Komitmen Negara Tindak Tegas Pelaku Kekerasan Seksual
Pemerintah berkomitmen menghukum pelaku kekerasan seksual seberat-beratnya. Hal ini demi keadilan bagi korban dan acuan tindakan hukum pada kasus lain. Investigasi dan pembenahan sekolah berasrama juga akan dilakukan.
Oleh
AGUIDO ADRI/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Kejahatan seksual, khususnya yang menimpa anak di bawah umur, kembali terungkap. Kasus terakhir, di antaranya, adalah penangkapan MMS (52), guru mengaji, oleh Kepolisian Resor Metro Depok. MMS ditangkap atas kekerasan seksual kepada 10 murid perempuan berusia 10-15 tahun di Kemirimuka, Beji, Depok, Jawa Barat.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan, Selasa (14/12/2021), mengatakan, kasus ini terungkap setelah salah satu korban menceritakan kepada orangtuanya. Ternyata, sejumlah orangtua lain mendapat laporan yang sama dari anak-anaknya.
Peristiwa di Depok ini terjadi dari Oktober hingga Desember 2021. Sebelum melakukan kejahatannya, pelaku mengintimidasi para korban saat belajar mengaji sekitar pukul 17.00. Setelahnya, ia memberi uang Rp 10.000 kepada korban.
MMS dijerat menggunakan Pasal 76E juncto Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 64 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pelaku terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Negara hadir memberikan tindakan tegas. Ini tentang komitmen yang disepakati bersama.
Kasus di Depok ini serupa dengan kejadian di Kota Bandung. Pemerintah pusat sampai turun tangan menangani kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan (36), guru di pondok pesantren di Bandung, kepada 13 muridnya.
Saat kejadian, korban yang berasal dari keluarga tak mampu itu masih berusia 13-16 tahun. Herry beraksi periode 2016-2021 dan berujung lahirnya sembilan bayi. Saat ini, ia sudah diseret ke meja hijau dan didakwa 20 tahun penjara. Ada juga opsi hukuman kebiri.
Di Aceh, Kepala Polres Aceh Utara Ajun Komisaris Besar Riza Faisal menuturkan, seorang anak berusia 14 tahun menjadi korban pemerkosaan berulang kali oleh ayah tirinya, SR (38), April 2021. Pelaku mengancam akan menceraikan dan memukuli ibunya jika korban melawan. ”Korban trauma dan ketakutan,” katanya.
Kasus ini baru terungkap November lalu. Pada Rabu (24/11), polisi menangkap dan menahan SR. Dia dijerat dengan Qanun Jinayah dengan ancaman hukuman maksimal 16,6 tahun penjara.
Di Palembang, Sumatera Selatan, kemarin, dua dosen Universitas Sriwijaya (Unsri), AR (34) dan RG (36), dinonaktifkan dari segala jabatan yang melekat. Pernyataan ini disampaikan Rektor Unsri Anis Saggaf setelah AR dan RG ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual dan ponografi. Jika sudah ada keputusan inkrah, keduanya terancam diberhentikan secara tidak hormat sebagai aparatur sipil negara.
Hukum berat
Menteri Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga, di Bandung, Selasa, mengatakan, Presiden memberikan perhatian khusus terhadap kasus kekerasan seksual. Tindakan tegas harus dilakukan karena aksi ini termasuk kejahatan luar biasa.
”Negara hadir memberikan tindakan tegas. Ini tentang komitmen yang disepakati bersama,” ujarnya.
Khususnya untuk kasus Herry, Bintang menyatakan, Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar bakal langsung menjadi jaksa penuntut umum (JPU) untuk memberikan tuntutan seberat-beratnya kepada terdakwa.
Hukuman berat ini agar korban mendapatkan keadilan. Selain itu, tegasnya, penanganan kasus menjadi terobosan komprehensif dan memberikan panduan ideal dalam menghadapi kasus serupa.
Menurut Bintang, Herry juga memiliki indikasi eksploitasi dan penyalahgunaan bantuan sosial. ”Bapak Presiden memberikan arahan untuk saling berkoordinasi. Korban ini kebanyakan anak-anak. Semua menjadi tanggung jawab bersama dalam pemenuhan hak dasarnya. Pendampingan harus dilakukan semaksimal mungkin,” ujarnya. Kepala Kejati Jabar Asep N Mulyana siap menjadi JPU kasus ini.
Investigasi Kemenag
Ketegasan turut ditunjukkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. ”Saya memerintahkan kepada seluruh jajaran untuk melakukan investigasi kepada sekolah-sekolah seperti ini (berasrama), yang kita sinyalir terjadi kekerasan seksual,” ujarnya saat berkunjung ke Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Kota Cirebon, Selasa.
Pernyataan itu di antaranya terkait kasus kekerasan seksual oleh Herry. ”Tentu ini tidak baik bagi anak bangsa dan agama. (Apalagi) karena ini mengatasnamakan agama lembaga pendidikannya,” ujar Yaqut.
Pihaknya mengklaim, investigasi yang dilakukan sejak kasus tersebut mencuat juga melibatkan kepolisian, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, serta sejumlah pihak terkait lainnya.
Yaqut tidak menyebutkan berapa banyak sekolah berasrama yang akan diinvestigasi. Namun, berdasarkan data Kemenag, terdapat 34.075 pesantren di Indonesia. Pihaknya khawatir kasus di Bandung hanya merupakan puncak gunung es kekerasan seksual di sekolah berasrama. Pihaknya berkomitmen menyelesaikan kasus itu.
Yaqut berjanji segera memperbaiki mekanisme izin operasional sekolah berasrama berbasis agama untuk mencegah kasus kekerasan seksual.
Faqihuddin Abdul Kodir, aktivis jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, menilai, pembenahan izin operasional tidak cukup mencegah kasus kekerasan seksual di sekolah berasrama. ”Mempermasalahkan izin sekolah hanya mengaburkan kasus ini. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Di pesantren, sekolah, kampus, bahkan instansi pemerintah,” ucapnya.
Itu sebabnya pelaku kekerasan seksual harus diproses sesuai hukum yang berlaku. ”Tak kalah penting adalah pendekatan kultural. Selama ini, korban takut melapor karena menganggap aib dan khawatir dipersalahkan. Masyarakat harus sadar, siapa pun tidak ingin jadi korban kekerasan seksual,” ungkapnya.
(Abdullah Fikri Ashri/Zulkarnaini Masry/Rhama Purnajati)