan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah masing-masing.
“Pernah okupansi KRL itu sampai 1,2 juta penumpang per hari dari luar Jakarta masuk. Kalau itu tidak ada, pergerakkan orang itu tadi naik apa? Mungkin sepeda motor. Angkutan massal sangat penting untuk kota-kota seperti Jabodetabek ini. Hampir semua kota besar dunia juga melakukan hal yang sama. Angkutan massal jadi backbone kota itu,” kata Sigit.
Belum Memadai
Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Eko Herwiyanto mengakui bahwa memang kondisi angkutan umum di wilayahnya belum menjadi pilihan utama warga. Padahal kapasitas jaringan jalan di Depok sudah hampir penuh, ditandai sering munculnya titik-titik kemacetan.
Kondisi angkutan umum Kota Depok yang dianggap sudah tertinggal juga dinilai berkontribusi pada keengganan warga untuk menggunakan moda transportasi umum tersebut. Eko mengatakan, Depok juga memiliki rencana untuk merevitalisasi mobil angkot Depok yang saat ini sudah dinilai buruk. Rencananya, angkot akan diwajibkan untuk memiliki pendingin udara.
Namun, rencana ini belum konkret kapan diberlakukan. Sebab, Dishub Depok juga memperpanjang usia laik jalan mobil angkot dari 15 tahun menjadi 18 tahun setelah desakan dari operator setempat.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Sejumlah angkot daring berbasis aplikasi tengah diparkirkan pemgemudinya, di dekat Jalan Raya Cut Metia, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa (8/5/2019).
Sementara itu Kota Bekasi berencana untuk perlahan menggantikan angkot dengan BRT trans patriot. Kabid Angkutan Dishub Kota Bekasi Erwin mengatakan bahwa angkot telah kehilangan relevansi dan gagal menarik warga Bekasi untuk menggunakan transportasi umum.
Erwin pun mengakui bahwa bus trans patriot juga belum menarik bagi warga Bekasi. Dari 3 koridor yang pernah berjalan, kini tinggal 1 rute yakni Harapan Indah – Terminal Bekasi. Itu pun headway-nya panjang (sekitar 15 menit) karena rute sepanjang 28 kilometer hanya dilayani oleh 9 unit bus.
Oleh karena itu, kini Pemkot Bekasi, termasuk dengan dukungan DPRD Kota Bekasi, berharap kepada BPTJ untuk bisa mendapat bantuan subsidi melalui skema BTS Teman Bus. “Jadi kami ini sedang berbenah,” kata Erwin.
HANS KRISTIAN
Infografik Cakupan Layanan Angkutan Umum Massal di Jabodetabek