Tren pencarian properti untuk disewa menunjukkan kenaikan yang lebih pesat, yakni 61 persen per tahun dibandingkan dengan 52 persen per tahun.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Kaca jendela terbuka untuk mengeringkan pakaian di rumah susun sewa Jatinegara Barat, Jakarta Timur, Kamis (11/11/2021).
Keluarga muda yang menggantungkan rezeki hidupnya di Jakarta terus berlomba mencari rumah tapak baru yang terjangkau meski harus menempuh jarak puluhan kilometer dari kawasan metropolitan utama negeri ini. Namun, masih ada sebagian dari mereka yang mengandalkan hunian sewa untuk tetap bisa tinggal di Ibu Kota.
Adji Faisal (28), pekerja swasta di Jakarta yang baru setahun menikah, sudah setahun lebih menyewa rumah kontrakan di Kelurahan Pertukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Di rumah tiga kamar dengan luas 54 meter persegi itu ia tinggal bersama istri yang sebentar lagi akan melahirkan seorang anak.
Rumah itu Adji sewa dengan harga Rp 2 juta sebulan atau Rp 24 juta setahun. Harga itu masuk akal bagi penghasilan dia dan pasangan yang mencapai Rp 13 juta-Rp 14 juta per bulan. Penghasilan itu setara tiga kali upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta senilai sekitar Rp 4,5 juta per bulan. Selain pertimbangan harga, banyak hal lain yang ia pertimbangkan selain membeli rumah baru yang harganya terjangkau.
”Ini win-win solution, secara harga masuk budget karena standar rumah sewa di Jakarta Rp 40 juta setahun, terutama di pusat kota. Lalu, lokasi dekat kantor istri dan saya walau di perbatasan Jakarta dan Tangerang. Lingkungan aman dan enggak banjir,” tuturnya, Jumat (17/12/2021).
Kompas/Totok Wijayanto
Deretan perumahan yang baru selesai dibangun di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Rabu (17/11/2021).
Adji dan pasangan yang merupakan perantau dari Sumatera pun sementara mengubur impian mereka tentang rumah tapak, seperti yang mudah dimiliki keluarga mereka di kampung halaman. Membeli rumah di sekitar Jakarta menurut mereka banyak tantangannya.
Selain harus siap dengan uang muka besar, rumah baru yang terjangkau sudah semakin jauh dari Jakarta. Membeli rumah baru murah, yang rata-rata belum bisa langsung dihuni, juga mengharuskan mereka mengeluarkan uang lagi untuk menyewa rumah sementara waktu.
”Bisa jadi kami sewa rumah terus kalau enggak ada terobosan di tahun-tahun mendatang. Misalnya, tiba-tiba pemerintah menurunkan harga rumah yang mana mustahil. Atau, tiba-tiba istri memutuskan jadi wirausaha. Kalau asumsi gaji sekarang, sih, belum bisa,” ujarnya.
Tren pencarian properti untuk disewa menunjukkan kenaikan yang lebih pesat, yakni 61 persen per tahun dibanding 52 persen per tahun
Nanda (29), warga Jakarta, yang baru lima bulan menikah juga memilih memulai hidup rumah tangga dengan menyewa kontrakan dua kamar tidur Rp 21 juta setahun di daerah Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Ia mengaku belum mampu membeli rumah tapak ataupun hunian vertikal dengan gabungan gaji dengan pasangan yang berkisar 2,5 kali UMP Jakarta.
”Saya dan suami kepikiran untuk sewa rumah sekarang sampai 40 tahun ke depan. Diitung-itung harganya setara rumah di bawah Rp 1 miliar. Rumah harga segitu sulit kami beli sekarang, tapi bisa kalau sewa,” ujarnya.
Kompas
Tren pencarian rumah di platform jual beli properti Rumah.com.
Baik Adji maupun Nanda telah berhitung. Mereka mampu menyewa rumah di Jakarta dan mendapatkan harga lebih murah daripada membeli rumah di Jakarta atau mencicil rumah murah yang jaraknya jauh. Mereka juga tidak akan terbelit tanggungan biaya lain, seperti biaya pengurusan hak kepemilikan atau bunga cicilan.
