Rachel Vennya, Bahkan Sopan di Sidang Pun Berakhir Pergunjingan
Netizen tidak terima dengan sanksi ringan terhadap Rachel Vennya. Mereka sengaja menaruh komentar provokatif dan menyerang yang didefinisikan sebagai sentimen yang disebut "internet troll".
Oleh
Erika Kurnia
·5 menit baca
Selebritas media sosial, Rachel Vennya Roland, kembali menjadi sorotan ketika menghadapi meja hijau. Vonis terkait hukuman pelanggaran karantina Covid-19 bersama tiga orang lainnya yang dinilai ringan, menuai pergunjingan dari pengguna internet atau netizen.
Jumat (10/12/2021), Rachel Vennya, bersama kekasihnya, Salim Suhaili Nauderer, manajernya Maulida Khairunnisa, dan petugas protokoler bernama Ovelina Pratiwi menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Banten. Persidangan hari itu berlanjut dengan pemeriksaan saksi-saksi sekaligus penjatuhan vonis terhadap para terdakwa.
Mereka menjadi terdakwa karena melanggar aturan karantina bagi warga negara Indonesia (WNI) yang baru kembali dari luar negeri. Rachel, Salim, dan Maulida kabur dari kewajiban karantina sepulang dari Amerika Serikat pada September lalu.
Kaburnya mereka dibantu Ovelina, selaku protokoler Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang. Pihak Rachel menyuap Ovelina Rp 40 juta. Jaksa pun mendakwa Ovelina karena membantu Rachel dan rekannya kabur.
Dalam persidangan Jumat itu, Ketua Majelis Hakim PN Tangerang Arief Budi, menyatakan, para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
”Melanggar Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Dijatuhi pidana penjara 4 bulan dengan masa percobaan 8 bulan, dan denda Rp 50 juta dengan ketentuan kalau tidak dibayar diganti kurungan selama 1 bulan,” kata Arief saat dihubungi, Minggu (12/12/2021).
Hukuman itu terbilang ringan dari ancaman penjara 1 tahun sesuai UU Karantina Kesehatan yang dipakai. Majelis memberikan vonis lebih ringan dari ancaman hukuman karena beberapa pertimbangan.
”Alasannya, karena terdakwa bersikap sopan, mengakui terus terang perbuatanya, menyesal, dan berdasarkan hasil PCR, baik di Amerika maupun di Indonesia pada saat kejadian, negatif,” katanya menjelaskan.
Selain menjadi lebih ringan, para terdakwa juga tidak ditahan karena ancaman pidana hanya di bawah satu tahun penjara. ”Jadi, sopan bukan satu-satunya alasan pemidanaan,” lanjut Arief.
Dan masa pandemi ini membuat banyak orang mendadak melek digital, walaupun sebelumnya belum ada pendidikan penggunaan teknologi digital. Ditambah lagi, etika dan budaya digital belum pernah diajarkan serius
Namun, pengguna internet atau netizen tampak tidak terima dengan sanksi terhadap Rachel tersebut. Sentimen netizen pun banyak mewarnai kolom komentar hingga utas di media sosial. Kebanyakan mereka menyoroti alasan kesopanan sebagai pertimbangan hakim memberi vonis ringan.
Pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan, yang dihubungi terpisah, mengatakan, dakwaan dan pemidanaan bisa dinilai dengan situasi serta kondisi yang relevan dari tindak pidana yang bersangkutan.
Sebagaimana dikutip dari buku Hukum Pidana Jan Remmelink, ada delapan penilaian yang bisa dipakai. Penilaian itu, yakni delik yang diperbuat, kebendaan hukum yang terkait, cara aturan dilanggar, kerusakan lebih lanjut. Kemudian, personalitas pelaku, umur, jenis kelamin, dan kedudukannya dalam masyarakat. Lalu, mentalitas, rasa penyesalan yang mungkin timbul, termasuk catatan kriminalitas.
”Memang hakim seperti diatur dalam pasal 197 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) menimbang berat ringan putusan terdakwa diambil di persidangan. Yang meringankan, contoh, menyesali perbuatan dan sopan santun. Memberatkan kalau berbelit-berbelit atau tidak mengakui perbuatan,” kata Asep.
Dalam kasus serupa, majelis hakim juga pernah memberikan pertimbangan meringankan dan memberatkan pada Rizieq Shihab. Tokoh ulama ini menjadi terpidana pelanggaran terkait kerumunan dan pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat, di masa pandemi Covid-19, pada November 2020 lalu.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (27/5/2021), memvonis Rizieq dan terdakwa lain dalam kasus sama 8 bulan penjara. Hal yang memberatkan Rizieq adalah karena tidak mendukung pemerintah dalam percepatan pencegahan Covid-19. Adapun hal yang meringankan, seperti dilansir dari Kompas.com, antara lain terdakwa memberi keterangan secara jujur dan mempunyai tanggungan keluarga.
Asep menilai, masyarakat tidak bisa meminta hukuman lebih karena keputusan dakwaan sudah sesuai hukum yang berlaku. Namun, jika hukuman yang lebih memberatkan seperti untuk pidana terkait suap yang dilakukan pihak terkait, fakta-fakta itu nantinya bisa saja ditunjukkan di persidangan berikutnya.
Devie Rahmawati, pengamat ilmu sosial, budaya, dan komunikasi Universitas Indonesia, melihat, sentimen netizen terhadap kasus seperti Rachel Vennya di media sosial menjadi salah satu tantangan hidup di ruang daring. Sentimen ini disebut internet troll, yang bisa didefinisikan sebagai sikap dengan sengaja menaruh komentar provokatif dan menyerang.
”Ini ditengarai beberapa hal. Pertama, sebuah hiburan, bagi sebagian lain karena latar personalitas tertentu, menurut ahli ada sadisme atau psikopat. Ketiga, faktor perhatian, ketika postingan dapat respon maka secara pribadi orang itu merasa memiliki perhatian orang lain,” tuturnya.
Faktor keempat, ditambahkan Devie, terkait anonimitas karena teknologi digital memungkinkan orang menyembunyikan identitas. Kondisi ini membuat banyak individu merasa tidak punya tanggung jawab dengan apa yang dipublikasikan di ruang digital.
”Dan masa pandemi ini membuat banyak orang mendadak melek digital, walaupun sebelumnya belum ada pendidikan penggunaan teknologi digital. Ditambah lagi, etika dan budaya digital belum pernah diajarkan serius,” ujarnya.
Rendahnya pendidikan digital ini pun terbukti membuat kesopanan masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial merosot. Laporan berjudul Digital Civility Index (DCI) oleh Microsoft yang dirilis awal 2021 ini menempatkan Indonesia di rangking keempat terbawah, dari total 32 negara yang disurvei di berbagai belahan dunia pada 2020.
Indonesia mendapat skor 76 atau setara Meksiko (76), dan sedikit di atas Rusia (skor 80) dan Afrika Selatan (81). Faktor yang membuat rendah prestasi Indonesia adalah tingginya risiko berita bohong atau hoaks dan penipuan di internet (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), dan diskriminasi (13 persen). Semakin rendah skor semakin baik.
Tugas memperbaiki kesopanan di ruang digital pun menjadi tanggung jawab setiap masyarakat. Jika membaik, harapannya tidak akan ada lagi kesopanan yang dihakimi dengan ketidaksopanan.