Kisah Para Orangtua Korban Kekerasan Seksual Mencari Keadilan
Perjuangan keluarga dari anak-anak korban kekerasan seksual di Depok, Jawa Barat, dalam mencari keadilan tidaklah mudah. Setelah pelaku divonis pidana, babak baru menanti pihak keluarga untuk menata masa depan korban.
Orangtua dari J (13) dan BA (14), anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh SPM, pengurus Gereja Herkulanus, Depok, Jawa Barat, bisa sedikit bernapas lega setelah hak restitusi diserahkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Kejaksaan Negeri Depok, Senin (29/11/2021).
Meski kasus berakhir, bukan berarti ini akhir dari perjalanan penegakan hukum terhadap para penjahat seksual karena masih banyak anak yang menjadi korban. Selain itu, masih banyak hak perlindungan hukum hingga hak restitusi yang belum diberikan kepada korban.
Baca juga : Keluarga Korban Kekerasan Seksual di Depok Dapat Hak Restitusi
Tak terbayangkan perjuangan panjang dan terasa berat bagi orangtua J dan BA dari awal kasus terungkap hingga mencari keadilan dan perlindungan bagi anak-anaknya. Banyak fase dan rintangan berat yang harus mereka hadapi. Salah satu fase terberat itu adalah saat menerima kenyataan anak mereka menjadi korban. Hati dan perasaan orangtua mana yang tak hancur melihat kenyataan pahit itu.
”Di depan anak, saya tidak mungkin menunjukkan kemarahan dan kesedihan. Itu hanya menambah beban berat psikologis dia. Saya harus tetap mendukung dan mendampingi. Mereka harus kuat dan bisa menjalani hari-hari mereka. Masa depan masih panjang, masa depan yang baik bisa mereka raih,” kata ibunda BA.
Begitu pula bagi ayah J. Setelah kejadian itu, ia berusaha mendekatkan diri lebih intens kepada anaknya. Namun, itu tak mudah untuk dijalani dan ia juga harus menguatkan hati ibu J yang begitu terpukul.
”Saya dan istri sepakat, suasana di rumah harus senang. Mencoba lebih memahami dan mengerti kondisi anak. Kami ingin menjaga masa depannya. Itu tak mudah, tapi sebagai orangtua harus bisa,” ujarnya.
Sejak kasus mencuat hingga pembacaan vonis hukuman SPM, beberapa kali terlihat suasana begitu cair di antara keluarga Gereja Herkulanus. Para orangtua, anak-anak, pastor paroki, hingga pengurus gereja lain saling menguatkan tanpa ada suasana tegang dan kesedihan.
Meski begitu, tetap ada beberapa momen sedih, seperti saat sidang batal atau saat sidang ke-12, yakni pembacaan vonis SPM yang dipimpin hakim ketua Nanang Herjunanto dengan hakim anggota Forci Nilpa Darma dan Nugraha Medica Prakasa.
Sebagai pendidik di gereja tempat anak-anak dilatih menjadi misdinar atau pelayan gereja, perbuatan SPM sangatlah ironis. Kekerasan seksual yang dilakukannya melanggar Pasal 82 Ayat (2) juncto Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Ketuk palu hakim membuat ruangan sidang dipenuhi tangis haru. Ibu J dan ibu BA serta suster pendamping memeluk erat J dan BA.
SPM divonis pidana penjara 15 tahun dengan denda Rp 200 juta. Selain pidana penjara dan denda, SPM juga mendapat pidana tambahan berupa pembayaran restitusi kepada korban J (13) sebesar sekitar Rp 6,5 juta dan kepada BA (14) sebesar Rp 11 juta.
”Kegembiraan yang dibalut sedih terakumulasi semuanya saat itu dan saat ini. Ada perasaan lega karena semua perjalanan sidang berakhir, karena prosesnya yang begitu panjang. Ada sedikit beban yang lepas. Namun, kami orangtua ini belum selesai. Kami masih dalam tahap menata masa depan anak kami,” ujar ayah J.
Dukungan penuh tanpa lelah dalam kurun waktu setahun datang dari berbagai pihak. Romo Paroki Yosep Sirilus Natet, suster-suster pendamping, keluarga gereja, dan kuasa hukum Azaz Tigor Nainggolan memberikan atensi besar dalam pengungkapan kasus hingga putusan pengadilan serta penyerahan restitusi. Semua dukungan itu memberikan kekuatan bagi keluarga korban.
