Maksud Hati Mencari Pramudi, Apa Daya Dipepet Jambret
Mulanya bak tertimpa durian runtuh. Seorang pramudi bus Transjakarta blak-blakan tentang pekerjaannya. Ketika hendak menggenapi kisah, bukan pramudi yang kami jumpai, malah jambret. Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Waktu telah lewat tengah malam menuju dini hari ketika kami merasa dibuntuti. Dari spion sepeda motor, terlihat si pembuntut dalam posisi akan menyalip dengan badan condong ke kiri. Ini sepenggal kisah yang tak terlupakan pada awal Desember 2021.
Siang hari sebelum itu, saya dan Stefanus Ato yang akrab disapa Evan, sibuk meredakan perut yang keroncongan dengan melahap nasi, sayur sop, oreg tempe, ikan, dan sambal merah di warteg langganan di kawasan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat.
Saat itu, kami duduk berseberangan dengan seorang pria yang tampak khusyuk menyantap nasi telur. Dia mengenakan jaket hitam bertuliskan Transjakarta. Sontak mata kami fokus padanya.
Waktu itu PT Transjakarta sedang jadi perbincangan hangat. Sejumlah busnya terlibat kecelakaan beruntun sejak Oktober hingga Desember 2021, seperti dalam pemberitaan Kompas, Ada 502 Kecelakaan, Komisi B DPRD DKI Minta PT Transjakarta Diaudit.
”Bapak kerja di Transjakarta? Sebagai apa, Pak?” kami membuka obrolan. Lelaki berinisial M (50) ini menoleh dan tersenyum, lalu kembali ke posisi semula dan menyantap makanannya.
Gantian kami yang saling toleh dan mengernyitkan dahi. ”Apa bapak ini tidak mau diganggu, ya? Duh, sayang banget, narasumber sudah sedekat ini. Tidak perlu repot nyari jauh-jauh,” pikir kami.
Kurang dari lima menit, dia selesai makan, lalu menyeruput kopi hitam di hadapannya. Kemudian dia mengubah posisi duduknya menghadap ke arah kami.
Sekarang gantian. Dia yang memulai obrolan dengan jawaban pertanyaan yang tadi kami lontarkan. Dirinya bercerita kalau sudah satu tahun bekerja sebagai pramudi, sebutan untuk sopir, di salah satu perusahan otobus mitra Transjakarta.
Nah, ini dia kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Kami mencoba memanfaatkannya untuk menggiring obrolan. Jawabannya nanti sangat penting untuk tahu sudut pandang pramudi di balik banyaknya kecelakaan yang menimpa bus Transjakarta.
Sambil menyiapkan gawai untuk merekam obrolan, kami menawarkan rokok dan memesan segelas kopi untuk si pramudi. Tawaran ini disambut senyuman. Dia lantas mencopot tas hitam yang sudah diselempangkan di pundak.
Baca Juga: Berguru pada Seorang Loper Buta
Tas itu diletakkan di atas meja. Lalu dia membuka cerita. ”Jadi, sopir Transjakarta itu berisiko, Mas,” katanya sambil menghela napas.
Kalimatnya mengandung umpan dan mengundang tanya di benak kami. Risiko yang dimaksud lelaki asal Jawa Tengah ini sekilas tecermin dari kantong matanya yang kehitaman. Wajahnya terlihat lesu dan letih, seperti orang kurang tidur.
Rupanya, kantuk rutin menghinggapinya karena jadwal kerja yang tak beraturan. Selama satu tahun bekerja sebagai pramudi, dia sering kali masuk siang atau kebagian sif kedua. Itu berarti, dia baru pulang ke rumah saat tengah malam atau bahkan dini hari.
Padahal, pagi harinya dia sudah harus bersiap lagi untuk masuk sif satu. ”Misalnya, nih, saya masuk siang, selesai operasi pukul 22.00. Setelah itu saya harus mengantre isi bahan bakar, sering kali sampai pukul 01.00. Enggak kuat kadang-kadang,” ujarnya.
Seusai mengisi bahan bakar, bus harus dibawa kembali ke pul bus. Ini yang membuatnya baru tiba di kontrakan pukul 03.00. Padahal, ia harus kembali berangkat kerja pukul 05.00 jika mendapat sif pagi. Kisah M selengkapnya terangkum di artikel ini, Sopir Transjakarta, Satu Kemudi Beda Nasib.
Baca Juga: Gurih yang Berakhir Perih Saat Melahap Ulat Sagu
Minta lowongan kerja
Saat itu, M juga mengeluhkan penghasilannya yang minim atau lebih rendah dari upah minimum regional Jakarta. Sebelum berpisah, dia meminta nomor telepon kami dan berharap dihubungi jika sewaktu-waktu Kompas membutuhkan sopir.
