Sumur Resapan Kurang Efektif, Warga DKI Abai Tata Air
Tanpa anggaran khusus, proyek sumur resapan dilanjutkan tahun depan di DKI. Untuk pengendalian banjir secara luas, keterlibatan aktif warga diperlukan.
Oleh
Erika Kurnia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian genangan dan banjir di Jakarta tidak cukup hanya dengan memperbanyak sumur resapan. Peran serta masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan air juga diperlukan.
Dosen Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia (UI) Rudy Tambunan, saat dihubungi Jumat (3/12/2021), menyebutkan, Jakarta melirik pembangunan sumur resapan pertama kali pada tahun 1980-an. Sistem ini dipilih untuk mengejar kecepatan pembangunan permukiman yang masif karena urbanisasi.
”Tahun 80-an, Jakarta mencontoh keberhasilan Yogyakarta yang sudah ada sejak zaman Belanda. Di sana sumur resapan dibangun di pekarangan dan sisi jalan antara sempadan jalan dan got, bukan badan jalan. Jakarta lalu membuat Surat Keputusan Gubernur, lalu Dinas Pekerjaan Umum saat itu bikin sumur resapan," kata pria yang pernah 30 tahun bekerja di Dinas Tata Kota DKI Jakarta itu.
Sayang, saat itu banyak tantangan dalam pembangunannya. Sumur resapan baru bisa dibangun apabila kedalaman tanah lebih dari semeter dan tidak boleh menyentuh muka air tanah. Jika sumur resapan menyentuh air tanah, sumur itu berpotensi menjadi sarang nyamuk dan menimbulkan masalah kesehatan lainnya.
Tantangan ini berlanjut sampai saat ini. Turunnya permukaan tanah di sejumlah titik di Jakarta juga menjadi kendala. Tantangan lainnya adalah tidak banyak pemilik bangunan yang mengikuti syarat membangun sumur resapan yang diatur dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Adapun tantangan utamanya adalah kesadaran masyarakat untuk merawat sumur resapan yang ada di lingkungan sekitar mereka. Masalah klasik ini juga mengganggu skema polder untuk menangani banjir di Jakarta yang dibuat peraturan daerahnya pada tahun 2012.
Mestinya kelompok warga seperti Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) bisa ambil bagian berperan mengoordinasikan RW untuk mengelola lingkungannya. Itu yang enggak jalan sekarang
Polder adalah bidang tanah rendah yang dikelilingi sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling kawasan, pompa, dan pintu air. Rudy mencatat, hampir separuh Jakarta dibagi dalam sekitar 40 sistem polder. Sayangnya, banyak masyarakat tidak menyadari bahwa mereka tinggal di daerah tersebut.
”Karena tinggal di daerah tersebut, mereka harus merawat, bukan teknisi yang jaga rumah pompa. Polder harus dirawat agar jangan sampai ada sampah di saluran, supaya air waktu hujan lancar mengalir dan masuk ke kolam retensi atau penampungan baru di pompa," ujarnya.
Jika masyarakat paham dan memiliki kesadaran untuk ikut merawat, tugas pemerintah tinggal melakukan perawatan terhadap sistem yang ada. Kemampuan polder dalam mengendalikan genangan dan banjir bahkan dinilai bisa lebih efektif daripada sumur resapan.
”Mestinya kelompok warga seperti Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) bisa ambil bagian berperan mengoordinasikan RW untuk mengelola lingkungannya. Itu yang enggak jalan sekarang," ujarnya.
Tanpa anggaran khusus
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Dudi Gardesi saat dihubungi, Kamis (2/12/2021), mengatakan, pembangunan sumur resapan di tahun 2022 akan dilakukan dengan melihat kasus dan kebutuhan di tiap wilayah Ibu Kota.
”Kami akan lihat kasus per kasus. Misalnya, karena ada genangan-genangan yang mungkin masih sering terjadi, walaupun sudah ditanam (sumur resapan), nanti ditambahkan (sumur resapan). Contoh, di Cawang, nanti ditambah lagi dengan yang dalam,” ujarnya.
Strategi itu, menurut dia, dilakukan untuk tetap melanjutkan program sumur resapan tanpa alokasi khusus di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Pada anggaran 2022, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menghapus anggaran sumur resapan dari yang semula diusulkan Rp 322 miliar oleh Pemerintah Provinsi DKI (Pemprov) Jakarta.
”Waktu finalisasi dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah atau TAPD, mata anggaran itu banyak mendapat komplain dari beberapa anggota badan anggaran. Menurut mereka, pembangunan sumur resapan tidak efektif. Akhirnya banggar (Badan Anggaran) mengenolkannya,” ujar Ida Mahmudah.
Ketua Komisi D Bidang Pembangunan DPRD DKI Jakarta, Rabu (1/2).
Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta menargetkan bisa membangun 25.647 titik drainase vertikal atau sumur resapan pada tahun ini dengan anggaran Rp 411 miliar. Dinas SDA DKI mencatat, 25.647 titik itu akan bisa menyerap 68.038 meter kubik air. Sampai 27 Oktober 2021, baru terbangun 12.482 titik sumur resapan.
Ida mengatakan, anggaran sumur resapan yang dinolkan itu akan dimanfaatkan untuk menambah anggaran gaji pegawai penyedia jasa layanan perseorangan (PJLP) DKI. Anggaran gaji itu Rp 200 miliar.
Dudi menambahkan, yang dihapus merupakan anggaran pembangunan sumur resapan yang melibatkan pihak ketiga. Pembangunan sumur resapan tetap bisa dilanjutkan dengan menggunakan APBD yang masuk melalui Dinas SDA DKI.
”Kami, kan, ada anggaran pekerjaan, perbaikan, belanja pemeliharaan, terus belanja yang tidak menjadi aset. Anggaran dan sumber daya ini bisa menambah kinerja sumur yang dibangun sekarang. Misalnya, untuk menambah kedalaman dan sebagainya,” katanya.
Namun, ia mengakui, tidak adanya anggaran khusus untuk sumur resapan akan membatasi kemampuan membangun sumur baru. Dengan anggaran internal Dinas SDA, mereka hanya mampu membangun sekitar 2.000 titik per tahun.
Tetap jadi solusi
Mengenai sumur resapan dikritik tidak efektif oleh sebagian anggota DPRD dan pengamat, Dudi berpendapat, drainase vertikal tetap salah satu solusi pengendalian genangan dan banjir yang baik diterapkan di Jakarta untuk jangka panjang.
”Kami jalankan arahan dan standar yang ada di Peraturan Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). PUPR menyebut sumur resapan sebagai solusi jangka panjang, selain pompa, polder, normalisasi, dan naturalisasi sungai,” ujarnya.
Dinas SDA DKI pun berkomitmen memaksimalkan setiap program yang ada untuk mencegah banjir di Jakarta dengan pendekatan masing-masing.
”Berdasarkan apa yang kami nilai, genangan di Jakarta sudah minimal. Masih ada genangan, tetapi tidak sebesar yang sebelumnya. Jadi, tentunya cukup efektif,” ujar Dudi.