”Namun, ini bukan akhir. Ini jadi titik balik keluarga korban, tidak hanya kami, tapi orangtua lain yang anaknya pernah alami hal serupa untuk mendapat perlindungan hukum. Ada hak dan kekuatan hukum yang melindungi kita. Itu harus didapatkan,” kata ayah J, yang juga berterima kasih kepada pihak Kejari Depok dan LPSK yang mau ikut berjuang menghadirkan keadilan.
Bagi ayah J yang menerima restitusi Rp 6,5 juta dan ibu BA yang menerima Rp 11 juta, uang restitusi ini tak bisa hanya dilihat dari jumlah nominal semata. Uang itu pun tak bisa dinilai sebagai ganti rugi atau kompensasi dalam perjalanan panjang mencari keadilan dan perlindungan hukum. Bagi keluarga korban, tidak ada harga yang bisa dibayar dari tindak predator kejahatan seksual.
”Kami orangtua tidak mengerti ada hak restitusi ini. Awalnya kami tidak mengerti ini apa. Tapi, syukur puji Tuhan ada Bang Tigor yang dari awal mengawal kasus ini. Dia juga membawa kasus kepada teman-teman LPSK. Lalu, membahasnya ke teman-teman Kejari untuk kemudian hak restitusi ini bisa dimasukkan ke dalam laporan,” ujar ayah J.
Proses hukum dan segala bentuk aturan lain terasa awam bagi mereka. Oleh karena itu, mereka bersyukur masih ada orang yang dari awal mau terus berjuang. Tidak hanya dalam persidangan, tetapi segala upaya dalam mencari bukti hingga jalinan kekerabatan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberpihakan hukum
Hak keadilan dan perlindungan menjadi hal yang sangat penting agar tidak ada kasus kekerasan seksual terulang bagi anak-anak di Indonesia. Bukan hanya hukuman berat dan turunan hukuman lain, melainkan juga cara pendekatan penegak hukum dalam mengusut kasus kekerasan seksual, harus melalui pendekatan psikologis anak serta keberpihakan kepada korban, termasuk hak restitusi yang banyak hilang atau tidak disertakan dalam proses hukum.
”Hukum yang melindungi dan keberpihakan pada anak-anak kita. Ada efek jera untuk mereka pelaku kejahatan dan tidak ada lagi korban lain,” lanjut ayah J.
Hak restitusi itu menjadi bagian hukuman yang harus dibayar pelaku kekerasan seksual, SPM, berdasarkan vonis yang dibacakan pada sidang Rabu (6/1/2021). SPM terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual.
Ke depan, kata Kepala Kejaksaan Negeri Depok Sri Kuncoro, pihaknya akan berkoordinasi dengan LPSK agar dalam penanganan kasus kekerasan seksual anak-anak, keluarga korban dan pihak kuasa hukum serta pendamping korban memasukkan hak restitusi ke dalam laporan.
”Karena banyak keluarga dan mungkin kuasa hukum tidak mengetahui hak restitusi ini. Saya yakin restitusi tak bisa menggantikan apa pun, apalagi kondisi psikologis korban. Tapi, paling tidak ini jadi tanggung jawab moral juga para pelaku,” katanya.
Koordinasi bersama LPSK, kata Kuncoro, dinilai penting, bahkan harus menjadi pembahasan khusus untuk publik terkait pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual, khususnya hak restitusi. Koordinasi itu juga tak lepas dari kasus-kasus pelecehan seksual kepada anak di Depok dari Juli hingga November 2021 yang terus meningkat.
Berdasarkan data Kejari Depok 2021, tercatat ada 43 surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terkait perkara pidana dengan korban anak. Pada rentang Oktober-November saja ada 13 kasus pelecehan seksual terhadap anak.
Wakil Ketua Umum LPSK Antonius PS Wibowo menilai, peningkatan angka pelecehan seksual kepada anak di Kota Depok sangat menyedihkan dan harus menjadi perhatian bersama. Penanganan kasus itu memerlukan kolaborasi agar tuntas dan korban mendapatkan perlindungan hukum.
”Oleh karena itu, kami imbau jangan takut untuk melapor. Kasus ini harus dibongkar agar memutus mata rantai dan hukuman kepada pelaku akan menjadi efek jera,” ujarnya.