Setelah mengobrol hampir setengah jam di warteg, Evan menyampaikan cerita pramudi itu kepada Mas Gesit Ariyanto, Kepala Desk Regional Kompas. Niatnya hendak berkonsultasi tentang identitas M.
Sebelumnya, M setuju ceritanya dipublikasikan dengan identitas lengkap. Ia sama sekali tidak keberatan jika terpaksanya harus diberhentikan dari tempat kerja akibat membuka ”borok” sistem kerja pramudi Transjakarta.
Namun, Evan iba dan keberatan menulis identitas M secara lengkap. Baginya, jika suatu saat M berhenti bekerja, haruslah itu atas dasar kemauannya sendiri, bukan dampak ikutan dari liputan kami. Apalagi saat itu M bilang kalau belum punya alternatif pekerjaan lain.
Obrolan Evan dan Mas Gesit saat itu berkembang tak hanya sebatas membahas identitas M. Mas Gesit memandang cerita M eksklusif, juga menarik untuk ditelusuri lebih jauh.
”Kita simpan dulu ceritanya. Sudah mulai kelihatan kenapa-nya (penyebab kecelakaan bus Transjakarta). Cari sopir lain, tanyakan atau benturkan fakta yang didapat, sama ndak-nya,” isi pesan Whatsapp dari Mas Gesit.
Baca Juga: Di Nusakambangan, Bertemu Buaya Muara hingga Ditipu Narapidana
Pertemuan dengan M bagi kami adalah keberuntungan. Tentunya tidak mudah menemukan pramudi yang mau blak-blakan dan bercerita apa adanya.
Namun, tugas belum selesai. Kami harus menyelesaikan misi untuk menemukan pramudi lain dan menggali pengalaman kerjanya.
”Sopir lain, tunggu kami akan datang!” pikir kami berdua yang merasa ketiban durian runtuh karena tak perlu bersusah payah bertemu M, narasumber pertama yang blak-blakan.
”Zonk”
Malam itu juga kami sepakat menuntaskan tugas mencari pramudi lain. Dari cerita M, diketahui kalau seusai menarik penumpang, sebagian pramudi Transjakarta akan mengantre mengisi bahan bakar gas di SPBG Coco Cililitan, Jakarta Timur.
Bayangan kami, mengobrol dengan pramudi akan lebih mudah dilakukan saat mereka antre bahan bakar. Apalagi, kalau antreannya panjang, kemungkinan obrolan akan dianggap sebagai obat pereda atau penghilang kantuk. ”Hmm, bakal antusias, nih, mereka ketika diajak ngobrol,” asumsi kami.
Pukul 22.30, dengan berboncengan sepeda motor, kami bertolak dari Palmerah Selatan menuju arah Cililitan. Saat tiba di SPBG Coco Cilitan, jam menunjukkan pukul 23.00. Tengah malam itu hanya ada dua bus Transjakarta yang mengantre.
Baca Juga: Jejak Emosi hingga Pelangi di Negeri Kopi
Rupanya jauh panggang dari api. Upaya kami mendekati pramudi gagal total. Mereka tak bersedia diwawancarai. Kami coba menunggu hingga satu jam sambil memotret keadaan di sana.
Sayangnya, seusai dua bus Transjakarta itu pergi, tidak ada lagi bus yang datang. ”Sabtu dan Minggu sepi, Mas. Bus-bus Transjakarta banyak yang tidak beroperasi. Kalau mau dapat yang antreannya banyak, datang lagi hari Senin,” kata salah satu pedagang kopi di muka SPBG.
Apes memang. Apa mau dikata, kami terlalu bersemangat tanpa mempertimbangkan operasional Transjakarta yang berkurang di akhir pekan.
Kami pun putar otak. Mubazir kalau menyerah sekarang. Sudah datang jauh-jauh, habis pula waktu ke SPBG.
Kami sepakat tak hendak balik kanan. Sebagai gantinya, kami mencari pul bus terdekat yang berlokasi di Cawang. Harapannya, bisa bertemu pramudi yang mungkin saja baru masuk atau sedang beristirahat di pul.
Baca Juga: Dari Susah Sinyal sampai Sandal yang Tertukar
Nyaris dijambret
Saya membuka Google Maps di gawai untuk mencari rute dari SPBG menuju pul bus Transjakarta di Cawang. Jaraknya kurang lebih 3 kilometer atau 7 menit berkendara.
Rute jalanan di peta berwarna biru. Artinya, waktu tempuh bakal lebih cepat karena jalanan tidak ramai oleh lalu lalang kendaraan.
”Let’s go!” Kami pun meluncur ke pul bus sesuai arahan peta di gawai yang saya genggam dengan tangan kanan sambil membonceng. Perjalanan tengah malam menuju dini hari itu diselingi obrolan ringan tentang banyak hal di luar liputan.
