Mantan Kades di Lebak Pakai Dana BLT untuk Kampanye Pilkades
Politik uang merasuk sampai ke level desa. Tak pelak banyak kepala desa terjerat korupsi untuk menutup ongkos kampanye hingga modal kampanye pemilihan periode berikutnya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — AU (49), bekas kepala desa di Desa Pasindangan, Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak, Banten, menilap dana bantuan langsung tunai atau BLT sebesar Rp 92 juta. Dana milik 100 kelompok penerima manfaat itu digunakan untuk bertarung dalam pemilihan kepala desa atau pilkades periode 2021-2027.
Tersangka sudah tiga kali menggelapkan penyaluran dana BLT tahun 2021. Setiap penerima manfaat menerima Rp 300.000 dalam setiap penyaluran bantuan.
”Tersangka meminta penyaluran bantuan dilakukan secara langsung olehnya yang saat itu menjadi kepala desa. Dari 11 kali penyaluran, tersangka menggelapkan bantuan tahap ketiga hingga kelima,” tutur Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Lebak Ajun Komisaris Indik Rusmono, Selasa (30/11/2021).
Biasanya pencairan dan penyaluran BLT dilakukan kepala seksi ekonomi dan pembangunan dan kepala urusan keuangan. Mereka mengundang penerima bantuan, menyerahkan bantuan, dan ada bukti tanda terima bantuan.
Penyidik memeriksa sekretaris desa, kepala seksi ekonomi dan pembangunan, kepala urusan keuangan, dan penerima bantuan langsung tunai. Penyidik juga menyita berkas pencairan dana bantuan, surat undangan kepada penerima bantuan, dan tanda terima pendistribusian bantuan tahap ketiga hingga kelima.
”Padahal, uang tidak dibagikan. Uangnya digunakan tersangka untuk kampanye pencalonan dirinya sebagai kepala desa,” ujarnya.
Kasus korupsi dana desa terjadi berulang di sejumlah daerah, termasuk Provinsi Banten. Sebelumnya dua pegawai Kantor Desa Pasir Kecapi, Kecamatan Maja di Lebak, ditangkap Kejaksaan Negeri Lebak pada Jumat (26/11/2021).
EM sebagai kepala urusan keuangan dan LM, staf desa, diduga menggelapkan dana desa tahun anggaran 2020 sebesar Rp 661 juta. Mereka memindahkan rekening kas desa ke rekening pribadi dengan memalsukan tanda tangan. Dana desa itu pun digunakan untuk keperluan pribadi, seperti membeli mobil dan merenovasi rumah.
Oktober lalu, Polres Serang menangkap YS (43), bekas Kepala Desa Kepandean periode 2012-2018 karena menggelapkan dana desa sebesar Rp 500 juta. Tersangka memerintahkan bendahara desa untuk menarik dana desa. Namun, dana itu digunakan untuk kepentingan pribadi melalui proyek fiktif, salah satunya menikahi dua istri muda dan penggandaan uang.
Kepala Bidang Humas Polda Banten Ajun Komisaris Besar Shinto Silitonga mengingatkan kepala desa untuk mengelola dana desa dengan penuh tanggung jawab sesuai peruntukannya. Dana tersebut milik warga sehingga harus didistribusikan kepada mereka yang berhak menerimamya.
”Kami awasi penggunaan dana desa. Warga harap lapor kalau ada dugaan supaya kami tindak lanjuti,” katanya.
Ongkos pemenangan
Selain untuk memperkaya diri dan belum efektifnya pengawasan, mahalnya ongkos politik ditengarai menjadi pemicu korupsi dana desa.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia Surta Wijaya menyebutkan, calon kepala desa menyiapkan ongkos kampanye yang besar karena politik transaksional sudah mengakar. Ongkos semakin mahal tatkala harus menyambangi warga dari rumah ke rumah dan adanya posko pemenangan.
Hal itu berkaca dari pengalamannya yang menyiapkan ongkos untuk biaya pemenangan hingga Rp 1 miliar. ”Biaya ada karena kebiasaan transaksional dalam pemilihan. Kumpul-kumpul harus keluar uang. Omong program harus keluar uang. Butuh kajian bersama antara pemerintah, akademisi, dan lembaga terkait untuk memutus politik transaksional,” kata lelaki yang menjabat Kepala Desa Babakan Asem, Kecamatan Teluknaga, itu.