Keluarga Korban Kekerasan Seksual di Depok Dapat Hak Restitusi
Hak restitusi korban dan keluarganya harus diberikan karena negara mengamanahkan hal itu lewat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya Pasal 7 Ayat 1.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Depok dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyerahkan hak restitusi kepada dua keluarga korban kekerasan seksual anak-anak Gereja Herkulanus Depok, Jawa Barat. Penyerahan hak restitusi ini diharapkan menjadi contoh dalam penyidikan hingga putusan pengadilan kasus kekerasan seksual pada anak.
Kepala Kejaksaan Negeri Depok Sri Kuncoro serta Wakil Ketua Umum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo menyerahkan langsung hak restitusi kepada ayah J senilai Rp 6,5 juta dan Rp 11 juta kepada ibu BA di kantor Kejaksaan Negeri Depok, Senin (29/11/2021).
Hak restitusi itu menjadi bagian hukuman yang harus dibayar pelaku kekerasan seksual, SPM, berdasarkan vonis yang dibacakan pada sidang Rabu (6/1/2021). SPM terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual.
Ia dijerat dengan Pasal 82 Ayat 2 juncto 76 E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Berdasarkan ketentuan pasal itu, Sri Kuncoro menjelaskan, pelaku tidak hanya mendapatkan hukuman pidana penjara 15 tahun dengan denda Rp 200 juta, tetapi juga mendapat pidana tambahan berupa pembayaran restitusi kepada J (13) sebesar sekitar Rp 6,5 juta dan kepada BA (14) sebesar Rp 11 juta.
”Perkara sudah inkrah dan pelaku wajib membayar restitusi ini. Kita harapkan ini menjadi contoh karena banyak di daerah lain belum sampai pada terpenuhi hak restitusi. Penyerahan ini kepada keluarga jadi contoh baik sebagai best practice persidangan selanjutnya,” kata Kuncoro yang berterima kasih kepada pihak LPSK dan kuasa hukum korban, Azas Tigor Nainggolan.
Ke depan, lanjut Kuncoro, pihaknya akan berkoordinasi dengan LPSK agar dalam penanganan kasus kekerasan seksual anak-anak agar keluarga korban dan pihak kuasa hukum serta pendamping korban memasukkan hak restitusi ke dalam laporan.
”Karena banyak keluarga dan mungkin kuasa hukum tidak mengetahui hak restitusi ini. Saya yakin restitusi tak bisa menggantikan apa pun apalagi kondisi psikologis korban. Tapi paling tidak ini jadi tanggung jawab moral juga para pelaku,” katanya.
Wakil Ketua Umum LPSK Antonius PS Wibowo melanjutkan, restitusi tidak hanya sebagai bentuk kewajiban yang harus dibayar oleh pelaku kekerasan seksual, tetapi juga menjadi momentum hukum yang berpihak kepada korban dan keluarga.
”Ini perjuangan panjang dari Pak Kajari dan jajarannya bersama LPSK dan juga kuasa hukum korban. Buah manis ini nantinya akan semakin ditularkan pada perkara lainnya yang terjadi di Depok dan daerah lain di Indonesia. Kami LPSK siap berkerja sama dengan Kejari Depok,” katanya.
Menurut Antonius, terkait hak restitusi memiliki jejak perjuangan yang masih panjang karena tingkat keberhasilan pemenuhan restitusi kepada korban sangat rendah. Oleh karena itu, pemenuhan hak dan putusan Kejari Depok bagi keluarga korban J dan BA, dinilai sebagai penyemangat dan contoh untuk meningkatkan keberhasilan penanganan kasus ke depannya mulai dari tingkat penyidikan kepolisian hingga putusan pengadilan.
Berdasarkan data LPSK 2021, dari 170 permohonan restitusi dari korban seluruh di Indonesia dengan nilai total Rp 6,3 miliar. Namun, hanya 4 kasus atau putusan pengadilan yang mengabulkan pemenuhan hak restitusi.
”Ini belum seperti yang kita harapkan meskipun dari tahun ke tahun ada perbaikan. Kami mencatat pada tahun ini ada sekitar 170 permohonan restitusi. Keberhasilannya masih sedikit, baru 4 putusan pengadilan yang mengabulkannya dalam perkara kejahatan seksual,” ujarnya.
Mandat undang-undang
Kuasa hukum korban Azas Tigor Nainggolan melanjutkan, hak restitusi ada dalam mandat Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 7 Ayat 1. Namun, mandat itu tidak banyak diketahui penegak hukum, bahkan para kuasa hukum yang menangani perkara.
Hal itu terjadi saat ia dan pihak LPSK memasukkan hak restitusi dalam laporan penyidikan ke pihak polisi. Mereka tidak berani mencantumkan hak restitusi itu karena beralasan belum ada peraturannya.
Tigor melanjutkan, hak restitusi bisa dimulai di tahap penyidikan. Kepolisian harusnya sudah memberi tahu kepada keluarga korban yang melapor bahwa ada UU atau peraturan tentang restitusi.
Begitu pula untuk kuasa hukum juga seharusnya sudah dari awal mempelajari terkait peraturan terkait hak tertitusi dan memasukannya ke dalam laporan. Jangan sampai hak korban dan keluarga tidak diberikan karena ketidaktahuan. Padahal, negara mengamanahkan lewat undang-undang.
”Bukan nilainya, melainkan wujud mandat UU ini ada. Negara memperhatikan ini. Semoga ini jadi model menangani dan membongkar kasus kekerasan seksual pada anak. Restitusi ini jadi langkah maju hukum di Indonesia. Bisa ditiru bagi keluarga yang anaknya jadi korban, bagi penegak hukum, dan kuasa hukum,” tegasnya.