Gerakan mengolah sampah yang dikerjakan secara mandiri oleh komunitas warga menjadi penting dalam rangka menebar kesadaran tentang memberlakukan sampah secara lebih terhormat.
Oleh
Putu Fajar Arcana/Soelastri Soekirno/Susie Berindra
·5 menit baca
Sampah hampir selalu dianggap sumber masalah. Selain berbau busuk, juga berkesan jorok atau bahkan menjijikkan. Sebelum menjadi sumber masalah lingkungan dan sosial yang lebih rumit, sekelompok orang bergerak secara mandiri untuk mengubah citra sampah, dari kebusukan menjadi sumber pendapatan.
I Made Janur Yasa sudah lama geram terhadap perilaku dalam membuang sampah. Kegeraman itu bukan tanpa alasan, selain warga yang membuang sampah sembarangan, tata kelola sampah juga cuma memindahkan masalah. Sistem pembuangan sampah dari rumah tangga ke tempat pembuangan sementara (TPS), dan kemudian ke tempat pembuangan akhir (TPA), menurut dia, tak akan mampu menyelesaikan masalah sampah.
”Suatu saat TPA tidak akan mampu menampung sampah yang mengalir setiap hari,” kata Janur Yasa, Kamis (6/1/2022), dari Boston, Amerika Serikat.
Pada Mei 2020, ia mencoba satu sistem pengelolaan sampah di desa kelahirannya, yakni Banjar Jangkahan, Desa Batuaji, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, Bali. Janur meminta beberapa warga mengumpulkan sampah plastik untuk ditukar dengan beras. Syaratnya, pengumpulan harus dimulai dari rumah sendiri, setelah itu barulah merambah ke lingkungan terdekat. Dalam waktu tiga hari, katanya, ia telah berhasil mengumpulkan 500 kilogram (kg) sampah plastik. ”Saya menyalurkan 600 kilogram beras,” kata Janur Yasa.
Secara cepat pula 70 keluarga di desanya terlibat dalam pengumpulan sampah plastik. Gerakan ini kemudian menginspirasi Janur untuk membangun lembaga bernama Plastic Exchange. Kini, katanya, lembaga ini telah merambah sampai 200 banjar, dengan kira-kira memobilisasi 15.000 keluarga. Banjar-banjar tersebar dari Tabanan sampai Ubud, di mana Janur dan keluarga menetap.
Sejak dimulai 2020, gerakan Plastic Exchange telah berhasil mengumpulkan 700 ton sampah plastik. Janur kemudian menyalurkan sampah itu kepada para pengepul untuk didaur ulang menjadi produk baru. ”Intinya membangun kesadaran dan mengubah kebiasaan dalam memperlakukan sampah. Perilaku memilah harus dimulai dari rumah.”
Artomo (75) setidaknya membutuhkan waktu lima tahun untuk membangun kesadaran warga akan pentingnya pengelolaan sampah. Ia mendirikan Akademi Kompos (Akkom) di Perumahan Bumi Pesanggrahan Mas, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Sampah anorganik dan organik diubah menjadi berkah. Seluruh warga bisa menjual sampah di rumah masing-masing. Koran bekas, kardus, plastik, besi, aluminium sampai minyak jelantah malah menghasilkan uang.
Bank sampah
Meski bernama Akkom, sebenarnya banyak kegiatan dilakukan di komunitas yang diinisiasi oleh Artomo, warga senior di perumahan tersebut. Selain membuat kompos dari sampah daun kering, Akkom juga punya bank sampah. Kegiatannya menampung sampah anorganik untuk dijual lagi kepada pengepul. Walau demikian, tak ada tumpukan sampah di sana, sebab pengurus mengatur semua barang setoran dari nasabah, hari itu juga diambil pengepul. Berkunjung ke Akkom serasa datang ke sebuah taman kecil penuh dengan sayuran, tanaman obat serta bunga dan ikan peliharaan.