Setelah jalan lurus yang berakhir dengan putar balik, peta digital mengarahkan kami masuk ke permukiman penduduk.
Suasananya sepi. Rumah warga terkunci rapat. Sebagian lampu dipadamkan dan hanya ada segelintir orang yang masih kongko-kongko. Jumlah kendaraan yang melintas pun bisa dihitung jari.
Semakin ke ujung permukiman, suasana kian sepi dan gelap. Permukiman itu berakhir di pertigaan jalan. Kami tengah belok ke kanan ketika lewat spion, mata Evan menangkap kemunculan dua orang yang juga berboncengan. Mereka mengikuti kami. Ketika sepeda motor memelan, mereka juga memelankan laju kendaraannya.
Baca Juga: Lima Jam yang Menentukan Seusai Erupsi Semeru
Dari spion terlihat, si pembuntut dalam posisi akan menyalip. Posisi badannya condong ke kiri. ”Simpan HP. Masukkan ke saku. Mereka mengikuti kita,” bisik Evan.
Secepat mungkin saya masukkan gawai ke saku. Dari ekor mata, terlihat jarak si pembuntut cukup dekat. Kurang lebih 1-1,5 meter.
Jantung berdegup cepat. Pikiran sudah tak karuan. Bisa-bisa dini hari itu kami kehilangan gawai, sepeda motor, dompet, atau bahkan semuanya.
Namun, tidak terlintas niat untuk melawan karena khawatir mereka membawa senjata tajam. Yang kami pikirkan hanyalah bisa pulang dengan selamat, tak terluka sedikit pun.
Evan lalu menghentikan laju kendaraan selama beberapa saat. Matanya terus menatap spion, memperhatikan pembuntut yang juga berhenti.
Satu, dua, tiga menit berlalu. Mereka akhirnya berbalik arah, meninggalkan kami. Fiuh....
Kami agak sulit menggambarkan postur si pembuntut karena tidak begitu jelas terlihat akibat kurangnya pencahayaan di lokasi mereka yang kanan kirinya penuh pepohonan dan ada pembatas jalan.
Sekilas keduanya terlihat seperti anak sekolah. Tapi tetap saja, anak sekolah kalau bersenjata tajam tentu amat berbahaya. Apalagi kalau yang dibawa senjata tajam hasil modifikasi dari besi, seng, gir, atau lainnya dengan bentuk dan ukuran yang tidak wajar.
Kami masih tetap diam di situ. Suasana sunyi dan sepi, tidak ada kendaraan lain melintas. ”Balik kanan. Cari aman. Hampir jadi berita, nih,” kata Evan setengah bercanda.
Maksudnya, seandainya gawai saya dijambret, otomatis akan jadi bahan berita yang akan ditulisnya di pagi hari. ”Wartawan Kompas Dijambret Tengah Malam Ketika Mencari Narasumber”, begitu judul yang terlintas di benak.
”Situasi genting sempat-sempatnya mikirin berita,” kata saya terkekeh. Tidak terasa perkataan Evan bisa meredakan ketegangan beberapa menit sebelumnya.
Tanpa pikir panjang, kami sepakat balik kanan. Situasi sudah tidak kondusif. Bukannya meliput, bisa-bisa malah kami yang diliput oleh sesama wartawan. Enggak lucu, kan.
Saya kembali mengeluarkan gawai untuk memastikan posisi. Rupanya jalur yang kami lalui itu jika kemudian belok kiri akan menuju kawasan Halim Perdanakusuma atau menuju Cawang jika belok kanan.
Gawai segera saya kantongi kembali setelah memahami rute pulang ke Palmerah Selatan. Tidak pakai ba bi bu, kami langsung tancap gas meninggalkan kawasan tersebut.
Sepanjang perjalanan pulang, kami menjadi lebih awas terhadap situasi di sekitar. Amit-amit, jangan sampai ketemu penjahat jalanan dan jadi korban kejahatan.
Untuk mengendurkan urat saraf, kami mengobrol seputar kejadian yang baru dialami. Beribu syukur, kami tidak menjadi korban dan tidak menjadi berita yang ditulis teman sendiri.
Rasanya serba salah saat dibuntuti penjahat jalanan tadi. Hendak kabur, tetapi tidak hafal lokasi sekitar. Mau melawan, khawatir si pembuntut bersenjata tajam. Bisa-bisa, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah harta dijambret, badan pun terluka.
Semoga pengalaman serupa tidak terulang. Kepada pengguna jalan, harap utamakan kewaspadaan terutama ketika melewati lokasi yang sepi di malam hari. Untuk penegak hukum agar mengoptimalkan patroli perintis presisinya, terutama di area-area rawan kejahatan.