Menutup 2021, Leonardo DiCaprio dan Jennifer Lawrence mengajak penonton terbahak getir lewat “Don’t Look Up”. Di balik guyonan gelap itu, publik disindir agar bernas menyaring informasi demi keselamatan sesama manusia.
Oleh
neli triana
·5 menit baca
Kompas
Didie SW
Sepanjang dua tahun pandemi Covid-19 melanda seluruh penjuru Bumi, kebisingan informasi yang menerjang 24 jam setiap hari kian membuat semua orang kewalahan. Semakin terpapar internet, banjir informasi itu semakin ganas menerpa. Jika tidak piawai memilah fakta dan data sahih di antara banjir hoaks ataupun berita pelintiran, siapa saja rentan terseret arus lalu mengambil keputusan yang salah.
Gambaran itu disuguhkan dengan vulgar dan kocak dalam ”Don’t Look Up” yang tayang di kanal televisi digital Netflix mulai Desember 2021. Alih-alih SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, film ini memilih menghadirkan komet raksasa sebagai obyek yang mengancam keselamatan seluruh makhluk hidup di planet ini.
Dikisahkan, Kate Dibiasky, kandidat doktor astronomi dari kampus kurang terkenal di Amerika Serikat, menemukan komet baru saat pengamatan luar angkasa. Rasa senang menemukan komet baru berangsur berubah menjadi mimpi buruk ketika Dibiasky yang diperankan Jennifer Lawrence menyadari benda angkasa itu bergerak menuju ke Bumi.
Bersama profesornya, Randall Mindy (Leonardo DiCaprio), Dibiasky berkali-kali memastikan dan menghitung ulang lintasan komet. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar enam bulan ke depan, komet berdiameter 5-10 kilometer itu akan menggempur Bumi. Dampaknya tidak main-main, peristiwa itu akan memicu gempa dan gelombang tsunami yang akan menghancurkan planet biru tempat lebih dari 7 miliar manusia hidup bersama makhluk hidup lainnya.
KOMPAS/WIKIMEDIA COMMONS
Ilustrasi artis yang menggambarkan badai meteor Leonid di Amerika Utara pada 12-13 November 1833 malam. Ilustrasi ini diambil buku Bilderatlas der Sternenwelt karya Edmund WeiB tahun 1888.
Buru-buru kedua ilmuwan itu melapor kepada Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA). Dari sana, mereka dibawa menghadap Presiden Amerika Serikat. Presiden Orlean (Meryl Streep) mencibir, memilih tidak terburu-buru demi menilai ulang dengan menggandeng ilmuwan dari kampus-kampus ternama. Presiden lebih bernafsu memastikan kegiatan politik guna menjamin ia dan kroninya tetap menguasai negeri tetap berlangsung sesuai jadwal.
Para ilmuwan kemudian berpaling pada media. Mereka disambut baik dan ulasan mendalam dipublikasikan di media cetak diikuti talk show di salah satu acara televisi paling populer. Dibiasky dan Mindy memaparkan temuannya dalam beberapa menit saja setelah bintang tamu lain, seorang selebritas paling terkenal, tampil mengharu biru khalayak di negara adidaya AS versi khayali itu.
Jangan sembunyikan fakta itu atau memalingkan muka karena dalam sekejap kita justru bisa tergulung oleh sapuan bencana. (Brian Cox).
Cerita yang dijalin tokoh-tokoh rekaan dalam film besutan Adam McKay ini kemudian mengalir memaparkan berbagai sisi kehidupan sosial yang terasa begitu dekat dengan kondisi riil saat ini. Film bertabur bintang tersebut turut menyorot media massa arus utama yang seringkali ikut arus tren media sosial semata.
Ada satu adegan ketika di hadapan para petinggi sebuah perusahaan media massa, spesialis media sosial memaparkan kisah selebritas yang rujuk kembali dengan kekasihnya merajai peringkat traffic keterbacaan ataupun yang paling banyak dilihat pemirsa layar kaca. Informasi berdasarkan riset dari kedua astronom ternyata tidak mampu merebut perhatian publik, apalagi menggugah mereka untuk mendesak pemerintah mencari solusi jitu atas isu tersebut. Pihak media massa pun tidak mampu dan terkesan tidak berhasrat berbuat lebih jauh untuk menyikapi kondisi tersebut.
