Kegagalan Mobilitas Vertikal di Balik Seri Bentrokan Ormas
Organisasi kemasyarakatan atau ormas tak selalu sejalan dengan tujuan awalnya, yakni berpartisipasi dalam pembangunan negara.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Suasana posko salah satu ormas yang rusak akibat bentrokan, Jumat (19/11/2021), di Jalan Raden Fatah, sekitar Ruko Dian Plaza, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Minggu.
Bentrokan antar-organisasi masyarakat atau ormas terus berulang sekalipun sudah ada upaya mediasi dan aksi damai. Pemicunya ternyata bukan semata perebutan lapak sebagai sumber pemasukan.
Ada sejumlah persoalan yang melatarbelakangi seri bentrokan di banyak wilayah, di antaranya pendidikan rendah tanpa pekerjaan tetap, karakter mengutamakan kekerasan atau mental menerabas, dan dugaan ”dipelihara” untuk kepentingan atau tujuan tertentu.
Atas bentrokan terakhir di kawasan Tangerang, Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota menetapkan dua anggota ormas sebagai tersangka bentrokan antara Pemuda Pancasila dan Forum Betawi Rempug di Jalan Raden Fatah, persisnya di sekitaran Ruko Dian Plaza, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Jumat (19/11/2021) malam. Keduanya menjadi tersangka setelah polisi memeriksa sepuluh saksi dalam insiden saling serang yang bermula dari perayaan ulang tahun dan konvoi.
Kapolres Metro Tangerang Kota Komisaris Besar Deonijiu De Fatima menyebut, kedua tersangka menyerang dengan membacok korbannya. Tiga korban dalam bentrokan tersebut masih dirawat di rumah sakit. ”Mereka menyerang bersama-sama. Beramai-ramai, hingga membacok korban,” ujarnya, Selasa (23/11/2021).
Suasana di kawasan Pasar Lembang, Jalan Raden Fatah, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Minggu (21/11/2021). Kawasan ini kerap menjadi lokasi bentrokan ormas.
Tujuan ormas untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Karena itu, dalam Pasal 59, ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; menyalahgunakan, menista, atau menodai agama; melakukan tindakan kekerasan; mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum; atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial serta melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.
Apabila melanggar, ormas dikenai sanksi administratif atau sanksi pidana. Bentuknya berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum, dan penjara.
Kondisi Kampus Universitas Krisnadwipayana, Jatiwaringin, Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (31/8/2021) sore. Satu orang tewas akibat bentrokan antar-ormas di kampus itu.
Buntut bentrokan yang berulang, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Junimart Girsang meminta Kementerian Dalam Negeri tidak memperpanjang atau mencabut izin ormas yang menciptakan keresahan di masyarakat. Pemerintah wajib hadir untuk membina ataupun menertibkan ormas supaya sesuai dengan tujuan membangun negara.
Akar masalah
Bentrok ormas pada Jumat malam bermula dari baku hantam pekan lalu di Jakarta Barat. Keributan di posko salah satu ormas di area Joglo, Jakarta Barat, Minggu (14/11/2021) malam, merembet hingga Senin (15/11/2021) dini hari ke posko ormas lawannya di Meruya Selatan, Jakarta Barat.
Sebelumnya, dua ormas juga saling serang di Jalan Raden Fatah, Selasa (12/10/2021). Saksi di lokasi menyebutkan, bentrokan di dekat Ruko Dian Plaza terjadi siang hari dan baru bubar ketika polisi dan TNI datang ke lokasi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian semipermanen berlatar belakang apartemen di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Selasa (16/11/2021).
Awal hingga pertengahan 2021 juga diwarnai beberapa kali bentrokan. Sejumlah posko milik dua ormas di Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, misalnya, dibakar orang tak dikenal pada Minggu (7/3/2021) dini hari. Pembakaran posko juga terjadi di Parigi, Kota Tangerang Selatan, Jumat (5/3/2021).
Asep Suryana, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, menuturkan, pemicu bentrokan ormas bukan semata perebutan lapak sebagai sumber pemasukan. Setidaknya ada tiga akar masalah lain, yakni tingkat pendidikan yang rendah sehingga tak punya pekerjaan tetap, mengutamakan kekerasan atau mental menerabas, dan bisa jadi dipelihara untuk kepentingan atau tujuan tertentu.
”Idealnya setiap individu menjalani mobilitas vertikal. Masuk sekolah dasar hingga selesai wajib belajar sembilan tahun. Kemudian bekerja dan berumah tangga, seperti kebanyakan orang,” ujar sosiolog yang fokus pada sosiologi ekonomi, perkotaan, dan hubungan antarkelompok itu.
Namun, kebanyakan anggota ormas gagal atau terputus mobilitas vertikalnya. Penyebabnya, kebiasaan atau mentalitas keluarga dan lingkungan yang tidak mendorong untuk menuntaskan pendidikan dan keterbatasan akses serta kemiskinan sehingga berujung pada cara kekerasan atau menerabas untuk dapatkan sesuatu.
Situasi seperti itu jamak ditemui di kawasan padat penduduk se-Jabodetabek. Banyak individu akhirnya lebih seing menghabiskan waktu kongko-kongko di depan rumah, warung kopi, dan pertigaan atau perempatan jalan karena putusnya mobilitas vertikal yang kemudian bermuara ke ormas tertentu.
”Anggota berusia 20-an tahun ke bawah jadi instrumen untuk disuruh-suruh. Harusnya ada transformasi untuk perubahan mentalitas lepas dari kegagalan mobilitas vertikal. Minimal bisa selesaikan sekolah supaya tahu caranya keluar dari jerat kemiskinan,” ucapnya.
Polisi berjaga di dekat rumah yang dipasangi garis polisi di Kompleks Tytyan Indah, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (14/3/2017). Polisi menangkap 16 orang dari rumah itu untuk mencegah bentrokan dengan kelompok warga dari sebuah ormas.
Transformasi tersebut memerlukan komitmen dan keseriusan pengambil kebijakan. Ini berkaca dari program pemberdayaan masyarakat kelurahan yang tak efektif karena masyarakat tak mampu memutar dana untuk berkelanjutan.
Di sisi lain, ia tak menampik bahwa keberadaan ormas bisa mengontrol mereka yang mobilitas vertikalnya terputus agar tak sepenuhnya terjerumus dalam kriminalitas, seperti memakai atau mengedarkan narkoba, mencuri, dan merampok.
”Palingan palak, uang keamanan. Kalau tidak terorganisasi susah kontrolnya. Tapi butuh komitmen pemangku kepentingan untuk mengentaskan masalah struktural di masyarakat,” katanya.