Tarif kereta komuter belum mengalami penyesuaian tarif sejak 2015, sementara angka PSO pemerintah terus meningkat sehingga diusulkan ada penyesuaian tarif yang dihitung dengan survei dari aspek ATP dan WTP penumpang.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada 2022 tarif kereta komuter Jabodetabek direncanakan akan naik. Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan masih mengumpulkan berbagai masukan dengan adanya tiga survei kemampuan membayar (ATP) dan kemauan membayar (WTP). Secara umum, tarif lama Rp 3.000 pada 25 km pertama, akan naik menjadi Rp 5.000.
Pelaksana Tugas (Plt) Kasubdirektorat Penataan dan Pengembangan Jaringan Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Ditjen Perkeretaapian Kemenhub Arif Anwar dalam webinar yang digelar Institut Studi Transportasi (Instran) bertema Pelayanan Baru dan Penyesuaian Tarif Commuterline, Rabu (12/1/2022), menjelaskan, sejak 2015 sampai hari ini belum ada perubahan tarif kereta komuter.
Dari penetapan tarif pada 2015, untuk 1 kilometer pertama sampai dengan 25 km pertama, diberlakukan tarif Rp 3.000. Untuk 10 km berikutnya dan berlaku kelipatan, penambahan tarif adalah Rp 1.000.
Dengan penetapan tarif sebesar itu, angka subsidi pemerintah terhadap tarif kereta komuter cukup besar. Apabila pada 2017 pemerintah mengalokasikan Rp 1,2 triliun untuk subsidi PSO, pada 2021 angka subsidi Rp 1,9 triliun.
Dalam penetapan tarif angkutan untuk pelayanan kelas ekonomi, jelas Arif, ditetapkan oleh pemerintah jika penetapan tarif oleh pemerintah lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh penyelenggara sarana perkeretaapian. Selisihnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam bentuk kewajiban pelayanan publik.
Adapun untuk menetapkan tarif, pemerintah akan melihat kemampuan dan kemauan masyarakat membayar tarif. Survei yang dilakukan Ditjen Perkeretaapian terhadap kenaikan tarif, disebut Arif, merupakan hasil kajian pada pengguna kereta api perkotaan pada lintas Jabodetabek.
Dalam survei, jelas Arif, tim melihat profil pengguna lintas Bogor, Bekasi, Serpong, dan Tangerang. Profil yang dilihat utamanya upah minimum, perkiraan jarak tempuh rata-rata, kemampuan membayar, dan kemauan membayar. Secara rata-rata diperoleh rerata kemampuan membayar Rp 8.486 dan rerata kemauan membayar Rp 4.625.
Kemudian dalam usulan rekomendasi perhitungannya, DJKA mengusulkan tarif Rp 5.000 untuk 25 km pertama. Lalu setiap penambahan 10 km berikutnya, tarif bertambah Rp 1.000.
Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dalam diskusi daring, itu juga menyampaikan hasil survei YLKI. Dari survei, YLKI merekomendasikan skenario kenaikan tarif yang sama dengan survei Ditjen Perkeretaapian, pada 25 km pertama menjadi Rp 5.000.
Survei ketiga dari Pusjaka Balitbang Perhubungan juga menyebutkan angka yang mirip. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kemampuan membayar di 25 km pertama adalah Rp 4.988 dan kemauan membayar di 10 km berikutnya adalah Rp 2.125.
Hasil perhitungan itu kemudian ditemukan dengan reponden yang merespons, iya dan tidak. Dari sana didapati titik potong penyesuaian tarif di 25 km pertama sekitar Rp 5.400. Artinya, responden pengguna KRL masih mempunyai keinginan membayar hingga tarif Rp 5.400 pada 25 km pertama. Sementara dari hasil perhitungan kemampuan membayar di 25 km pertama adalah Rp 4.438 dan kemauan membayar di 10 km berikutnya adalah Rp 1.775.
Dari webinar tersebut, Wawan Ariyanto, Direktur Operasi dan Pemasaran KAI Commuter, menyatakan, KRL terus melakukan peningkatan layanan demi keselamatan pengguna. Baik sebelum pandemi maupun sekarang saat pandemi Covid-19.
”Dengan berbagai peningkatan layanan yang ada, tarif KRL belum pernah naik sejak 2016. Kemudian, dibandingkan dengan moda transportasi massal lainnya, tarif KRL termasuk yang paling murah,” jelasnya.
Arif dalam paparan Ditjen Perkeretaapian mengatakan, dengan pengoperasian KRL Jabodetabek belum pernah melakukan penyesuaian tarif sejak 2015, sesuai dengan hasil kajian Ditjen Perkeretaapian, usulan penyesuaian tarif KRL mulai 1 April 2022.