Orlean, mengatasnamakan pemerintah, pada akhirnya mau menaruh perhatian pada isu petaka komet demi menutupi skandal yang menimpa kehidupan pribadinya. Akan tetapi, keterlibatan pemegang modal dan kaum paling berpunya membelokkan kebijakan yang diambil pemerintah. Upaya menghancurkan komet di luar angkasa dengan menembakkan misil nuklir yang berpeluang berhasil lebih besar menyelamatkan seisi planet justru digagalkan.
Ilmuwan sekaligus pengusaha terkaya di dunia secara sepihak memutuskan mencacah komet menjadi potongan-potongan kecil dengan alat penghancur ciptaannya. Potongan komet akan tetap jatuh ke Bumi, tetapi tidak memicu kerusakan berarti. Ini demi satu tujuan, yaitu menambang batu angkasa yang mengandung rupa-rupa mineral berharga demi kepentingan bisnisnya. Namun, strategi ini tidak disertai jaminan keberhasilan.
Iming-iming mineral bernilai tinggi dan melanjutkan tampuk kekuasaan membutakan hati penguasa dan pemodal. Masyarakat yang enggan menggali kebenaran hakiki pun terbelah. Banyak yang terhanyut mendukung kampanye ”Don’t Look Up”. Gerakan yang didukung orang-orang penting itu meminta warga tak usah peduli pada informasi tentang komet akan melabrak Bumi.
Di pihak berseberangan, Dibiasky dan Mindy bersama segelintir orang berupaya terus menggemakan kesadaran untuk melihat ke atas, ke langit. Tak lain, karena faktanya semakin hari kian nyata terlihat komet terang benderang itu mendekati Bumi.
Perpecahan di tengah masyarakat meruncing antara yang memakai akal sehat dan nalar melawan para pengingkar sains. Pada akhirnya, kerugian terbesar ditanggung kedua belah pihak. Mereka yang berkuasa dan sedari awal memutarbalikkan fakta demi kepentingannya lolos dengan berbagai cara. Namun, alam tetap dapat memangsa balik siapa saja yang meremehkan kekuatannya.
Pesan dari benda langit
Pencinta film sebenarnya sudah akrab dengan plot cerita fiksi sains tabrakan Bumi dan benda angkasa atau kebencanaan lain. Tentunya masih ingat, kan, dengan Deep Impact (1998) dan Armageddon (1998) yang begitu termashyur.
Profesor Brian Cox, ahli fisika partikel dari Universitas Manchester, Inggris, berkomentar bahwa komet yang menabrak Bumi seperti di ”Don’t Look Up” ataupun film serupa lain memang dapat terjadi. Di NASA, bahkan ada divisi tersendiri yang bertugas mengawasi benda langit dan kemungkinan ancamannya terhadap Bumi.
Namun, bagi Cox, cerita film tersebut hanyalah umpan untuk menarik kepedulian setiap individu pada realita yang kini sedang berlangsung.
”Bagaimana kita dapat membuat orang menaruh perhatian pada informasi yang dapat diandalkan ketika ada begitu banyak informasi tak penting mendominasi di luar sana. Coba bertanya pada diri sendiri, apakah lebih tertarik pada kabar seputar selebritas idola atau pada isu perlindungan kehidupan manusia, termasuk diri kita sendiri?” katanya.
Terkait peran media,The New York Timesmenuliskan bahwa ada pesan tersendiri untuk jurnalisme. Pendapat McKay yang gamblang diutarakan dalam filmnya adalah dalam beberapa dekade terakhir, pasar media makin hiperaktif. Penetrasi media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan TikTok, membuka berjuta peluang baik sekaligus menimbun berbagai masalah yang bergerak bagai bola liar siap memicu isu-isu baru.
Untuk itu, pengusung jurnalisme sejati seharusnya kembali pada jati dirinya sebagai penjaga keseimbangan antara memberi tahu orang-orang mengenai apa yang ingin mereka dengar dan apa yang perlu mereka ketahui.
Pendapat Cox selanjutnya seperti melengkapi pesan tersebut. Menurut dia, setiap orang wajar mengejar kesenangan atau hal populer lain. Namun, perlu pula selalu ingat untuk menatap pada kenyataan yang ada, hadapi kondisi alam yang begitu cantik tetapi kini rapuh dan mengandung teror pada kehidupan manusia sebagai dampak perilaku manusia itu sendiri.
”Jangan sembunyikan fakta itu atau memalingkan muka karena dalam sekejap kita justru bisa tergulung oleh sapuan bencana,” ujarnya.
Di sisa libur awal Tahun Baru ini, mengajak diri sendiri untuk semakin mengandalkan akal sehat sepertinya bakal menjadi bekal terbaik menjalani 2022 dengan selamat. Selamat Tahun Baru!