Kota Bogor menduduki peringkat ke-5 kota termacet di Indonesia dan peringkat ke-821 kota termacet di dunia. Kemacetan membuat para pengendara kehilangan waktu 7 jam per tahun.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Analisis Global Traffic Scorecard 2021 yang dilakukan INRIX menempatkan Kota Bogor dalam peringkat kelima kota termacet di Indonesia. Pemerintah Kota Bogor menjadikan analisis itu sebagai bahan evaluasi untuk membenahi infrastruktur dan fasilitas pendukung lain, seperti transportasi massal dan percepatan pembangunan infrastruktur pendukung.
Dalam penelitian Global Traffic Scorecard 2021, INRIX mengidentifikasi beberapa area perjalanan di dalam kota dan menangkap profil mobilitas lalu lintas di kota-kota. Dari data lalu lintas di sub-area perjalanan, Kota Surabaya tercatat sebagai kota termacet di Indonesia. Surabaya juga tercatat pada peringkat ke-41 kota termacet di dunia.
Akibat kemacetan di kota itu, para pengendara kehilangan waktu 62 jam dalam setahun. Persentase jumlah waktu terbuang akibat kemacetan di Surabaya meningkat 72 persen.
Sementara itu, Jakarta berada pada peringkat kedua kota termacet di Indonesia dan peringkat ke-222 kota termacet di dunia. Orang-orang di Jakarta kehilangan 28 jam per tahun akibat kemacetan.
Selanjutnya, peringkat ketiga yaitu Denpasar dan peringkat ke-291 kota termacet di dunia. Kemacetan di kota itu membuat para pengendara kehilangan waktu 31 jam per tahun. Meski waktu kehilangan lebih tinggi dari Jakarta, persentase jam terbuang selama 2021 di Bali berkurang 48 persen. Di Jakarta memiliki persentase jam terbuang berkurang 81 persen.
Peringkat keempat yaitu Malang dan peringkat ke-334 kota termacet di dunia. Kemacetan membuat para pengendara di Malang kehilangan waktu 29 jam. Persentase kehilangan waktu berkurang 49 persen.
Adapun Kota Bogor menduduki peringkat kelima kota termacet di Indonesia dan peringkat ke-821 kota termacet di dunia. Kemacetan membuat para pengendara kehilangan waktu 7 jam per tahun. Persentase kehilangan waktu berkurang 224 persen.
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto saat ditemui di Balai Kota Bogor mengatakan, penelitian Global Traffic Scorecard 2021 menjadi bahan evaluasi Pemerintah Kota Bogor untuk membenahi infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya, seperti transportasi massal, sehingga meningkatkan pelayanan publik.
Penelitian serupa sebelumnya pernah dilakukan oleh Waze pada 2016. Saat itu Kota Bogor pernah dinobatkan sebagai salah satu kota termacet di dunia.
Jika merujuk dua penelitian itu, kata Bima, ada peningkatan perbaikan dari tingkat kemacetan. Pihaknya terus berupaya menata transportasi yang terintegrasi, seperti mereformasi angkutan kota menjadi bus atau konversi angkot baru.
”Ini tentu menjadi evaluasi kami. Perlu kerja sama dengan pemerintah pusat agar kemacetan terus berkurang. Sejumlah kebijakan pun sudah berjalan, seperti BTS melalui BisKita, jalur sepeda, trotoar, dan kami pun terus mempercepat konversi angkot, serta Alun-alun Kota Bogor yang menjadi pusat integrasi transportasi,” ujar Bima.
Bima mencatat ada permasalahan yang menyebabkan Kota Bogor macet. Sebagai kota tujuan wisata, pada akhir pekan kendaraan dari luar kota memadati lalu lintas Kota Bogor seperti di seputar sistem satu arah (SSA) Kebun Raya Bogor.
Catatan lainnya yang juga dibahas bersama Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yaitu masuknya kendaraan bertonase berat atau truk-truk besar, pengaturan angkutan kota masuk ke Kota Bogor, percepatan TOD Sukaresmi. Selain itu, percepat pembangunan infrastruktur jalan alternatif seperti Bogor outer ring road (BOR), Bogor inner ring road (BIR), dan jalan regional ring road (R3).
Percepatan pembangunan infrastruktur itu supaya menjadi simpul dan saling menyambung sehingga memberikan dampak pada pengurangan kemacetan.
”Ada banyak yang harus dibenahi. Perlu juga kesadaran bertransportasi massal. Push dan full strategi kebijaakan antara pusat dan daerah,” katanya.
Bima berharap dengan kerja sama dan kebijakan penataan yang terus didorong saat ini, nantinya Kota Bogor bisa menduduki peringkat semakin baik terkait kemacetan. ”Arah kita tidak hanya kemacetan berkurang dan Kota Bogor bersih atau emisi karbon berkurang. Namun, juga 2024 targetnya zero angkot di pusat kota. Transportasi publik terintegrasi,” ujarnya.
Menurut pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, pembenahan transportasi publik di kota Indonesia seharusnya menjadi kebutuhan dasar dan program utama setiap kepala daerah untuk menciptakan daya dukung lingkungan dan masyarakat hingga permasalahan kemacetan.
Dukungan dan konsistensi bantuan layanan transportasi publik berkelanjutan dari pemerintah pusat, seperti program skema buy the service (BTS), tidak cukup untuk mengatasi kemacetan tanpa ada dukungan kebijakan dari pemerintah daerah.
”Pertama, BTS ini harus terus berjalan dan berkelanjutan. Seperti BisKita jangan berhenti, tetap harus berjalan. Kedua, pemda dapat melakukan kebijakan strategis seperti tarif parkir mahal atau tarif parkir progresif, dan kebijakan ganjil genap,” ujarnya.
Menurut Djoko, pemda dan pusat harus saling berkoordinasi menetapkan kebijakan strategis. Pemda tidak bisa berjalan sendiri, begitu pula sebaliknya.