Gangguan Kesehatan Mata Dampak Peningkatan Penggunaan Gawai
Penggunaan gawai yang semakin meningkat selama masa pandemi sangat mungkin meningkatkan jumlah anak dengan gangguan penglihatan. Di Kota Bogor, Jawa Barat, sedikitnya ditemukan 609 anak dengan gangguan penglihatan.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Di masa pandemi Covid-19, penggunaan alat elektronik komunikasi semakin meningkat sehingga berdampak pada kesehatan mata pada anak-anak. Di Kota Bogor, Jawa Barat, terdeteksi setidaknya ada 609 pelajar di seluruh tingkat pendidikan yang kini mengalami gangguan kesehatan mata. Pemerintah daerah pun akan mendistribusikan bantuan kacamata bagi mereka.
Ketua Jabar Bergerak Atalia Praratya menyatakan, pelajar usia 7 sampai 18 tahun dari semua jenjang pendidikan Jawa Barat mendapatkan kesempatan untuk pemeriksaan mata gratis.
Pelajar yang diperiksa dan memiliki gangguan kesehatan mata mendapatkan kacamata gratis. Dari 800 anak yang diperiksa, sebanyak 609 anak mengalami permasalahan kesehatan mata.
”Pemeriksaan mata ini untuk melihat seberapa banyak anak yang membutuhkan kacamata. Anak-anak yang minus dan plus di atas 0,75 dan di bawah 6 saja yang bisa mendapatkan kacamata gratis,” kata Atalia, Rabu (24/11/2021).
Menurut Atalia, pemeriksaan mata untuk pelajar sangat penting karena di masa pandemi Covid-19 mereka terbiasa dan intens menghadap layar gawai dan laptop untuk mengikuti pembelajaran daring. Selain itu, anak-anak saat ini juga begitu bergantung atau terbiasa menggunakan alat komunikasi elektronik pintar tersebut untuk kegiatan lain, termasuk main gim atau mencari hiburan di berbagai aplikasi. Ada sisi sisi positif, seperti mereka cepat belajar dan beradaptasi dengan teknologi, tetapi sisi negatifnya mereka mengalami permasalahan mata.
”Anak-anak selama pembelajaran jarak jauk (PJJ) atau pembelajaran daring memang menggunakan media gawai, laptop, atau komputer. Ada efek bagi mata mereka. Paparan cahaya media elektronik itu mengganggu mata,” ujar istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil itu.
Dari hasil pemeriksaan mata, lanjut Atalia, cukup mengejutkan karena anak-anak 7-18 tahun tingkat keparahan mata ada yang masuk kategori parah. Cukup banyak anak-anak yang mengalami minus di atas 5 bahkan ada anak yang mencapai minus 11 dan 13. Dari pemeriksaan ditemukan pula anak yang mencapai plus 7.
”Hal mengejutkan lainnya, anak-anak ini tidak merasakan hal aneh dari permasalahan mata mereka. Namun, ini penting untuk kita orangtua memperhatikan kesehatan mata anak sejak dini karena kita tak mau berdampak semakin buruk. Selain edukasi dan komunikasi untuk pengunaan gawai yang tak berlebihan, orangtua juga harus memeriksakan mata anaknya ke dokter,” tuturnya.
Atalia menilai, permasalahan mata anak ini bisa dijadikan bahan penelitian tidak hanya terkait dampak PJJ, tetapi juga dampak lainnya, seperti ketergantungan anak, kesehatan fisik atau obesitas, hingga kesehatan mental. Dampak turunan itu jangan sampai mengganggu masa depan anak-anak.
Keprihatinan serupa juga disampaikan Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim. Tidak hanya menyoroti dampak pengunaan gawai saat PJJ, tetapi juga kebiasaan tidak baik atau penggunaan gawai berlebih oleh anak-anak, bahkan banyak orangtua yang sudah membiasakannya sejak balita
”Ada masalah pola hidup juga. Pola hidup sehat yang kurang. Edukasi untuk orangtua sampai situ, membiasakan makan sayur kaya vitamin A dan asupan vitamin lainnya dari ragam sayur, buah, ikan. Ini penting. Risiko masalah kesehatan harus dari dini,” kata Dedie.
Ada masalah pola hidup juga. Pola hidup sehat yang kurang.
Dedie menjelaskan, Kota Bogor saat ini mendapat jatah kuota 800 pelajar yang secara bertahap akan mendapatkan pemeriksaan dan kacamata gratis. Bantuan tahap pertama 500 kacamata. Total bantuan 2.000 kacamata untuk pelajar akan disalurkan.
Ia melanjutkan, kesehatan mata anak di Kota Bogor menjadi perhatian bersama agar tidak semakin banyak anak-anak yang mengalami masalah mata. Orangtua diminta untuk tidak melepas pengawasan kepada anak-anak yang bermain atau menggunakan gawai. Jika memang membutuhkan gawai untuk proses belajar, orangtua harus memperhatikan waktu istirahat mata anak.
”Kalau sudah selesai PJJ, lepaskan dulu gawainya. Berikan waktu istirahat mata anak-anak. Perhatikan juga cahaya layar gawai atau laptop. Jangan terlalu terang atau penggunaannya di posisi gelap,” kata Dedie.
Ketua Umum Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) M Sidik menuturkan, penggunaan gawai yang terlalu lama pada anak dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan refraksi miopia atau rabun jauh. Gangguan penglihatan pada jarak jauh ini meski tidak berbahaya, dapat menurunkan produktivitas anak dalam jangka panjang.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, secara global terdapat 312 juta penduduk berusia di bawah 19 tahun yang mengalami kelainan refraksi miopia. Pada 2020 tercatat ada sekitar 2,6 miliar penduduk dari seluruh kelompok umur yang mengalami gangguan penglihatan tersebut.
”Penelitian terkait dengan pengaruh pembelajaran jarak jauh dengan risiko kelainan refraksi memang belum ada. Namun, penggunaan gawai yang semakin meningkat selama masa pandemi sangat mungkin meningkatkan jumlah anak dengan gangguan penglihatan tersebut,” ujarnya.
Ia melanjutkan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga telah mengeluarkan imbauan terkait pembatasan penggunaan gawai pada anak selama masa pandemi. Pada anak usia prasekolah kurang dari dua tahun tidak dianjurkan untuk menggunakan gawai. Untuk anak usia 2-6 tahun, penggunaan gawai perlu dibatasi maksimal satu jam. Gawai ini termasuk juga terhadap penggunaan televisi.
Pada anak usia 6-12 tahun, penggunaan gawai atau sebaiknya tidak lebih dari 90 menit. Sementara waktu istirahat penggunaan gawai antara 10-30 menit.