Konsekuensi besarnya hanya satu, mereka tidak bisa memiliki rumah sewa tersebut. Konsekuensi lainnya adalah kenaikan harga sewa yang mengikuti tren permintaan dan penawaran. Sebagaimana harga tanah dan properti lainnya, harga hunian sewa bisa naik jika permintaan semakin meningkat.
Kepemilikan rumah sewa atau kontrak di Jakarta faktanya meningkat. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat, penguasaan bangunan sewa oleh rumah tangga di Jakarta meningkat dari 36 persen di 2018 menjadi 38 persen di 2020. Hal ini berbalik dengan penguasaan bangunan milik sendiri yang turun dari 48 persen di 2018 menjadi 45 persen di 2020.
Pencarian rumah sewa di Jakarta dan sekitarnya juga menunjukkan tren peningkatan di platform jual beli properti Rumah.com. Jika dibandingkan dengan pencarian properti untuk beli, pencarian properti sewa lebih meningkat sejak 2020.
”Tren pencarian properti untuk disewa menunjukkan kenaikan yang lebih pesat, yakni 61 persen per tahun dibanding 52 persen per tahun,” kata Imam Wiratmadja, Consumer Marketing Manager Rumah.com.
Kompas
Tabel presentase penguasaan bangunan tempat tinggal oleh rumah tangga di Jakarta menurut data Badan Pusat Statistik Jakarta.
Dari data mereka, rata-rata pencarian properti masih lebih banyak berkisar pada rumah tapak dengan dua kamar tidur.
Ferry Salanto, konsultan properti dan Senior Associate Director of Research Colliers International mengatakan, sewa properti lebih dipilih di Jakarta karena harga hunian baru untuk dimiliki sulit dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah dan ke bawah.
”Bangun rumah itu hitungannya dari harga tanah, kalau terlalu mahal kita harus bikin produk harga mahal. Lahan di Jakarta makin sedikit, jadi makin mahal karena ada kelangkaan bahan baku tanah,” tuturnya.
Analisis tim Jurnalisme Data Kompas mencatat, rumah tapak tipe 36 di Jakarta minimum dijual dengan harga Rp 557 juta. Harga itu hanya dapat dijangkau dengan pekerja bergaji lebih dari Rp 14 juta per bulan atau cicilan Rp 4,9 juta. Harga minimal itu naik dari kisaran Rp 300 juta di 2010 (Kompas, 1/10/2021).
Perhitungan lainnya menunjukkan, besaran UMP Jakarta hanya dapat menjangkau rumah yang dapat dibeli seharga Rp 168,8 juta. Harga tersebut adalah harga terendah rumah baru tipe 36 di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Untuk membeli rumah baru di daerah berkembang di kawasan penyangga Jakarta, kata Ferry, masyarakat juga harus menimbang banyak hal. Selain jeli memilih pengembang yang terpercaya, pembeli properti juga harus bisa membaca prospek. Prospek yang dimaksud adalah potensi kenaikan harga, pembangunan kawasan, termasuk akses transportasi publik.
”Sekarang tren beli rumah bukan dilihat seberapa jauh jaraknya, tetapi pada berapa jarak tempuhnya. Misalnya, mau beli rumah di Maja, Lebak, Banten, karena ada kereta yang membuat jarak tempuh ke Jakarta cepat. Bisa-bisa saja,” katanya.
Sayangnya, dilihat dari analisis keterjangkauan lokasi rumah dengan harga rumah minimal dan penghasilan UMP Jakarta di atas, banyak titik di daerah penyangga yang jauh dari simpul transportasi.
Menggunakan data penduduk dari Global Human Settlement Layer (GHSL) terbaru (2015), diketahui baru 59,9 persen penduduk kabupaten Bekasi; 57,9 persen penduduk Kabupaten Tangerang, dan 48,9 persen penduduk Kabupaten Bogor yang terhubung dengan stasiun kereta komuter dan pintu tol dalam radius 5 kilometer.
Perkembangan pembangunan bisa jadi terlambat memenuhi kebutuhan masyarakat akan rumah tapak yang dinilai ideal dengan harga terjangkau. Maka, tidak heran banyak keluarga muda dan pekerja metropolitan, seperti Adji dan Nanda, yang memilih menyewa rumah untuk jangka panjang. Bagaimana dengan pembaca sekalian?