Baca juga : Mengungkap Jejak Gelap Pemerkosa Anak di Depok
Dalam upaya hukum itu pula, lanjut Antonius, perlu ada pemahaman bersama terkait hak perlindungan dan hak lain untuk korban, salah satunya hak restitusi. Restitusi bukan hanya bentuk kewajiban yang harus dibayarkan pelaku kekerasan seksual, melainkan juga menjadi momentum hukum yang berpihak kepada korban dan keluarga.
”Ini perjuangan panjang dari Pak Kajari dan jajarannya bersama LPSK dan juga kuasa hukum korban. Buah manis ini nantinya akan semakin ditularkan pada perkara lain yang terjadi di Depok dan daerah lain di Indonesia. Kami LPSK siap bekerja sama dengan Kejari Depok,” katanya.
Meski berhasil dalam kasus J dan BA, menurut Antonius, hak restitusi memiliki jejak perjuangan yang masih panjang karena tingkat keberhasilan pemenuhan restitusi kepada korban sangat rendah.
Oleh karena itu, pemenuhan hak dan putusan Kejari Depok bagi keluarga korban J dan BA dinilai sebagai penyemangat dan contoh untuk meningkatkan keberhasilan penanganan kasus ke depan, mulai dari tingkat penyidikan kepolisian hingga putusan pengadilan.
Berdasarkan data LPSK 2021, ada 170 permohonan restitusi dari korban di seluruh Indonesia dengan nilai total Rp 6,3 miliar. Namun, dari 170 permohonan, hanya empat kasus atau putusan pengadilan yang mengabulkan pemenuhan hak restitusi.
”Ini belum seperti yang kita harapkan meskipun dari tahun ke tahun ada perbaikan. Kami mencatat pada tahun ini ada sekitar 170 permohonan restitusi. Keberhasilannya masih sedikit, baru empat putusan pengadilan yang mengabulkannya dalam perkara kejahatan seksual,” ujarnya.
Mandat undang-undang
Kuasa hukum korban, Azas Tigor Nainggolan, melanjutkan, hak restitusi ada dalam mandat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tepatnya pada Pasal 7 Ayat (1). Namun, mandat itu tidak banyak diketahui penegak hukum, bahkan para kuasa hukum yang menangani perkara.
Hal itu terjadi saat ia dan pihak LPSK memasukkan hak restitusi dalam laporan penyidikan kepada pihak polisi. Mereka tidak berani mencantumkan hak restitusi itu karena beralasan belum ada peraturannya.
Tigor melanjutkan, hak restitusi bisa dimulai di tahap penyidikan. Kepolisian seharusnya sudah memberi tahu keluarga korban yang melapor bahwa ada UU atau peraturan tentang restitusi.
Begitu pula untuk kuasa hukum, seharusnya sudah dari awal mereka mempelajari peraturan terkait hak restitusi dan memasukkannya ke dalam laporan. Jangan sampai hak korban dan keluarga tidak diberikan karena ketidaktahuan. Padahal, negara mengamanahkannya lewat undang-undang.
”Bukan nilainya, melainkan wujud mandat UU ini ada. Negara memperhatikan ini. Semoga ini jadi model menangani dan membongkar kasus kekerasan seksual pada anak. Restitusi ini jadi langkah maju hukum di Indonesia. Bisa ditiru bagi keluarga yang anaknya jadi korban, bagi penegak hukum, dan kuasa hukum,” ujarnya.
Tigor kembali menegaskan, terlepas dari pentingnya hak hukum, termasuk hak restitusi, masih diperlukan upaya dan perjuangan untuk melidungi anak dari penjahat seksual.
Baca juga : Selama 12 Tahun Memendam Rahasia Kekerasan Seksual
Kehadiran negara dan pemerintah daerah melalui regulasinya juga harus kuat agar proses hukum dan pengungkapan kasus kekerasan seksual pada anak tidak bertele-tele dan mengedepankan sisi korban.
”Sorotan lain dari saya, hapus kota layak anak di Kota Depok. Tidak pantas kota ini menyandang kota layak anak yang diberikan pemerintah pusat untuk Kota Depok. Jika ada anak yang menjadi korban dari segala bentuk kekerasan, tidak adanya pemenuhan hak restitusi, dan kasus pengungkapan tidak berpihak pada korban, jangan sebut kota layak anak,” pungkas Tigor.