Polisi Sita Lima Amplop Berisi Uang Saat Geledah Kantor BPN Lebak
Dua pegawai Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lebak di Banten terlibat korupsi pengurusan sertifikat hak milik dengan meminta tambahan biaya di luar pendapatan negara bukan pajak.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Polisi menemukan beberapa dokumen dan lima amplop berisi uang dalam penggeledahan Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Lebak. Penggeledahan di lima ruangan, termasuk ruang kepala kantor, untuk melengkapi bukti-bukti dugaan korupsi pengurusan sertifikat hak milik oleh dua pegawai Badan Pertanahan Kabupaten Lebak.
Penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus menggeledah Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Lebak, Rabu (17/11/2021) pagi hingga sore. Kabid Humas Polda Banten Ajun Komisaris Shinto Silitonga menyebutkan, penggeledahan disaksikan tersangka dan pejabat kantor badan pertanahan.
”Penyidik menggeledah lima ruangan, termasuk ruang kepala kantor. Ada beberapa dokumen disita, termasuk lima amplop berisi uang yang untuk didalami asal usulnya,” ucapnya pada Kamis (18/11/2021).
Kasus dugaan korupsi itu berawal dari laporan masyarakat tentang adanya pungutan liar pengurusan sertifikat hak milik di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lebak pada 13 November 2021. Polisi kemudian menciduk empat pegawai dan seorang lurah dalam operasi tangkap tangan pada Jumat (12/11/2021) malam.
Shinto menuturkan, penyidik menetapkan RY (57), pegawai bagian penata pertanahan, dan PR (41), pegawai bagian administrasi, sebagai tersangka. Keduanya meminta tambahan biaya di luar pendapatan negara bukan pajak untuk pengurusan sertifikat hak milik.
”Mereka salah gunakan kewenangan untuk keuntungan diri sendiri dan orang lain. Penyidik masih mendalami kemungkinan keterlibatan orang lain dan praktik itu telah berlangsung secara sistematis,” katanya.
Dalam penangkapan Jumat malam, polisi menyita satu bundel berkas permohonan sertifikat hak milik atas nama LL di Desa Inten Jaya, Kecamatan Cimarga, Lebak; tiga map kuning dan tiga amplop coklat berisi uang dengan total Rp 36 juta; rekaman kamera pengawas atau CCTV; dan gawai.
Wadirreskrimsus Polda Banten Ajun Komisaris Besar Hendi Febrianto mengatakan, ketiga amplop coklat berisi uang dengan nominal berbeda. Terdapat kode 2.000 untuk atas dan 1.000 untuk bawah. ”Kode itu jadi perhatian dan masih ditelusuri,” ujarnya.
LL tak kunjung mendapat kepastian pengurusan sertifikat hak milik tanah seluas 30 hektar di Desa Inten Jaya sejak Desember 2020. Padahal, pengurusan yang awalnya dikuasakan kepada almarhum DD itu telah menghabiskan uang Rp 117 juta.
Hendi menjelaskan, LL menguasakan lagi pengurusan sertifikat hak milik kepada MS, lurah yang terkena operasi tangkap tangan. Sejak Oktober 2021, terjadi pertemuan MS dengan tersangka PR dan RY.
”Kedua tersangka minta biaya tambahan Rp 8.000 per meter persegi. Akhirnya terjalin kesepakatan biaya Rp 2.000 per meter persegi,” tuturnya.
Atas kesepakatan tersebut, LL, yang mengajukan permohonan awal pengurusan sertifikat hak milik tanah seluas 17.330 meter persegi, harus menyiapkan Rp 36 juta untuk biaya tambahan. Padahal, ia telah membayar biaya pendapatan negara bukan pajak sebesar Rp 1,8 juta pada 19 Oktober.
LL mau tidak mau menyiapkan uang Rp 36 juta karena tak kunjung mendapat kepastian hasil pengukuran dan waktu penyelesaian pengurusan sertifikat hak milik. Uang itu diserahkan MS kepada PR dan RY saat operasi tangkap tangan.
”Biayanya Rp 100 per meter persegi, tetapi menggelembung jadi Rp 8.000 per meter persegi. Lalu peta tanah harus terbit 18 hari setelah pemohon bayar pendapatan negara bukan pajak,” katanya.
Polda Banten membuka layanan pengaduan adanya pungutan biaya yang tidak sesuai peraturan dan informasi terkait tindak pidana korupsi melalui Posko Pengaduan Ditreskrimsus Polda Banten di nomor 0815-1379-9990. Identitas pelapor akan dirahasiakan.