Sidang Ditunda, Kuasa Hukum Minta ”Bruder Angelo” Dihukum Berat
Selain berharap hukuman berat, kuasa hukum juga akan mengajukan hak restitusi yang harus dibayar pelaku kepada korban. Laporan hak restitusi akan dilakukan langsung ke pihak Pengadilan Negeri Depok.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Sidang pembacaan putusan pengadilan terhadap Lukas Lucky Ngalngola alias ”Bruder Angelo” di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Kamis (13/1/2022) ditunda Minggu depan. Kuasa hukum korban berharap majelis hakim memberikan hukuman maksimal kepada predator seksual terhadap anak.
Sidang yang molor sekitar tiga jam itu dipimpin oleh Hakim Ketua Ahmad Fadil dan dua hakim anggota Fausi dan Andi Musyafir. Sementara terdakwa Lukas Lucky Ngalngola hadir melalui siaran langsung dari Rumah Tahanan kelas 1 Cilodong.
Hakim Ketua Ahmad Fadil bersama dua hakim anggota memutuskan menunda pembacaan putusan hukuman kepada Lukas Lucky Ngalngoda, karena masih akan mempelajari dan belum selesai bermusyawarah bersama terkait putusan hukuman.
”Majelis hakim mohon maaf. Majelis hakim belum rampung dalam musyawarah putusan ini. Hari ini belum bisa membacakan putusan dan sidang dilanjutkan minggu depan, Kamis (20/1/2022). Sidang ini kami putuskan ditunda,” kata hakim ketua mengetuk palu.
Pendamping sekaligus kuasa hukum korban Ermelina Singereta mengatakan, menghormati putusan majelis hakim yang menunda putusan hukuman terhadap predator seksual Bruder Angelo kepada anak-anak di Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani.
Ia berharap pada sidang minggu depan, majelis hakim bisa memutuskan atau menjatuhkan putusan hukuman lebih dari tuntutan jaksa penuntut umum, yaitu 14 tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta. Hukuman itu berdasarkan sidang sebelumnya yang mendakwa pelaku dengan Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak.
Kami menolak hukuman mati, tapi paling kurang ada hukuman yang maksimal dan hukuman tambahan.
Ia mengharapkan majelis hakim memiliki terobosan putusan dengan menggunakan UU No 16/2017 tentang perubahan kedua UU No 23/2004 tentang Perlindungan Anak.
”Ada pemberatan hukuman di situ. Kami menolak hukuman mati, tapi paling kurang ada hukuman yang maksimal dan hukuman tambahan,” kata perempuan yang akrab disapa Erna itu.
Alasan hukuman pemberat itu, lanjut Erna, karena pelaku merupakan seorang pengasuh dan diduga seorang biarawan.
Kuasa hukum korban Judianto Simanjuntak menambahkan, penambahan hukuman juga karena relasi kuasa yang dimanfaatkan oleh pelaku sebagai pengasuh panti asuhan.
Pelaku seharusnya mendidik, mengasuh, dan menjadi pelindung yang baik. Namun, pelaku menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan tindakan tak bermoral kepada anak yang tidak berdaya. Pelaku sudah melakukan tindak kekerasan seksual itu lebih dari satu kali dan di lebih dari satu lokasi kejadian.
”Semoga minggu depan majelis hakim bisa memberikan hukuman yang adil. Harapan kita hukuman seberatnya. Kalaupun tidak melebihi 14 tahun, paling tidak 14 tahun sesuai tuntutan jaksa penuntut umum,” ujar Judianto.
Erna menambahkan, pihaknya juga akan mengajukan hak restitusi yang harus dibayar pelaku kepada korban. Laporan hak restitusi akan dilakukan langsung ke pihak Pengadilan Negeri Depok.
”Restitusi masih proses. Fokus kami dari awal mendampingi dan melakukan pemulihan kepada para korban. Akhirnya memang kami sepakat untuk gugatan restitusinya. Nanti akan kita ajukan tersendiri,” lanjut Erna.
Ketegasan gereja
Maria Yohanista Djou dari Kelompok Perempuan Katolik Pegiat Hak Asasi Manusia mengatakan, kasus kekerasan seksual kepada anak dan perempuan harus terus dikawal tidak hanya saat persidangan, tetapi juga di luar persidangan khususnya upaya perlindungan kepada korban.
Jangan sampai isu kekerasan seksual hanya keras atau disorot ketika saat ada kasus terkuak. Justru perlindungaan sejak dini juga harus kuat agar meminimalkan tindakan kekerasan.
”Kita tidak bisa melihat ini per kasus saja. Tidak hanya kasus Bruder Angelo, tetapi juga kasus kekerasan lainnya. Oleh karena itu, perlu ada perhatian khusus agar tidak ada kasus serupa. Perlindungan justru harus sejak dini,” kata Maria.
Menurut Maria, Gereja Katolik mendukung upaya perlindungan anak dan perempuan, terlebih kepada korban. Dibukanya berbagai kasus kekerasan seksual ke ranah hukum seperti kasus Bruder Angelo menjadi nilai positif bahwa Gereja terus bergerak dan serius melindungi anak-anak dan perempuan.
”Keuskupan Agung Jakarta sudah merilis protokol perlindungan anak dan perempuan rentan. Ini untuk melindungi mereka. Ini pekerjaan rumah untuk seluruh Gereja, Paroki, dan umat juga untuk memiliki perspektif yang sama terkait protokol itu agar berpihak kepada korban, ujarnya.
Di ranah praktis atau di lapangan, lanjut Maria, tak sepenuhnya ideal seperti dalam kebijakan. Sisi praktis ini yang perlu terus diperkuat. Gereja harus berdiri dan berposisi tegas dan berani menyuarakan protokol perlindungan anak dan perempuan.
”Meski saat ini sudah banyak progres, kami merasa Gereja masih terlalu hati-hati dan belum sepenuhnya pihak Gereja tegas dalam hal kekerasan seksual kepada korban. Paus Fransiskus tegas menyuarakan hal ini. Sekarang kita pun harus tegas, Gereja harus tegas,” ujarnya.
Menurut Maria, tidak hanya mengerucut kepada Gereja Katolik, tetapi juga kepada semua lembaga keagamaan dan organisasi lain harus menjadi rumah perlindungan yang aman dan ramah bagi anak.
Termasuk juga negara harus hadir karena memiliki tanggung jawab dan memiliki peran penting dalam hal kebijakan yang semestinya berpihak kepada anak dan perempuan serta korban dari tindak segala kekerasan.
”Kebijakan terkait perlindungan anak dan perempuan harus kuat secara hukum. Proses hukum yang berpihak kepada korban tidak dipersulit. Hadirkan perspektif pendekatan anak dan perempuan. Kasus kekerasan seksual perlu penanganan hukum yang berpihak kepada korban,” katanya.