Jenis kegiatannya kini bertambah banyak. Pengurus Akkom menyulap lahan kosong seluas 400 meter persegi sebagai tempat penerimaan sampah anorganik, dari membuat kompos, kolam ikan lele dan nila, penanaman aneka sayur secara hidroponik sampai tanaman obat. Hasil panen sayuran dan ikan dijual kepada warga dan masyarakat umum.
Lele yang diternakkan di kolam berukuran 2,5 meter x 2,5 meter per empat bulan bisa menghasilkan tak kurang dari 18 kg dengan harga jual Rp 40.000 per kg. Ada pula peminjaman uang dengan angsuran setoran sampah anorganik, pelatihan membuat barang dari barang bekas dan pelatihan pertanian secara hidroponik.
”Untuk peminjaman uang, kami berikan selektif kepada nasabah bank sampah. Sementara untuk pelatihan, kami melayani perseorangan dan rombongan,” kata Ketua Akkom Utami Prayogo, Jumat (7/1) di kantor Akkom.
Menurut Utami, nasabah Akkom adalah warga yang menyetorkan sampah anorganik dan minyak jelantah. Setoran mereka setelah dihitung rupiahnya, tak langsung diterimakan kepada nasabah melainkan disimpan sebagai tabungan.
Jumlah nasabah Akkom sebelum pandemi mencapai 600-an orang, tetapi saat ini yang aktif tinggal sekitar 200-an orang. Mereka biasanya menyetor sampah setiap Jumat sesuai waktu yang ditentukan. Setelah beberapa tahun, Akkom mulai dikenal warga di luar kompleks perumahan. ”Mereka ingin membuat bank sampah seperti ini, tetapi sayangnya niat itu tak mendapat dukungan pengurus RT dan RW tempatnya tinggal. Akhirnya, mereka membawa sampah dari rumah mereka ke sini,” kata Utami.
Lasmiyatun (63), warga kompleks Deplu di Larangan, Kota Tangerang, misalnya, sudah lama setia menyetorkan sampah yang bisa didaur ulang ke Akkom. Ia mengambil uang tabungan jika ada kebutuhan mendadak. ”Misalnya anak bungsu saya yang masih sekolah minta dibelikan kebutuhan sekolah, harganya Rp 350.000, saya ambilkan tabungan Rp 400.000. Sisanya biar di tabungan saja,” ujarnya.
Berawal dari keprihatinannya melihat persoalan sampah yang pelik, sejak 2018, Helda Fachri merintis Bank Sampah Jaya Danakirti. Dia bergerak mengumpulkan dan memilah sampah untuk disetor kepada pelapak. ”Perilaku masyarakat kita masih mengandalkan metode konvensional membuang sampah, yaitu sistem kumpul, angkut, buang, dalam kondisi tercampur ke TPA,” kata Helda.
Untuk itulah, tak kenal lelah, dia berkeliling di sekitar Tangerang Selatan, Banten, mengajak masyarakat mau memilah sampah dan mendirikan bank sampah.
Saat berbicara tentang bank sampah, Helda selalu bersemangat. Awalnya dia tertarik dengan bank sampah dari kebiasaan memilah sampah saat tinggal di Australia. Ketika kembali ke Surabaya dan kemudian pindah ke Tangerang Selatan, ia risi melihat semua jenis sampah dicampur.
”Hingga kini, saya sudah mengedukasi 60-an komunitas, sedangkan yang masih bertahan menjalankan bank sampah kurang lebih 40 komunitas di sekitar BSD, Bintaro, dan sekitar Kabupaten Tangerang,” kata Helda, Kamis (6/1/2022).
Bank sampah juga dipilih sebagai metode pengelolaan sampah oleh warga di kawasan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Warga menyebut gerakan mereka sebagai Bank Sampah Hijau Selaras Mandiri, karena memang ini muncul sebagai inisiatif warga.
Gerakan yang dikerjakan secara mandiri oleh komunitas warga dan orang per orang ini, menjadi penting dalam rangka menebar kesadaran tentang memberlakukan sampah secara lebih terhormat.